Feb 23, 2011

BISIKAN AIR KOLAM

Menyusul sebuah penugasan yang tidak bisa ditolak, seorang pendeta harus bepergian ke

sebuah desa pedalaman. Oleh karena rusaknya jalan, maka terpaksalah ia berdesak-desakan

menggunakan angkutan kota (angkot). Di tengah jalan, angkot terakhir distop oleh seorang

wanita cantik nan menawan plus bajunya yang minim baik di atas maupun di bawah. Melihat

godaan di depan mata, pendeta inipun berdoa untuk pertama kalinya : ‘Tuhan, jauhkanlah hamba

dari segala godaan’. Kendati sudah berdoa demikian, toh wanita cantik tadi duduk persis di

sebelah pendeta.

Begitu ada lobang jalan yang diabaikan supir angkot, berguncanglah kendaraan. Sebagai

akibatnya, bagian sensitif wanita cantik tadi menyentuh tubuh Bapa pendeta. Kali ini ia berdoa

untuk kedua kalinya : ‘Tuhan, kuatkanlah iman hambamu’. Tikungan berikutnya, ada polisi tidur

yang tidak dilihat supir angkot, sehingga meloncatlah kendaraan. Kali ini wanita cantik tadi

berteriak ketakutan sambil memeluk pendeta : ‘Bapa Pendeta toloong !’. Untuk ketiga kalinya,

sahabat pendeta tadi berdoa : ‘Tuhan, terjadilah apa yang seharusnya terjadi !’.

Silahkan Anda berespon terhadap lelucon ini. Mau tertawa, tersenyum, mengerutkan dahi, asal

jangan tersinggung karena ini hanyalah bunganya canda. Terlepas apapun respons Anda, nafsu

dan keserakahan di manapun berperilaku serupa. Di mana hawa nafsu bercampur rapi dengan

keserakahan, di sanalah kejernihan itu lenyap. Jangankan kejernihan orang biasa, doa

pendetapun bisa berubah begitu ia diperkosa oleh hawa nafsu.

Satu bingkai dengan cerita pendeta di atas, Indonesia sebagai sebuah kolam sangat mungkin

sedang kehilangan kejernihan. Masih jauhnya tanda-tanda keluar dari krisis, ditambah dengan

kisruhnya pemecahan demikian banyaknya persoalan publik, apa lagi diikuti oleh barisan

kecurigaan di sana-sini, maka lengkaplah wajah kolam Indonesia sebagai kolam kekisruhan.

Sebagaimana kolam yang sebenarnya, di mana wajah kolam yang kisruh menghalangi

penglihatan yang jernih tentang apa yang ada di kedalaman kolam, demikian juga dengan kolam

Indonesia. Setiap kali sebuah persoalan muncul ke permukaan, hampir setiap kali itu juga kita

berdebat tanpa ujung pangkal. Semakin lama debat dilakukan, bukannya semakin terbuka pintu

kejernihan, malah sebaliknya, semakin pintu kejernihan ditutup rapat-rapat oleh rangkaian

wacana di banyak media.

Sebutlah kasus PKPS yang berkepanjangan itu. Atau perhatikan sinyalemen dua komando

dalam perekonomian sebagaimana pernah disinyalir seorang sahabat ekonom. Atau drama

konflik yang melanda hampir semua partai politik besar. Atau perdebatan tentang legal tidaknya

penjualan sejumlah harta negara yang menghebohkan itu. Semakin lama dan panjang

perdebatan dilakukan, semakin sang penglihatan menjadi semakin rabun dalam melihat wajah

persoalan. Mirip dengan ayam yang bertemu sang malam, dan kemudian penglihatannya

menjadi rabun. Demikian juga dengan nasib sang negeri. Wacana bukannya membawa kita ke

terangnya sinar matahari siang hari, malah menggusur kita ke sang malam yang rabun.

Dalam sejarah pengetahuan dari dulu hingga sekarang, kebanyakan wacana adalah pergeserar

sang hari dari malam ke siang. Gerakan sebaliknya terjadi, hanya ketika kita manusia sudah

demikian terbungkus oleh nafsu dan keserakahan. Sehingga bisa dimaklumi, kalau ada banyak

sahabat sudah dihinggapi keengganan yang amat tinggi untuk mengikuti wacana.

Membaca koran, majalah, melihat televisi, mendengarkan radio yang membawa bendera wacana

bukanlah sebuah kesenggangan yang mudah menarik perhatian orang sekarang-sekarang ini.

Sejumlah sahabat bahkan menyebutkan, jauh lebih menarik melihat-lihat iklan dibandingkan

mengikuti wacana. Sebab, iklan adalah tanda-tanda lebih ‘jujur’ dari datangnya kecenderungan.

Atau memperhatikan gambar-gambar tanpa suara. Di mana gambar demikian berbicara jauh

lebih jujur dibandingkan kata-kata yang diproduksi lidah tidak bertulang.

Di tengah-tengah keengganan serta kemalasan seperti ini, di pinggir kolam saya suka membuka

telinga kepekaan. Tidak untuk berbuat aneh dan bisa dikira gila. Tetapi hanya untuk belajar

bagaiamana kolam bisa kelihatan jernih, hening dan terang. Andapun boleh mencobanya. Dan di

hampir semua kolam jernih, setiap pertanyaan yang datang dari kepekaan hanya dijawab dengan

silence. Seakan-akan sedang berbisik ke saya : wisdom is found in silence. Kearifan bisa

ditemukan dalam hening. Inilah suara arif yang kerap dibisikkan dan dinyanyikan kolam.

Entah Anda mendengar bisikan terakhir atau tidak. Yang jelas kolam sang negeri sedang

menunggu keheningan dan kejernihan. Waktunya memang akan datang. Cepat lambatnya

keheningan dan kejernihan berkunjung, amat ditentukan oleh keseriusan kita untuk bersahabat

dengan silence. Anda bebas untuk memilih jalur-jalur silence Anda, sebebas angin yang terbang

ke sana kemari, sebebas kolam yang senantiasa diam, sebebas langit yang kadang gelap

kadang terang. Apapun pilihan Anda semuanya layak dihargai.

Yang jelas, keengganan untuk mendengarkan bisikan air kolam di atas, mudah sekali membuat

kita bernasib serupa dengan lelucon Pendeta di atas,. Terjebak dalam keserakahan dan hawa

nafsu, ditenggelamkan kekeruhan, kemudian memanipulasi doa dengan kalimat : ‘terjadilah apa

yang seharusnya terjadi !’. Dan kolam sang negeripun hanya bisa diam dalam kekeruhan.

No comments:

Post a Comment

Bookmark and Share
Custom Search