Jan 22, 2011

AYAM DAN BURUNG ELANG

Dalam sebuah kesempatan seminar di Surabaya, sahabat saya Krisnayana Yahya dari Universitas Airlangga punya pendapat menarik. Sahabat yang menghabiskan kebanyakan waktunya di Universitas ini, berani-beraninya menyebut Universitas sebagai ladang pembunuhan kreativitas. Di bagian lain presentasinya, ia menyebut ketidakbergunaan pengalaman. Banyak orang yang berpengalaman puluhan tahun, tetapi hanya mengulangi pengalaman tahun pertama berpuluh-puluh kali.

 

Anda boleh saja menyebut sahabat di atas sebagai anarkis, atau sentimen pada Universitas. Namun bagi saya, inilah orang-orang 'kurang ajar' namun amat diperlukan. Terutama setelah menyadari bahwa Universitas telah lama hanya dipuja, bahkan telah menjadi berhala intelektual yang mematikan bagi banyak sekali orang. Apapun yang datang dari sana, secara dogmatis diterima sebagai kebenaran. Kendatipun sebagian hanya menghasilkan serangkaian jalan keluar yang dari situ ke situ. Persis seperti ayam. Di mana, ayam kalau mencari makan akan berputar dalam luas wilayah yang amat sempit. Bahkan, tidak sedikit ayam yang hanya mencari-cari sesuatu di tanah yang sama berulang-ulang.

 

Kalau sejarah manusia dan bangsa boleh dihitung sebagai output Universitas, maka ada banyak bukti menunjukkan, bahwa Universitas telah menghasilkan banyak 'ayam'. Lihat saja sejarah bangsa ini. Orde berganti beberapa kali, tetapi persoalan yang muncul cuma itu dan itu. Demikian juga dengan sejarah perusahaan. Setiap orde pemerintahan menghasilkan rezim pengusaha yang berbeda. Namun, hampir semuanya jatuh bersamaan dengan orde yang menjadi gantungannya. Hal yang tidak jauh berbeda terjadi pada sejarah manusia.

 

Digabung menjadi satu, entah karena faktor sekolah atau bukan, sebagian dari kita sedang dibentuk dan membentuk diri seperti 'ayam'. Di mana, ada semacam kesenangan untuk hanya berputar di lingkungan ide yang kurang lebih sama. Enak memang, namun membuat kita seperti ayam yang siap dipotong kapan saja. Bedanya, kalau ayam dipotong manusia. Kita cepat atau lambat pasti dipotong kecenderungan.

 

Kalau benar intelektual adalah sejenis manusia yang bangun paling pagi, dengan banyaknya 'ayam' di setiap pojokan peradaban, saya sebenarnya mau bertanya, benarkan intelektual bangun paling pagi ? Lebih-lebih sekolah sebagai lembaga, sinyalemen Krisnayana Yahya di awal menunjukkan hal sebaliknya. Institusi yang semestinya menjadi ujung tombak kreasi, malah menjadi ladang pembunuhan.

 

Dengan batasan seperti truth, methodology, ulangan dan sejenisnya, sebenarnya sekolah sedang berputar-putar di sekitar wilayah ide yang terbatas, persis seperti ayam. Sayangnya, demikian dahsyatnya daya berhala dari sekolah lengkap dengan pengetahuannya, kita seperti tidak merasakan sedikitpun, sedang diajak berputar-putar di wilayah yang sama secara berulang-ulang.

 

Atau mengacu pada model knowledge pie ala Kenneth Blanchard, sekolah memfokuskan pencaharian pada dua bagian kecil pia tadi : kita tahu apa yang kita tahu, dan kita tahu apa yang kita tidak tahu. Sebaliknya, wilayah pengetahuan yang teramat besar (baca : kita tidak tahu apa yang kita tidak tahu), seperti terabaikan sejak dulu. Coba sebut, banyakkah sekolah yang mengajak fikiran muridnya berwisata melanglang jauh dari batas-batas pengetahuan yang menjadi batasnya ?

 

Sebut saja manajemen sebagai contoh. Di tingkat paradigma - meminjam model Gibson Burrell dan Gareth Morgan dalam Sociological Paradigm And Organizational Analysis - tidak ada pergeseran dari dulu hingga sekarang. Kedua penulis yang juga tokoh Universitas ini, mengklasifikasikan pengetahuan - kendatipun saya tidak sepenuhnya setuju - kedalam empat kotak paradigma. Sumbu vertikal mencakup asumsi tentang obyek pengamatan : stabil atau berubah secara radikal. Sumbu horisontal mencakup bagaimana pengetahuan diperoleh : subyektif atau obyektif.

 

Kalau ini acuannya, maka peta pengetahuan yang kita miliki hanya berputar di sekitar empat kotak yang sama. Betapa celakanya ini kepala, kalau hanya diajak berputar-putar seperti ayam di kubangan yang amat terbatas ? Tidak hanya jenuh dan membosankan, melainkan juga mempermiskin fikiran secara amat menyedihkan.

 

Dalam perspektif inilah, maka berfikir ala burung elang menjadi alternatif yang boleh dipertimbangkan. Berbeda dengan ayam, burung elang memiliki wilayah jelajah yang jauh lebih luas. Konsekwensinya, ia memiliki kemungkinan dipotong jauh lebih kecil dibandingkan ayam.

 

Membumikannya ke dalam wilayah berfikir dan pengetahuan, maka segala macam kotak dan batasan - seperti empat kotak Burrel Dan Morgan di atas - menjadi tidak lagi relevan. Atau kalau sekolah amat patuh dan penurut untuk tidak keluar kotak, maka burung elang mengajarkan kita untuk tidak melihat wilayah pengetahuan dalam bingkai-bingkai yang memasung. Tugas kita hanya terbang, terbang dan terbang.

 

Akan tetapi, pemetaan kedalam ayam dan burung elangpun sebenarnya sebuah kotak juga bukan ? Sama memasungnya - bahkan lebih memasung - dibandingkan dengan empat kotaknya Gibson Burrel dan Gareth Morgan. Dan sudah menjadi ciri pengetahuan sejak dulu seperti itu : mengkondisikan fikiran ke dalam kotak-kotak. Kalau Anda mengalami kesulitan untuk berfikir di luar kotak, berarti kita seri. Sama-sama sedang diperbodoh tulisan ala ayam ini.

No comments:

Post a Comment

Bookmark and Share
Custom Search