Oct 19, 2010

KAYA RASA, KAYA MAKNA

”Cangkul, cangkul, cangkul yang dalam....”
Kemiskinan badan berjumpa kemiskinan batin, demikian seorang murid mendengar bisikan gurunya pada akhir meditasi.

Rumah sakit yang seyogianya menjadi tempat penyembuhan, tidak saja mahal, malah mengirim pasiennya ke penjara. Sekolah yang dulu menggembirakan, kini pada saat ujian dijaga polisi, Bahkan, terjadi berbagai penangkapan, menakutkan.

Sekolah yang indah
Di banyak tempat, ditemukan home schooling. Anak-anak takut ke sekolah karena dipukuli teman, guru galak, pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya. Ini memberi inspirasi, saatnya merekonstruksi sekolah agar indah.

Di sebuah pelatihan sopir taksi pernah dilakukan latihan memberi yang menarik. Pada hari pertama peserta diminta membawa nasi bungkus karena tidak disediakan makan siang. Peserta berlomba membawa makanan yang enak. Ketika makan, peserta diminta meletakkan nasinya di kelas sebelah untuk dimakan peserta sebelah. Sementara yang bersangkutan memakan makanan yang dibawa orang lain.

Pada hari kedua juga diminta membawa nasi bungkus. Setelah tahu kalau nasi yang dibawa untuk kelas sebelah, banyak yang membawa nasi seadanya. Tidak sedikit hanya membawa nasi putih saja. Ternyata aturannya berubah, peserta harus memakan nasi yang dibawa sendiri.

Yang ingin diilustrasikan di sini, menyangkut perut sendiri betapa borosnya manusia memberi, bahkan banyak yang stroke. Namun terkait perut orang, betapa sedikit yang diberikan. Tiba-tiba para sopir tersentak, betapa egoisnya hidup. Ego inilah yang menciptakan penderitaan. Maka ada guru yang berpesan: ”Memberi, memberi, memberi. Lihat bagaimana hidupmu menjadi sejuk dan lembut setelah rajin memberi”.

Di sekolah guru boleh meniru pola pelatihan sopir itu, bisa juga mengajak anak didik ke panti asuhan, bermain bola bersama anak kampung. Intinya, menyadarkan pentingnya memberi.

Dalam bahasa manusia jenis ini, saat memberi sebenarnya orang tidak saja mengurangi beban pihak lain, tetapi juga sedang membangun potensi kebajikan dalam diri. Ini yang kelak memancarkan kebahagiaan.

Tiga tangga pemberian
Pemberian terdiri tiga tangga. Pertama, semua makhluk sama dengan kita: ”mau bahagia, tidak mau menderita”. Karena itu, jangan pernah menyakiti.

Kedua, para makhluk lebih penting. Nasi, udara, pekerjaan, semua yang memungkinkan hidup berputar, dihasilkan makhluk lain. Binatang bahkan terbunuh agar manusia bisa makan daging. Untuk itu, banyaklah menyayangi. Dari menanam pohon, melepas burung, menyayangi keluarga, bekerja jujur, tulus, sampai memberi beasiswa anak-anak miskin.

Ketiga, karena semua makhluk lebih penting, belajarlah memberi kebahagiaan, mengambil sebagian penderitaannya. Perhatikan doa Santo Fransiskus dari Asisi. Beri saya kesempatan menjadi budak perdamaian. Di mana ada kegelapan kemarahan, biar saya hadir membawa cahaya kasih. Di mana ada bara api kebencian, biar batin ini muncul membawakan air suci memaafkan. Mistikus sufi Kabir berkata, ”Nur terlihat hanya beberapa detik, tetapi ia mengubah seorang penyembah menjadi pelayan.”

Dalai Lama kerap menitikkan air mata saat membacakan doa ini, ”Semasih ada ruang, semasih ada makhluk. Izinkan saya terus terlahir ke tempat ini agar ada yang membantu semua makhluk keluar dari penderitaan.”

Penggalan lagu di awal tulisan mengingatkan, dengan mencangkul yang dalam, akar-akar pohon membantu batang, daun, bunga, dan buah bertumbuh. Kehidupan manusia juga serupa. Hanya pemberian yang memungkinkan seseorang ”mencangkul hidupnya” secara mendalam. Hasilnya, bunga kehidupan mekar: kaya rasa, kaya makna. Sampai di sini, guru berbisik: bahkan kematian pun bisa berwajah menawan.

Pertama, bagi yang terbiasa memberi (melepaskan), tidak lagi tersisa kelekatan yang membuat kematian menakutkan. Kematian menakutkan karena manusia belum terbiasa melepaskan.

Kedua, melalui kematian manusia melaksanakan kesempurnaan pemberian. Jangankan uang, tubuh pun diikhlaskan.

Tubuh menyatu dengan tanah, ikut menghidupi makhluk di bumi karena menghasilkan padi, sayur, buah. Unsur air bergabung dengan air agar makhluk tidak kehausan. Unsur api menyatu dengan api agar makhluk bisa memasak. Unsur udara bersatu dengan udara agar makhluk bisa bernapas. Unsur jiwa (ada yang menyebut kesadaran) menyatu dengan semua jiwa (kesadaran) agar semua makhluk teduh. Inilah kematian yang menawan. Melalui kematian manusia bukan kehilangan, malah memberikan. Guru, semoga ada pemimpin yang tertarik mencangkul hidupnya secara mendalam. Lalu tersentuh untuk meringankan beban mereka yang kerap menangis oleh biaya sekolah, biaya berobat, biaya menemukan keadilan yang serba mahal.
TAHAN TERHADAP GUNCANGAN
Problematic society, itu sebutan sahabat yang memenuhi kepalanya dengan kejengkelan tentang Indonesia.

Lebih-lebih menjelang Pemilu 2009, di mana ruang publik dibikin riuh oleh banyak sekali iklan politik. Ada yang menyebutnya sebagai sampah virtual. Jujur harus diakui, setiap orang punya cara bertumbuh. Hanya ego yang buru-buru menyebutnya buruk.

Pepohonan bertumbuh secara tenang, tulus, ikhlas. Sedangkan anjing kampung berkelahi baik saat ada makanan maupun saat tidak ada makanan. Yang satu lembut, sejuk, teduh, apa pun godaannya, yang lain keras ganas di segala cuaca. Namun, keduanya sedang bertumbuh.

”The gift of listening”
Kerangka baik-buruk, suci-kotor, sukses-gagal, tinggi-rendah dan dualitas lainnya adalah cara pikiran manusia membuka pintu pengertian. Sayang, begitu pintunya terbuka, dualitasnya tidak ditinggalkan di belakang, bahkan digendong ke mana-mana. Ini serupa dengan cerita tentang seseorang yang hampir mati kelaparan di seberang sungai, kemudian diselamatkan oleh sebuah perahu.

Demikian tingginya utang budi dan kemelekatan orang ini pada perahu, kemudian ia menggendongnya ke mana-mana. Belakangan, orang ini mati karena kelelahan menggendong perahu.

Dalam wajah yang berbeda, mereka yang menggunakan pengetahuan, pengalamannya, tradisinya, dan agamanya untuk menghakimi dan menyakiti orang, sejujurnya bernasib serupa dengan penggendong perahu itu: berjalan kelelahan menggendong perahu keyakinan.

Untuk itulah, orang-orang bijaksana selalu menyediakan diri untuk belajar dan mendengar. Dengan belajar, manusia berhenti menjadi kura-kura yang menganggap rumah kecilnya adalah satu-satunya rumah yang layak huni. Dengan mendengar, manusia menyatu bersama samudra pengertian yang mahaluas.

Bila ada sesuatu yang terlihat aneh dan susah untuk dimengerti, kemungkinan terlalu tinggi atau terlalu rendah dibandingkan tingkat kemampuan pemahaman sekarang.

Mungkin itu sebabnya, kepala manusia memberikan pertanda bahwa telinga, mata, lubang hidung semuanya serba dua, tetapi mulut hanya ada satu.
Dengan kata lain, pemahaman lebih mungkin terbuka bila lebih banyak mendengar, melihat, dan merasakan segarnya kehidupan, sekaligus lebih sedikit berbicara.

Bagi yang sudah menyentuh batas-batas rasionalitas dan mengerti jika pengetahuan bisa menjadi penghalang pemahaman, akan tersenyum sambil berbisik: ternyata bisa mendengar adalah sebuah berkah!

Seorang guru di Perancis menulis: to say you don’t know is the beginning of knowing. Menyadari diri tidak tahu adalah awal pengetahuan sekaligus keagungan.

”The gift of understanding”
Dengan modal mendengar dan belajar inilah, para bijaksana menelusuri sisi-sisi kehidupan. Sesuatu yang awalnya terlihat baik, belakangan menjadi buruk. Hal lain yang semula terlihat suci menjadi sumber belenggu yang menakutkan kemudian.

Ujung-ujungnya satu, tidak ada yang kekal. Semua seperti air sungai: mengalir dan mengalir. Sehingga tidak saja sungai yang baru setiap detiknya (karena airnya berganti terus), pengertian juga senantiasa baru dan segar. Maka, di Timur tidak sedikit manusia yang terbebaskan dan tercerahkan hanya dengan memahami dalam-dalam makna ketidakkekalan.

Pengetahuan, filsafat, agama (terutama yang sangat mencengkeram sehingga membuat orang jadi fanatik) ibarat batu besar di sungai, mandek tidak bergerak. Kesediaan untuk belajar dan mendengar ibarat air mengalir di sungai, pada waktunya ia akan sampai di samudra.

Bila boleh berterus terang, kehidupan menyimpan tidak sedikit tokoh yang sudah menemukan indahnya belajar dan mendengar.

Ahmad Syafii Ma’arif (mantan Ketua Umum PP Muhamadiyah) mengakhiri renungannya tentang hari raya Idul Fitri tahun 2008 dengan mengutip pendapat Mahatma Gandhi yang beragama Hindu. Yudi Latief (salah satu murid almarhum Nurcholis Madjid) menutup refleksinya tentang hari raya Idul Fitri pada tahun 2008 dengan meminjam argumen pendeta Buddha Thich Nhat Hanh. Seorang pastor Katolik yang memimpin gereja di Puja Mandala Bali menghabiskan waktu tahunan di Mesir belajar filsafat Islam. Dari penuturannya mengalir wajah-wajah Islam yang indah.

HH Dalai Lama berkali-kali mengemukakan tidak tertarik untuk mengubah keyakinan orang menjadi pengikut Buddha. Satu-satunya ketertarikannya adalah bagaimana membangun hubungan harmonis di antara sesama manusia. Itu sebabnya banyak pihak menyebut beliau memiliki universal appeal.

Inilah ciri-ciri manusia yang di dalamnya kaya karena belajar dan mendengar. Tatkala ada pengertian yang berbeda (mengenai filsafat, agama, ideologi, tradisi) tidak buru-buru diberi judul salah. Mereka mulai dengan mendengar, kemudian belajar. Kesediaan untuk mengerti itu sebuah berkah (the gift of understanding), karena melalui pengertian terbuka pintu-pintu persahabatan, persaudaraan yang menjadi modal kebahagiaan kemudian.

Tahan guncangan
Ia yang sampai di puncak pemahaman akan berbisik, ”The best theologian is the one who never speaks about God”. Berbicara menunjukkan seseorang masih dua (subyek-obyek, Tuhan-manusia). Dalam pemahaman yang dibimbing persahabatan ini, ada yang menyebutkan bahwa yang dua sudah menjadi satu. Ada yang hanya senyum-senyum lembut tanpa suara. Raut mukanya memberi tanda tidak ada lagi yang perlu dibicarakan.

Dari sini muncul pertanyaan, bila demikian bingkai pengertiannya, lantas apa pedoman bertindak? Seorang guru yang amat menyentuh memberi pedoman sederhana. Membantu meringankan beban penderitaan para makhluk adalah yang paling baik. Bila tidak bisa, cukup jangan menyakiti. Inilah prinsip survival of the kindest. Kehidupan menjadi tahan guncangan karena kebajikan.

Semua kehidupan dimulai dengan kebaikan pihak lain. Tatkala lahir kita berutang pada kebaikan orangtua dan lain-lain. Nanti ketika meninggal lagi-lagi harus bergantung pada kebaikan orang lain. Kita didoakan, dibikinkan upacara oleh orang lain.

Dan, bila di antara kelahiran dan kematian lupa mengisinya dengan kebaikan, itu berarti gagal membayar utang kebaikan. Maka, ada yang menulis: compassion is the best protection. Welas asihlah penjaga kehidupan yang sesungguhnya. Tidak saja menjaga sekarang, tetapi juga menjaga sampai setelah kematian.

Perhatikan kehidupan Mohammad Yunus, Nelson Mandela, dan Dalai Lama yang tanpa senjata, tanpa agen rahasia, tetapi bercahaya ke mana-mana.

Boleh saja ada orang hidup penuh penghakiman (baik untuk diri, buruk untuk orang), di jalan kebajikan semuanya menghadirkan pelajaran.

Sebagai hasilnya, tidak saja orang baik terlihat indah. Iklan- iklan politik juga indah. Semuanya sedang bertumbuh, semuanya hanya cara guru membimbing.

No comments:

Post a Comment

Bookmark and Share
Custom Search