Setiap orang Bali yang sembahyang ke Pura tahu, setelah selesai sembahyang kemudian diperciki tirta (air suci), tatkala siap-siap meninggalkan tempat sembahyang semua mengucapkan kata shanti (damai) tiga kali. Sebuah pertanda sederhana, berkah spiritual yang kita bawa dari Pura ke kehidupan keseharian adalah batin yang damai.
Sekaligus memberikan cahaya bimbingan, ketika manusia Bali mau memutuskan hal-hal yang penting (apa lagi yang sangat penting seperti rencana tata ruang pulau Bali ke depan), seyogyanya dibimbing oleh batin yang damai. Adu argumentasi memang tidak bertentangan dengan batin yang shanti, sejauh dilakukan untuk saling menginspirasi, bukan untuk saling menyakiti.
Tata ruang spiritual
Keharmonisan antara alam material dan alam spiritual adalah sebuah warisan tetua Bali yang berkontribusi tinggi terhadap Bali seperti yang kita warisi. Menyadari ini, sebelum melangkah mendalam di tataran ruang-ruang material, mungkin bijaksana bila kita mendalami ruang-ruang spiritual orang Bali . Boleh saja orang lain di tempat lain menggunakan pendekatan lain, namun warisan spiritual tetua Bali mengajarkan barometer utama dalam melihat tata ruang spiritual adalah Parama Shanti. Seberapa damai kita dalam keseharian.
Bagi orang Bali yang mata spiritualnya terbuka, dekat batinnya dengan warisan tetua Bali, susah untuk tidak tersentuh atau menitikkan air mata ketika mengetahui bom teroris meledak dua kali, angka bunuh diri terus semakin tinggi, angka perceraian semakin meninggi dari hari ke hari. Dan tentu masih bisa ditambah lagi dengan yang lain.
Bila menggunakan cara memandang lain, mungkin wajah spiritual Bali juga lain, namun dalam teropong Parama Shanti, mungkin layak dikemukakan sejumlah pertanyaan. Dibandingkan dengan tetua yang lebih miskin materi dulu, adakah kita hidup lebih shanti? Dibandingkan dengan tetua yang sebagian buta huruf namun rukun, adakah limpahan sarjana membuat kita lebih shanti?
Dalam pandangan spiritual, di tempat atau putaran waktu di mana keserakahan, kemarahan, iri hati, kebencian menjadi kekuatan yang mengalahkan segalanya, di sana Parama Shanti menjadi barang langka. Lebih dari itu, dalam kekeruhan keserakahan dan kebencian, setiap langkah semakin mendekatkan manusia pada musibah.
Bercermin dari sinilah, mungkin pembahasan tentang tata ruang akan lebih bersih sekaligus jernih bila dilakukan secara pelan perlahan sekaligus penuh persahabatan. Serupa dengan tirta yang lagi keruh karena berisi bunga, beras dll, hanya bila diletakkan dalam ketenangan beberapa waktu ia bisa kembali bersih sekaligus jernih. Dalam bimbingan kejernihan seperti ini, baru mungkin lahir solusi tata ruang jangka panjang yang menyejukkan.
Tata ruang material
Entah bagaimana tetua Bali di tempat lain mengajarkan generasi penerusnya. Di desa Tajun Bali Utara ada tetua yang mengajarkan konsep luan-teben (hulu-hilir). Dengan perkecualian Pura Bukit Sinunggal yang dulunya di hulu, kemudian karena perpindahan lokasi desa menjadi di hilir, di hulu (luan) desa diletakkan semua kesucian, di hilir (teben) ditempatkan hal-hal yang jauh dari kesucian. Namun, apa pun sebutan kepada ruang-ruang di hilir, ia senantiasa ditempatkan
dalam kerangka Bhur Bvah Svah (semuanya bagian dari Tubuh Tuhan yang sama). Kaki memang di bawah, kepala memang di atas. Namun tanpa kaki, kepala sangat terhambat kegiatannya. Kesucian memang menggetarkan, tetapi kekotoran yang membuatnya semakin bercahaya.
Kendati demikian, kepala dan kaki memiliki penutup (pelindung) yang berbeda. Kaki penutupnya sepatu. Kepala penutupnya destar. Meletakkan sepatu di kepala, atau destar di kaki akan mudah menjadi awal kekacauan kosmik (cosmic disorder).
Di desa Tajun dan desa-desa tetangga, ada yang melanggar ketentuan luan-teben ini. Sebagai contoh, kuburan yang seyogyanya terletak di teben, diletakkan di luan. Sebagai akibatnya, bertahun-tahun terjadi kekacauan kosmik yang menakutkan di tempat ini (pembunuhan, bunuh diri, gantung diri dan sejenisnya).
Menata kembali ruang kosmik, inilah yang layak diendapkan dalam-dalam ketika kita harus menata ulang tata ruang. Di wilayah hulu (bila kita sepakat menggunakan pegunungan di tengah pulau Bali sebagai acuan kaja), akan bagus sekali bila diputuskan radius di mana semua bentuk kegiatan pariwisata ditiadakan, hunian manusia dibatasi. Bila mana perlu pepohonan tua pun dilarang untuk ditebang.
Namun karena ini akan memberikan disinsentif merugikan kepada warga dan pemilik tanah yang hidup di sana , mungkin layak memberikan insentif agar tidak terjadi penolakan. Misalnya, memberikan mereka bibit-bibit secara gratis, harga pupuk yang lebih murah, sekaligus fasilitas memprioritaskan menampung hasil pertanian mereka di hotel-hotel di Bali .
Pantai sebagai wilayah hilir memang tidak selalu diletakkan sebagai teben terutama karena banyak Pura suci yang ada di sana . Ini juga serupa. Segera disepakati secara jernih wilayah jangkauan kesucian Pura sehingga tatanan kosmik terjaga baik. Pola insentif (sebagaimana wilayah pegunungan) juga layak dipertimbangkan.
Dan karena tanda-tanda kekacauan kosmik sudah terlihat jelas dan transparan, inilah saatnya diperlukan ketegasan sikap para pihak terkait, agar tata ruang dikembalikan ke posisi sebagaimana kita terima dari tetua Bali . Keadaannya serupa dengan Krishna yang harus turun bertempur menemani Arjuna. Dalam bagian yang amat kritis, Krishna bahkan memerintahkan Bima memukul kaki Duryodana. Diperlukan banyak keberanian dan ketegasan agar ruang-ruang kosmik bisa kembali ke posisi semula.
Kembali ke cerita parama shanti, bagi pekerja, damai berarti keadaan tersedianya pekerjaan. Di mata pertapa, damai adalah buah dari welas asih kita pada semua mahluk. Untuk penyembah (bakta), damai adalah keadaan batin yang sujud dan penuh bakti. Dan bagi elit yang lahir di waktu ketika kekacauan kosmik terjadi di mana-mana, shanti adalah keberanian untuk mengembalikan tatanan ke bentuk aslinya sebagai Bhur Bvah Svah. Yang di bawah kembalikan ke bawah, yang di tengah kembalikan ke tengah, yang di atas kembalikan ke atas. Inilah tata ruang Bali Shanti. Warisan terpenting yang bisa kita berikan kepada generasi berikutnya.
No comments:
Post a Comment