Jun 21, 2010

BELAJAR MANAJEMEN DARI PUISI

Pertama kali membaca kisah Kenji Eno - seorang anak muda asal Jepang yang belum berumur tiga puluh tahun - dinobatkan oleh Business Week sebagai salah satu bintang dari Asia, saya sempat terkejut. Bayangkan, seseorang yang pendidikan formalnya hanya sampai kelas 2 SMA, bosan sekolah, kemudian hanya mendengarkan musik dan membaca majalah. Setelah membunuh waktu secara percuma sekitar setahun, kemudian ia diterima bekerja di sebuah perusahaan soft ware.

Dari sini kemudian timbul imajinasi untuk mendirikan perusahaan sendiri. Empat tahun kemudian, perusahaan yang didirikan anak muda ini - WARP namanya - menjadi perusahaan pendisain game kelas satu. Sejumlah pengamat industri, bahkan menyebut Kenji Eno sebagai God of the Game Market.

Bila betul ramalan dan analisis sejumlah pakar, yang menyebutkan bahwa masa depan akan sarat dengan muatan teknologi, maka tidak tertutup kemungkinan, nasib bintang Asia ini, akan mirip dengan Bill Gates yang kebetulan juga putus sekolah di tengah jalan.

Sebagai pengguna telepon genggam dalam intensitas tinggi, saya sering terganggu oleh baterai mati. Pembicaraan lagi serius-seriusnya, eh tiba-tiba putus hanya karena baterai. Umur teknologi telepon genggam memang sudah cukup lama. Saya, dan barang kali juga Anda, sudah mengidentikkan hidupnya telepon terakhir dengan baterai. Tidak pernah terbayangkan ada telepon genggam yang bisa hidup tanpa baterai.

Akan tetapi, Sunday Times edisi September lalu, melaporkan teknologi telepon genggam tanpa baterai yang diberi nama Talker. Energinya berasal dari generator yang digerakkan oleh gulungan kawat. Caranya mudah, sebelum digunakan, kawat yang dicantelkan ke generator, ditarik sebanyak lima belas kali. Dan, selama lima menit penuh Anda bisa menikmati kehidupan telepon genggam tanpa baterai.

Pada mulanya, saya heran mendengar kejutan ala Kenji Eno dan Talker terakhir. Bisa-bisanya seorang anak muda dengan sekolah tanggung menjadi bintang Asia. Ada saja manusia 'gila' yang berfikir lain. Kita berfikir telepon dengan baterai. Tiba-tiba dikasi kawat yang hanya perlu ditarik.

Lama saya sempat dibuat tercenung oleh kedua 'kegilaan' terakhir. Belakangan, saya teringat ide Terry Waghorn dan Ken Blanchard dalam Mission Possible tentang knowledge pie.

Meminjam pemikiran Waghorn & Blanchard, dunia pengetahuan kita dibagi ke dalam tiga irisan pia. Irisan pertama dan terkecil, kita tahu apa yang kita tahu. Irisan kedua yang sedikit lebih besar dari irisan pertama, kita tahu apa yang kita tidak tahu. Irisan ketiga, dan ini menguasai lebih dari dua pertiga dari seluruh pia pengetahuan, kita tidak tahu apa yang kita tidak tahu.

Sebagian besar energi yang dihabiskan di sekolah manajemen, mendalami irisan pengetahuan yang pertama. Lebih-lebih dengan semakin kerucut dan terspesialisasinya pendidikan di tingkat yang lebih tinggi.

Usaha mendalami irisan dua (kita tahu apa yang kita tidak tahu), di sejumlah sekolah manajemen tempat saya belajar, dan juga tempat saya sempat mengajar, disebut sebagai perilaku menyimpang. Supervisor pembimbing disertasi S3 saya, marah besar ketika saya mengadopsi logika fisikawan Fritjof Capra dalam karyanya yang berjudul The Tao of Physics, ke dalam ilmu perilaku organisasi. Mahasiswa MBA yang sempat saya ajar melapor marah-marah ke pengurus program, karena saya mengutip karya pakar biologi Maturana dan Varela.

Saya masih bisa menambah daftar pengalaman, yang mau bergerak ke irisan dua, namun ditolak lingkungan sekolah. Buru-buru bisa bergerak ke irisan ketiga yang terbesar. Bergerak ke irisan kedua saja sudah dibuat mampus.

Kembali ke cerita awal tentang Kenji Eno dan talker, anak muda ini bisa demikian melompat cara berfikirnya, karena fikirannya masih bebas dan berdaulat dari 'polusi-polusi' yang dibuat oleh sekolah.

Kalau sekolah membuat orang hanya berkonsentrasi pada irisan pertama, manusia bukan sekolahan ala Kenji Eno bebas dan seenaknya saja melenggang kemana saja ia suka.

Mau mengatakan komputer itu tolol. Satelit itu biadab. Rasionalitas ala Descartes itu menipu. Postmodernism ala Derrida itu jangkrik. Tidak ada yang menyebut dia tidak lulus. Tidak ada ijazah yang ia pertaruhkan. Ia hanya mengenal mencoba, mencoba dan mencoba.

Dari orang seperti inilah saya sering merasa iri. Fikirannya terbang ke mana-mana. Idenya bergerak bebas. Percobaannya melintasi setiap batas-batas sekolah.

Dan hebatnya, manusia seperti ini bisa bergerak melenggang ke irisan pengetahuan yang ketiga dengan sangat mudah. Namanya industri soft ware ya hanya orang sekolahan yang mengerti. Namanya telepon genggam ya harus pakai baterai. Tiba-tiba manusia kebanyakan yang mengaku waras, hanya bisa bilang 'oooooo' setelah dibawa ke dunia yang tadinya disebut tidak mungkin.

Disamping dua contoh di atas, Kenichi Ohmae dan Gareth Morgan adalah dua pemikir manajemen yang dikagumi, justru karena datang dari spesies yang berbeda.

Kenichi Ohmae, yang dikenal dengan Mr Strategy adalah doktor di bidang nuklir yang 'membelot' ke manajemen. Gareth Morgan adalah seorang dengan latar belakang pendidikan politik, yang juga 'menghianat' dan masuk ke disiplin manajemen.

Pemikiran-pemikiran kedua orang terakhir, demikian jernih dan segarnya. Masuk ke dalam wilayah, yang tadinya tidak difikirkan orang yang sejak lahir sudah belajar manajemen.

Kenapa bisa demikian, karena keduanya memiliki kebebasan untuk berkelana, dan bergerak dari irisan pengetahuan satu menuju dua dan bahkan irisan tiga.

Belajar dari ini semua, dunia inovasi - munurut saya - mirip dengan dunianya burung elang. Terbang bebas kemana-mana. Tidak ada yang bisa membatasinya. Indah sekali, bila dunia manajemen diisi manusia yang gemar bermain-main dengan imajinasi. Tidak perlu tunggal, benar dan sama.

Saya kadang 'bermimpi', kalau ada sekolah manajemen yang mengajarkan puisi, guru besarnya anak muda seperti Kenji Eno, ada kesempatan untuk mencoba banyak ide, menggunakan novel fiksi sebagai karya akhir. Agar irisan pengetahuan satu dan dua sedikit lebih lebar.

Ah, saya memang terlalu liar untuk disebut sebagai pemikir, apa lagi disebut pendidik. Seorang rekan pernah menyebut saya gelandangan intelektual, yang memakai sarung konsultan manajemen. Dan, Anda bebas menyebut saya apa saja. Sebebas burung elang yang terbang kemana dia suka.

No comments:

Post a Comment

Bookmark and Share
Custom Search