Jun 25, 2011

BEDA EKONOM DENGAN ULAR

Seorang rekan dari Amerika, pernah membuat saya tersenyum kecut dengan cerita lomba kepiting. Konon, suatu hari sebuah organisasi bernama IMF (Indonesia Memang Fayah), mengadakan lomba lari kepiting secara berkelompok, sambil menelusuri sejumlah lorong gelap.

Kontingen wakil dari negara krisis lainnya, sudah keluar dari ujung lorong yang menjadi garis finish. Ditunggu sampai berjam-jam, kelompok kepiting Indonesia tidak keluar-keluar. Setelah ditanya sebabnya, ternyata mereka ribut berkelahi menentukan siapa keluar lorong pertama sebagai pemimpin. Dan, sayapun hanya bisa tersenyum kecut.

Awal Desember 1998 lalu, di sebuah seminar saya bertemu sederetan ekonom yang bernasib sama dengan saya : tersenyum kecut sambil kehabisan argumen.

Mendengar penjelasan Pande Radja Silalahi dan Didik J. Rachbini di seminar ini, sepertinya saya menemukan sejumlah kesamaan antara ular dan ekonom.

Pertama, ular badannya susah dipegang. Demikian juga dengan ekonom beserta ramalan-ramalannya. Sobat saya Hartojo Wignjowijoto pernah meramalkan satu rupiah sama dengan seribu dolar.

Kedua, ular itu menakutkan. Nah, bertemu ekonom di zaman krisis ini juga menakutkan. Pande Radja Silalahi menyebutkan, bila kecenderungan equity perbankan yang menurun digabungkan dengan negative spread, tanpa perbaikan memadai, maka banyak bank yang umurnya hanya sampai bulan Maret 1999.

Ketiga, ular adalah lambang pesimisme karena setelah makan selalu tidur sampai lapar lagi. Ekonom di lain sisi, justru akan diundang di sana-sini kalau berkicau tentang pesimisme.

Sebagai seorang gelandangan intelektual - demikian sejumlah rekan menyebut diri saya, terus terang saya terganggu dengan analisis sejumlah ekonom. Secara lebih khusus dengan menggunakan pesimisme sebagai satu-satunya bungkus data.

Menghadapi lingkungan ekonomi politik seperti zaman krisis ini, sebenarnya mirip dengan menemukan seekor ular. Yang perlu diwaspadai, bukan sang ular, melainkan bagaimana kita berespons terhadap ular. Atau, dalam keputusan, yang terpenting adalah bagaimana berespons terhadap kecenderungan.

Dalam proses berespons terakhir, spirit dan keyakinan akan memberi warna dominan. Sayangnya, ia dibuat hancur oleh nyanyian pesimisme kaum ekonom.

Kembali ke perkara awal tentang perbedaan ekonom dengan ular, saya menyadari sepenuhnya ketakutan yang timbul dengan mengetahui keadaan ekonomi yang sakit parah.

Akan tetapi, menempatkan pesimisme sebagai satu-satunya warna pembungkus informasi, sama saja dengan membunuh ekonomi kita secara pasti.

Ekonomi yang buruk tidak otomatis membuat bisnis hancur. Dengan spirit dan keyakinan, banyak pelaku ekonomi yang bisa keluar sebagai pemenang.

Salah satu perusahaan sahabat saya Fadel Muhammad justru meningkat omsetnya ratusan persen setelah krisis. Dan sederetan kasus sejenis.

Theodore Levitt dari Harvard pernah menulis. Ilmuwan mengabaikan perbedaan. Terutama dengan membasiskan idenya pada angka rata-rata. Namun, praktisi mengamati perbedaan. Dan, hidup nyaman bersama perbedaan.

Belajar dari sini, selalu ada gunanya belajar - apa lagi dari ekonom. Namun, tidak ada salahnya kalau waspada dengan 'ular' yang bernama ekonom. Sebab, dunia mereka mengurangi perbedaan. Dunia praktisi, menikmati perbedaan.

Sebagaimana telah lama disadari dalam tradisi ilmu pengetahuan, a way of seeing is a way of not seeing. Atau, penglihatan dari satu sisi, bisa menghilangkan kemungkinan untuk melihat dari sisi lain.

Demikian juga dengan tulisan gendheng ini. Buat rekan-rekan ekonom seperti Didik J. Rachbini, Pande Radja Silalahi, dan Hartojo Wignjowijoto, saya memiliki sebuah keyakinan kecil : dalam dunia intelektual, sahabat sejati saya adalah kaum penghujat. Semakin keras hujatan mereka, semakin tinggi kontribusinya terhadap kedewasaan saya secara intelektual.

Dibandingkan berebut mengatakan diri lebih benar dibandingkan ekonom - mirip dengan cerita lomba kepiting di awal tulisan ini - saya lebih memilih menjadi sahabat sejati Anda.

No comments:

Post a Comment

Bookmark and Share
Custom Search