Lagu yang liriknya paling saya kagumi, sekaligus paling sering saya kutip dalam tulisan-tulisan saya, adalah lagu John Lenon dengan judul Imagine. Mencermati lirik lagu ini, John Lenon bagi saya bukanlah penyanyi biasa. Ia juga seorang pemimpi kemanusiaan yang amat luar biasa. Bayangkan, ia memimpikan sebuah kehidupan tanpa negara, tanpa agama yang menyekat satu manusia dengan manusia lainnya. Di tengah langkanya penyekat-penyekat ini, manusia disatukan oleh tali penyatu yang bernama perdamaian.
Terinspirasi oleh lagu John Lenon terakhir, setiap kali ada orang yang menanyakan kebangsaan saya, sering saya menjawabnya dengan : a citizen of humanity. Seorang Ibu warga negara Inggris yang duduk di sebelah saya, dalam sebuah penerbangan dari Paris menuju Manchester, terkejut dengan jawaban terakhir. Ia berharap saya menjawabnya dengan jawaban warga negara Indonesia, Malaysia atau Pilipina. Terutama karena tampang melayu saya. Kemudian, Ibu terakhir memandang saya dengan tatapan lain.
Menyaksikan riuhnya kehidupan politik di republik ini, ada satu penyekat kemanusiaan yang dilupakan untuk dimasukkan oleh John Lennon : politik. Bayangkan, atas nama kepentingan rakyat, demokrasi, hak azasi manusia dan sederetan gombalan sejenis, kita telah lama mencabik-cabik diri kita sendiri. Betapa mahal harga yang harus dibayar untuk sebuah peralihan kekuasaan.
Lebih penting dari harga mahal saat ini, kita juga membayar ongkos demikian tinggi untuk generasi masa depan. Kebanggaan-kebanggaan manusia Indonesia masa depan juga sedang dihancurkan habis-habisan. Saya mengalami kesulitan menjelaskan ke putera-puteri saya, kenapa untuk berpolitik orang rela meledakkan mesjid. Sanggup membunuh dan menyiksa manusia lain. Bisa melakukan pemerkosaan massal. Menciptakan ketakutan di mana-mana.
Bila dulu, dengan mudah orang menunjuk lautan sebagai kolam susu. Sekarang, dengan demikian banyaknya badai serta topan kemanusiaan, sungguh teramat sulit untuk membangun kebanggaan-kebanggaan tentang Indonesia.
Meminjam lelucon politik Hartojo Wignjowijoto - sohib saya yang tidak pernah muncul lagi di Infobank - ada perbedaan antara korupsi di Thailand, Taiwan dan Indonesia. Di Thailand, orang korupsi di bawah meja. Di Taiwan, pejabat korupsi di atas meja. Di Indonesia, mejanya saja dikorupsi apa lagi uangnya. Mungkin saya terlalu gelap dalam melihat bangsa ini, tetapi inilah catatan yang kita goreskan ke dalam ingatan jutaan generasi masa depan.
Kalau benar pendapat fisikawan David Bohm dalam Wholeness And The Implicate Order, bahwa kata health berasal dari kata whole, betapa jauhnya kita dari kondisi hidup sehat. Sebab, kita tidak berfikir dan hidup dalam perspektif keseluruhan. Sebaliknya, penuh sesak oleh sekat-sekat kepentingan politik. Ini saya, itu Anda. Jika Anda menang, berarti saya kalah. Bila Anda jadi pemimpin, maka saya tertindas. Tatkala Anda di atas, itu berarti saya di bawah.
Perspektif hidup dan berfikir seperti ini, secara natural adalah milik egoisme anak-anak. Di mana segala yang baik diidentikkan dengan kata aku. Dan segala yang buruk masuk dalam kotak kamu. Bila keadaan sebaliknya, maka ributlah itu dunia.
Bila keadaan demikian disebut dengan hukum rimba, mungkin saya terlalu berlebihan. Namun, bisakah Anda membedakan antara harimau yang memakan kijang, dengan manusia yang membunuh manusia lain ?
Terus terang, mirip dengan puteri kesayangan saya yang kerap rindu untuk kembali lagi tinggal di Inggris, saya juga merindukan suasana kemanusiaan yang sejuk. Ada banyak manusia yang memberi makan burung tanpa memasukkannya ke dalam sangkar. Ada polisi yang dengan rela mengangkat barang-barang isteri saya sampai ke halte tanpa diminta. Ada orang-orang yang tersenyum sambil mengucapkan selamat pagi, tidak perduli kenal atau tidak. Ada banyak manusia yang merelakan barang bekasnya untuk dijual di toko charity.
Di Jakarta yang penuh dengan hiruk pikuk bom, tatapan manusia yang kosong melompong, terasa sekali kekeringan hidup. Namun, di kota yang dipenuhi oleh manusia dengan jiwa yang kosong inilah penentu-penentu nasib republik ini hidup. Di sini juga kompas kehidupan ditentukan. Di lautan pengemis dan pencopet inilah generasi Indonesia sedang dibentuk.
Sekali lagi, bisakah Anda memberikan harapan dan gambaran tentang masa depan ? Bisakah Anda memberi alternatif lebih baik bagi mereka yang menjadi korban penjarahan tragedi Mei 1998 ?
Saya tidak tahu, bagaimana Anda menjawab deretan pertanyaan ini. Yang jelas, dengan seluruh kekecewaan ini, saya tetap memilih untuk tinggal di sini. Saya memang tidak seheroik Gunawan Mohammad, yang menyebut rela mati untuk Indonesia. Pertanyaan saya sederhana saja, kemana larinya kebanggaan akan Indonesia dibawa oleh kaum politisi ?
Entahlah, yang jelas Kahlil Gibran dalam salah satu puisinya yang berjudul 'bangsaku' pernah menulis apik seperti ini :
Kemanusiaan adalah sebuah sungai jernih
Arus airnya bernyanyi dan membawa
Rahasia gunung menuju
Hati sang laut, namun kamu,
Bangsaku, adalah
Rawa-rawa beku yang hanya berisi serangga
Dan ular beracun
No comments:
Post a Comment