Menyusul sebuah penugasan yang tidak bisa ditolak, seorang pendeta harus bepergian ke
sebuah desa pedalaman. Oleh karena rusaknya jalan, maka terpaksalah ia berdesak-desakan
menggunakan angkutan
wanita cantik nan menawan plus bajunya yang minim baik di atas maupun di bawah. Melihat
godaan di depan mata, pendeta inipun berdoa untuk pertama kalinya : ‘Tuhan, jauhkanlah hamba
dari segala godaan’. Kendati sudah berdoa demikian, toh wanita cantik tadi duduk persis di
sebelah pendeta.
Begitu ada lobang jalan yang diabaikan supir angkot, berguncanglah kendaraan. Sebagai
akibatnya, bagian sensitif wanita cantik tadi menyentuh tubuh Bapa pendeta. Kali ini ia berdoa
untuk kedua kalinya : ‘Tuhan, kuatkanlah iman hambamu’. Tikungan berikutnya, ada polisi tidur
yang tidak dilihat supir angkot, sehingga meloncatlah kendaraan. Kali ini wanita cantik tadi
berteriak ketakutan sambil memeluk pendeta : ‘Bapa Pendeta toloong !’. Untuk ketiga kalinya,
sahabat pendeta tadi berdoa : ‘Tuhan, terjadilah apa yang seharusnya terjadi !’.
Silahkan Anda berespon terhadap lelucon ini. Mau tertawa, tersenyum, mengerutkan dahi, asal
jangan tersinggung karena ini hanyalah bunganya canda. Terlepas apapun respons Anda, nafsu
dan keserakahan di manapun berperilaku serupa. Di mana hawa nafsu bercampur rapi dengan
keserakahan, di sanalah kejernihan itu lenyap. Jangankan kejernihan orang biasa, doa
pendetapun bisa berubah begitu ia diperkosa oleh hawa nafsu.
Satu bingkai dengan cerita pendeta di atas,
sedang kehilangan kejernihan. Masih jauhnya tanda-tanda keluar dari krisis, ditambah dengan
kisruhnya pemecahan demikian banyaknya persoalan publik, apa lagi diikuti oleh barisan
kecurigaan di sana-sini, maka lengkaplah wajah kolam
Sebagaimana kolam yang sebenarnya, di mana wajah kolam yang kisruh menghalangi
penglihatan yang jernih tentang apa yang ada di kedalaman kolam, demikian juga dengan kolam
berdebat tanpa ujung pangkal. Semakin lama debat dilakukan, bukannya semakin terbuka pintu
kejernihan, malah sebaliknya, semakin pintu kejernihan ditutup rapat-rapat oleh rangkaian
wacana di banyak media.
Sebutlah kasus PKPS yang berkepanjangan itu. Atau perhatikan sinyalemen dua komando
dalam perekonomian sebagaimana pernah disinyalir seorang sahabat ekonom. Atau drama
konflik yang melanda hampir semua partai politik besar. Atau perdebatan tentang legal tidaknya
penjualan sejumlah harta negara yang menghebohkan itu. Semakin lama dan panjang
perdebatan dilakukan, semakin sang penglihatan menjadi semakin rabun dalam melihat wajah
persoalan. Mirip dengan ayam yang bertemu sang malam, dan kemudian penglihatannya
menjadi rabun. Demikian juga dengan nasib sang negeri. Wacana bukannya membawa kita ke
terangnya sinar matahari siang hari, malah menggusur kita ke sang malam yang rabun.
Dalam sejarah pengetahuan dari dulu hingga sekarang, kebanyakan wacana adalah pergeserar
sang hari dari malam ke siang. Gerakan sebaliknya terjadi, hanya ketika kita manusia sudah
demikian terbungkus oleh nafsu dan keserakahan. Sehingga bisa dimaklumi, kalau ada banyak
sahabat sudah dihinggapi keengganan yang amat tinggi untuk mengikuti wacana.
Membaca koran, majalah, melihat televisi, mendengarkan radio yang membawa bendera wacana
bukanlah sebuah kesenggangan yang mudah menarik perhatian orang sekarang-sekarang ini.
Sejumlah sahabat bahkan menyebutkan, jauh lebih menarik melihat-lihat iklan dibandingkan
mengikuti wacana. Sebab, iklan adalah tanda-tanda lebih ‘jujur’ dari datangnya kecenderungan.
Atau memperhatikan gambar-gambar tanpa suara. Di mana gambar demikian berbicara jauh
lebih jujur dibandingkan kata-kata yang diproduksi lidah tidak bertulang.
Di tengah-tengah keengganan serta kemalasan seperti ini, di pinggir kolam saya suka membuka
telinga kepekaan. Tidak untuk berbuat aneh dan bisa dikira gila. Tetapi hanya untuk belajar
bagaiamana kolam bisa kelihatan jernih, hening dan terang. Andapun boleh mencobanya. Dan di
hampir semua kolam jernih, setiap pertanyaan yang datang dari kepekaan hanya dijawab dengan
silence. Seakan-akan sedang berbisik ke saya : wisdom is found in silence. Kearifan bisa
ditemukan dalam hening. Inilah suara arif yang kerap dibisikkan dan dinyanyikan kolam.
Entah Anda mendengar bisikan terakhir atau tidak. Yang jelas kolam sang negeri sedang
menunggu keheningan dan kejernihan. Waktunya memang akan datang. Cepat lambatnya
keheningan dan kejernihan berkunjung, amat ditentukan oleh keseriusan kita untuk bersahabat
dengan silence. Anda bebas untuk memilih jalur-jalur silence Anda, sebebas angin yang terbang
ke
kadang terang. Apapun pilihan Anda semuanya layak dihargai.
Yang jelas, keengganan untuk mendengarkan bisikan air kolam di atas, mudah sekali membuat
kita bernasib serupa dengan lelucon Pendeta di atas,. Terjebak dalam keserakahan dan hawa
nafsu, ditenggelamkan kekeruhan, kemudian memanipulasi doa dengan kalimat : ‘terjadilah apa
yang seharusnya terjadi !’. Dan kolam sang negeripun hanya bisa diam dalam kekeruhan.
No comments:
Post a Comment