Borobudur adalah sebuah ‘buku tua’ yang terbuka. Banyak sudah yang mencoba membacanya. Namun sebagaimana buku lain, kebenarannya jadi probabilistik ketika diolah oleh pikiran manusia. Dalam terang pemahaman seperti ini, tidak ada niat sepercik pun untuk menempatkan kepingan-kepingan keindahan dalam tulisan ini sebagai satu-satunya keindahan. Untuk itu, izinkan tulisan ini melaksanakan tugas probabilistiknya.
Seperti mau diolah indah arsiteknya, dalam kawasan Borobudur terbentang garis lurus yang menghubungkan tiga candi: Mendut, Pawon, Borobudur. Hampir semua pengunjung biasa maupun peziarah spiritual memulai kunjungan atau setidak-tidaknya melewati candi Mendut terlebih dahulu.
Kendati tidak besar, Mendut menyimpan tidak sedikit pesan. Di bagian luar, ada relief kura-kura menggigit kayu yang diterbangkan dua burung. Melihat keindahan langka seperti ini, sejumlah anak-anak berteriak gembira: ’duh burung betapa indahnya ide kalian!’. Kontan saja kura-kura menjawab: ’bukan ide burung, ideku!’. Dan jatuh matilah kura-kura dengan badan berantakan berkeping-keping.
Setiap orang boleh punya penafsiran, namun perjalanan suci menuju Borobudur seperti diingatkan di pintu awal, hati-hati dengan ego. Membuka mulut atas nama ego, beresiko demikian besar.
Kelembutan bertemu ketekunan
Di dalam candi Mendut, tersimpan tiga patung megah: Buddha di tengah diapit oleh kelembutan Avalokiteshvara serta ketekunan Vajrapani. Seperti mau berpesan, setelah sadar akan bahayanya ego, temukan keBuddhaan di Borobudur dengan dua spirit: lembut pada orang lain, penuh ketekunan pada diri sendiri.
Dapur (pawon) adalah tempat memasak. Bahan-bahannya sudah jelas, hati-hati membuka mulut atas nama ego, untuk orang lain hanya ada kelembutan, untuk diri sendiri tersedia cuma ketekunan. Ini yang dimasak sampai matang di candi Pawon.
Bedanya dengan makanan sebenarnya yang hanya diolah sekali waktu di tempat tertentu, makanan batin diolah setiap saat di setiap tempat. Itulah sebabnya orang-orang Zen menyebut meditasi sebagai makan ketika lapar, tidur ketika mengantuk. Atau keseharian itulah meditasi. Keseharianlah tempat kita memasak makanan-makanan batin.
Meminjam pesan sejumlah guru, dalam keadaan mata tertutup maupun terbuka, jadilah compassionate witness (saksi penuh kasih) terhadap apa saja yang muncul ketika meditasi. Baik-buruk, suci-kotor, sukses-gagal semuanya disaksikan dengan penuh kasih.
Siapa saja yang lama berlatih penuh ketekunan menjadi saksi penuh kasih, mengisi kesehariaannya dengan kelembutan, akan merasakan kalau Borobudur menyimpan jauh lebih dari sekedar tumpukan batu-batu yang diukir.
Sebagai rangkaian makna, Borobudur kerap diceritakan sebagai gunung kehidupan yang berisi alam nafsu di bawah, alam bentuk di tengah, alam tanpa bentuk di atas. Sebuah cara memandang yang layak dihargai.
Namun, setelah membaca tanda-tanda awal di Mendut, memasaknya dalam keseharian yang berisi ketekunan dan kelembutan, tersedia penafsiran lain. Borobudur adalah perjalanan pembersihan batin dari segala kekotoran (serakah, benci, bodoh, dll).
Di bagian bawah terpampang kekotoran batin yang kasar ala nafsu badaniah. Di atasnya, memang terpampang cerita-cerita indah tentang Siddharta Gautama. Dari kelahiran, pencerahan sampai menjadi guru manusia sekaligus para dewa. Namun tanpa kewaspadaan yang cukup, kisah-kisah para suci pun bisa menjadi sumber kekotoran batin. Terutama kalau kisah para suci digunakan untuk menghakimi kehidupan.
Guru ini salah, aliran itu salah dan jadilah kisah para suci sumber amarah, permusuhan. Mempelajari kisah para suci tentu baik, membadankannya dalam keseharian lebih baik lagi, namun waspada kalau kesucian juga bisa menjadi awal kekotoran batin adalah praktek meditasi yang membuat keseharian jadi bersih, jernih.
Kesucian yang dijaga oleh kewaspadaan inilah kemudian membukakan pintu pemahaman tanpa kata. Persis seperti bagian atas Borobudur yang tidak lagi berisi relief. Hanya lingkaran sempurna, diisi stupa yang di tengahnya berisi patung Buddha dengan mudra memutar roda Dharma. Tanpa kata, tanpa penghakiman, hanya gerak keseharian yang melaksanakan kesempurnaan ajaran.
Mudah dipahami kalau Dr. Rabindranath Tagore (pemenang hadiah Nobel pertama dari luar Eropa), yang datang ke Borobudur tanggal 23 September 1927, kemudian menulis rangkaian kesempurnaan ala Borobudur di Visva Bharati News.
Setiap rangkaian kalimat indah Tagore tentang Borobudur selalu diakhiri dengan: ’let Buddha be my refuge’. Biarlah kuberlindung pada sifat-sifat bajik di dalam diri. Artinya setiap batin yang bersih akan mengambil perlindungan hanya pada sifat- sifat bajik di dalam diri.
Perhatikan puncak perjalanan Tagore ketika menulis Borobudur. Bila waktunya tiba, digapainya keheningan nan suci itu, yang berdiri diam di tengah gelora abad-abad keriuhan, sampai dia dipenuhi keyakinan, bahwa dalam ketidakterbatasan, ada makna kebebasan tertinggi, yang bergumam sekaligus bergetar: ’biarlah kuberlindung pada sifat- sifat bajik di dalam diri’.
Soal ego, ketekunan, kelembutan Tagore, prestasi hidupnya sudah memberikan jawaban. Dan perjalanan Tagore ke Borobudur memberi inspirasi, siapa yang egonya terkendali, tekun berlatih, lembut sikapnya, maka tersedia sebuah tempat berlindung yang mengagumkan: sifat- sifat bajik di dalam diri.
Seperti pesan Dalai Lama: compassion is the best protection. Atau pesan tetua Jawa, orang bodoh kalah sama orang pintar. Yang pintar kalah dengan yang licik. Namun ada yang tidak terkalahkan, yakni orang yang beruntung!. Dan keberuntungan tertinggi tercapai ketika kebajikan membuat semuanya terlihat baik. Orang baik terlihat baik, orang jahat terlihat baik karena kita cukup bajik.
Mungkin itu sebabnya stupa terbesar, teratas di Borobudur di dalamnya kosong (tanpa pesan) karena tidak ada lagi yang perlu dibicarakan.
No comments:
Post a Comment