Seorang sahabat artis mengeluh berat di sebuah pertemuan. Hidup di zaman ini katanya serba salah. Baca koran membuat kepala mudah terbakar amarah. Tidak dibaca membuat kita tidak mengerti pembicaraan orang lain. Mendengar komentar seperti itu, ada yang menimpali lebih seru lagi. Jangankan politik, kekuasaan dan uang yang membawa bibit-bibit terbakar dari sananya, agama saja yang lahir dan tumbuh dalam kesejukan, membuat manusia jadi mudah terbakar.
Di Bali kekerasan atas nama budaya dan agama mulai berbahaya. Gesekan-gesekan antara penganut Hindu India dengan Hindu Bali sudah menghasilkan percikan-percikapn api. Ambon dan Poso adalah contoh bagaimana manusia terbakar oleh perbedaan agama. Di India dan Pakistan sejumlah tempat ibadah dijaga ketat aparat karena memang kerap dibakar. Timur Tengah sudah membara sekian lama salah satunya juga karena faktor agama. Di Amerika, beberapa tahun terakhir terjadi ribuan kasus pelecehan berbau agama tiap tahunnya. Di Turki, calon pemimpin yang dikira membawa kepentingan agama dilihat penuh curiga. Di Inggris, Gordon Brown baru saja jadi perdana menteri beberapa hari sudah dihadang serangan teroris. Thailand yang mayoritas penduduknya beragama Buddha, oleh majalah Economist diberi julukan ’from land of smile to land of coup’, terutama setelah terjadi kudeta berulang-ulang di sana.
Melalui mata, telinga, hidung, mulut, pikiran, banyak manusia terbakar. Bisa dimengerti kalau ada yang mengeluh, dalam hal kecerdasan kita tambah cerdas di segala bidang. Namun kita terus menerus lalai dalam satu hal: kita menginginkan kebahagiaan, tapi berjalan ke arah yang membuat diri menderita.
Inilah sebuah zaman panas yang membara. Salah satu ciri menonjolnya, kebanyakan jiwa berevolusi dari gelap ke gelap. Tidak puas dengan penghasilan (gelap), kemudian mencuri (gelap). Tersinggung dengan serangan orang (gelap), kemudian menyerang balik secara membabi buta (gelap).
Kesejukan sifat alami
Ada yang mengandaikan perjalanan jiwa manusia serupa dengan boneka. Di awal, bonekanya telanjang (baca: bersih, jernih). Dalam perjalanan, kita mengenakan banyak baju (keinginan, kemauan, cita-cita) ke tubuh boneka ini. Dan belakangan, banyak orang dikejar ketakutan oleh boneka berbaju aneka warna ini. Ketakutan kalah dibandingkan orang lain, ketakutan disebut gagal, ketakutan masa tua menderita.
Sehingga lingkungan luar yang membara kemudian bertemu dengan bensin di dalam (baca: ketakutan) yang memang mudah terbakar. Ini asal muasal dari banyak kehidupan yang panas dan semakin memanas. Lingkungan memang sebuah kekuatan yang tidak mudah dirubah. Namun ketakutan di dalam sini, ia bisa dirubah melalui ketekunan-ketekunan latihan. Itu sebabnya semua jiwa yang sejuk dan teduh, tidak bernafsu terlalu besar merubah lingkungan, namun demikian teguhnya merubah bensin di dalam yang mudah terbakar menjadi air yang sejuk.
Coba perhatikan pemandangan-pemandangan alam yang menyejukkan. Dari gunung, danau, pantai sampai dengan sungai. Semuanya menyejukkan karena terlihat alami. Bedanya dengan keseharian manusia, menyangkut alam yang sejuk kita menyukai kealamian, namun menyangkut diri banyak yang membenci kealamian. Wanita yang bakat alaminya feminim merubah dirinya jadi maskulin. Pria yang bakat alaminya jadi pelindung berubah menjadi perusak. Pemerintah yang sifat alaminya pelayan publik berubah menjadi korban cacian publik. Rumah yang aslinya adalah lahan pertumbuhan berubah menjadi tempat membosankan. Agama yang sifat alaminya teduh dan sejuk, berubah menjadi api yang membakar.
Dan siapa saja yang mulai bersahabat dengan sifat-sifat alami, tidak saja di dalamnya mudah sejuk, kesejukan kerap menghadirkan tangan-tangan bantuan yang tidak kelihatan. Abu Bakar (salah satu penggoda besar dalam perjalanan kenabian Rasulullah Muhammad) tunduk hormat bukan oleh ancaman dan ketakutan, namun oleh ayat-ayat Tuhan yang dilantunkan dengan kesyahduan yang mendalam. Fuzail (seorang perampok yang belakangan berubah menjadi tokoh Sufi mengagumkan) berubah drastis hidupnya karena terpesona sekaligus menggigil ketika mendengar orang membaca Al Quran.
Jesus Kristus adalah simbolik kesejukan yang menawan. Kata-kata yang kerap diucapkan adalah love all serve all. Jarang terdengar kalimat layani hanya mereka yang seiman. Di bagian lain bahkan sering terdengar love your enemy. Sehingga bisa dimaklumi kalau salah satu ciri menonjol kelompok ini adalah kesalehan sosialnya yang mengagumkan.
Pesan Krishna di bagian awal Bhagawad Gita : adveshta sarva bhutanam (jangan pernah membenci dan menyakiti). Dan yang dipilih Krishna untuk menerima pesan-pesan Tuhan secara langsung bukannya Yudistira yang terpancing untuk berjudi, bukannya Bima yang jagoan berkelahi, namun Arjuna yang artinya purity of heart. Di desa-desa tua Bali, kalau ada orang sabar biasanya disebut buih dharma gati (betapa dharmanya dia). Seperti menyisakan pesan, keindahan/kebenaran bisa dicapai melalui kesabaran.
Nibbana sebagai pencapaian spiritual di Buddha, kerap diidentikkan dengan keadaan kematian yang terbebaskan. Namun Bhikku Buddhadasa menemukan kalau nibbana adalah keadaan batin yang sejuk. Terutama karena telah berhenti dibakar kilesha (kekotoran batin seperti amarah, serakah, benci, iri). Dengan kata lain, tidak saja setelah kematian nibbana bisa diraih. Sekarang ini, di tempat ini nibbana bisa dicapai. Asal batin sudah sepenuhnya berhenti dibakar segala kekotoran.
Andaikan semua penganut Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu sejuk, mungkin mimpi Bhikku Buddhadasa bisa terealisasi: ’nibbana (kesejukan) untuk semua orang’. Dan orang pun tidak perlu terbakar.
Dalam kelompok orang-orang sejuk seperti ini, mudah sekali timbul kesepakatan bahwa ketika kita belajar bersabar dan mendengar, kita tidak saja sedang membuat orang lain bahagia, kita juga sedang membuka lapisan-lapisan diri ini yang lebih mulya.
No comments:
Post a Comment