Mar 9, 2011

BURUNG DENGAN SEBELAH SAYAP

Seorang teman dengan potensi tinggi, mengeluh berat setelah pindah-pindah kerja di lebih dari

lima tempat. Tadinya, saya fikir ia mencari penghasilan yang lebih tinggi. Setelah mendengarkan

dengan penuh empati, rekan ini rupanya mengalami kesulitan dengan lingkungan kerja. Di

semua tempat kerja sebelumnya, dia selalu bertemu dengan orang yang tidak cocok. Di sini tidak

cocok dengan atasan, di situ bentrok dengan rekan sejawat, di tempat lain malah diprotes

bawahan.

Kalau rekan di atas berhobi pindah-pindah kerja, seorang sahabat saya yang lain punya

pengalaman yang lain lagi. Setelah berganti istri sejumlah tiga kali, dengan berbagai alasan yang

berbau tidak cocok, ia kemudian merasa capek dengan kegiatan berganti-ganti pasangan ini.

Seorang pengusaha berhasil punya pengalaman lain lagi. Setiap kali menerima orang baru

sebagai pimpinan puncak, ia senantiasa semangat dan penuh optimis. Seolah-olah orang baru

yang datang pasti bisa menyelesaikan semua masalah. Akan tetapi, begitu orang baru ini

berumur kerja lebih dari satu tahun, maka mulailah kelihatan busuk-busuknya. Dan iapun mulai

capek dengan kegiatan berganti-ganti pimpinan puncak ini.

Digabung menjadi satu, seluruh cerita ini menunjukkan bahwa kalau motif kita mencari pasangan

– entah pasangan hidup maupun pasangan kerja – adalah mencari orang yang cocok di semua

bidang, sebaiknya dilupakan saja.

Bercermin dari semua inilah, maka sering kali saya ungkapkan di depan lebih dari ratusan forum,

bahwa fundamen paling dasar dari manajemen sumber daya manusia adalah manajemen

perbedaan. Yang mencakup dua hal mendasar : menerima perbedaan dan mentransformasikan

perbedaan sebagai kekayaan.

Sayangnya, kendati idenya sederhana, namun implementasinya memerlukan upaya yang tidak

kecil. Ini bisa terjadi, karena tidak sedikit dari kita yang menganggap diri seperti burung yang

bersayap lengkap. Bisa terbang (baca : hidup dan bekerja ) sendiri tanpa ketergantungan pada

orang lain. Padahal, meminjam apa yang pernah ditulis Luciano de Crescendo, kita semua

sebenarnya lebih mirip dengan burung yang bersayap sebelah. Dan hanya bisa terbang kalau

mau berpelukan erat-erat bersama orang lain.

Anda boleh berpendapat lain, namun pengalaman, pergaulan dan bacaan saya menunjukkan

dukungan yang amat kuat terhadap pengandaian burung bersayap sebelah terakhir. Di

perusahaan, hampir tidak pernah saya bertemu pemimpin berhasil tanpa kemampuan bekerja

sama dengan orang lain. Di keluarga, tidak pernah saya temukan keluarga bahagia tanpa

kesediaan sengaja untuk ‘berpelukan’ dengan anggota keluarga yang lain. Di tingkat pemimpin

negara, orang sehebat Nelson Mandela dan Kim Dae Jung bahkan mau berpelukan bersama

orang yang dulu pernah menyiksanya.

Lebih-lebih kalau kegiatan berpelukan ini dilakukan dengan penuh cinta. Ia tidak saja merubah

sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, mentransformasikan kegagalan menjadi

keberhasilan, namun juga membuat semuanya tampak indah dan menyenangkan. Makanya,

penulis buku Chicken Soup For The Couple Soul mengemukakan, cinta adalah rahmat Tuhan

yang terbesar. Demikian besarnya makna dan dampak cinta, sampai-sampai ia tidak bisa

dibandingkan dengan apapun. Rugi besarlah manusia yang selama hidupnya tidak pernah

mengenal cinta. Ia seperti pendaki gunung yang tidak pernah sampai di puncak gunung. Capek,

lelah, penuh perjuangan namun sia-sia. Ini semua, mendidik saya untuk hidup dengan pelukan cinta. Di pagi hari ketika baru bangun dan

membuka jendela, saya senantiasa berterimakasih akan pagi yang indah. Dan mencari-cari

lambang cinta yang bisa saya peluk. Entah itu pohon bonsai di halaman rumah, ikan koi di kolam,

atau suara anak yang rajin menonton film kartun. Begitu keluar dari kamar tidur, akan indah

sekali hidup ini rasanya kalau saya mencium anak, atau istri. Melihat burung gereja yang

memakan nasi yang sengaja diletakkam di pinggir kali, juga menghasilkan pelukan cinta

tersendiri. Demikian juga dengan di kantor, godaan memang ada banyak sekali. Dari marah,

stres, frustrasi, egois sampai dengan nafsu untuk memecat orang. Namun, begitu saya ingat

karyawan dan karyawati bawah yang bekerja penuh ketulusan, dan menghitung jumlah perut

yang tergantung pada kelangsungan hidup perusahaan, energi pelukan cinta entah datang dari

mana.

Kembali ke pengandaian awal tentang burung dengan sebelah sayap, Tuhan memang tidak

pernah melahirkan manusia yang sempurna. Kita selalu lebih di sini dan kurang di situ. Atau

sebaliknya. Kesombongan atau keyakinan berlebihan yang menganggap kita bisa sukses sendiri

tanpa bantuan orang lain, hanya akan membuat kita bernasib sama dengan burung yang

bersayap sebelah, namun memaksa diri untuk terbang.

Sepintar dan sehebat apapun kita, tetap kita hanya akan memiliki sebelah sayap. Mau belajar,

berjuang, berdoa, bermeditasi atau sebesar dan sehebat apapun usaha kita, semuanya akan

diakhiri dengan jumlah sayap yang hanya sebelah. Oleh karena alasan inilah, saya selalu ingat

pesan seorang rekan untuk memulai kehidupan setiap hari dengan pelukan. Entah itu memeluk

anak, memeluk istri, memeluk kehidupan, memeluk alam semesta, memeluk Tuhan atau di

kantor memulai kerja dengan ‘memeluk’ orang lain.

No comments:

Post a Comment

Bookmark and Share
Custom Search