Siang ini saya menelepon ibu, beliau bercerita tentang perjalanan pernikahannya dengan ayah. Sejak kecil ibu sangat pengertian, masa kecilnya dilalui sangat sulit. Ibu harus giat belajar di sekolah, selain itu masih harus membantu mengerjakan pekerjaan rumah, menjaga adik-adiknya. Semua tetangga tahu ibu seorang anak yang rajin.
Ayah juga sangat rajin dan berasal dari keluarga miskin. Setelah berpikir berulang kali akhirnya dia memilih menjadi tentara. Lima tahun berkarir dalam militer, ayah diberhentikan dari dinas militer. Ayah pulang kampung dan diperkenalkan ibu oleh seseorang. Setelah mengenal selama dua tahun, mereka menuju ke pelaminan.
Sebenarnya sejak berkenalan dengan ayah, ibu sudah mulai berkorban demi ayah. Sebelum menikah, ibu adalah seorang penjahit khusus busana pesta. Sebenarnya ibu mempunyai tabungan yang lumayan banyak, tetapi karena ayah baru saja berhenti dari dinas militer, sama sekali tidak mempunyai uang maka ibu membelikan ayah sepeda dan arloji dari uang tabungannya. Lebih-lebih setelah menikah ibu sepenuh hati berkorban demi rumah ini.
Ibu meminta bantuan kenalannya untuk mencarikan pekerjaan bagi ayah. Setelah ayah mendapatkan pekerjaan, segala urusan rumah tangga menjadi tanggung jawab ibu. Karena ayah sering kali tak ada di rumah, maka setelah saya lahir dia juga jarang sekali memberikan perhatian kepada saya. Suatu hari ketika ayah pulang ke rumah setelah menyelesaikan tugasnya, saya menangis karena tidak mengenalinya.
Dikemudian hari ketika tempat ayah bekerja kian lama manfaat ekonominya semakin memburuk, hingga akhirnya perusahaan itu bangkrut. Maka semua pengeluaran keluarga dibebankan pada ibu.
Ibu mencari bantuan orang lain untuk mencarikan pekerjaan bagi ayah. Jika pekerjaan baru tidak sesuai maka ibu mencari lagi cara untuk mendapatkan pekerjaan yang lain. Dalam keadaan yang sedemikian sulit, ayah masih juga tetap tidak mau membuka suara untuk mencari bantuan orang lain, hanya diam-diam mempertimbangkan.
Cara yang digunakan ayah agak pasif, dia tidak secara pro-aktif mencari jalan keluar untuk menyelesaikan masalah ini. Dengan demikian semua menjadi tanggung jawab ibu, beban yang sangat berat acapkali membebani ibu hingga hampir saja tidak bisa bernapas. Oleh karena itu kadang kala ibu bisa juga marah, dia mengeluh dengan mengatakan, “Dikehidupan lalu saya telah berhutang kepadamu, berhutang terlampau banyak, berhutang seumur hidup….”
Dengan tenang saya mendengarkan cerita dari ibu yang berkeluh kesah segala persoalan ketika bersama ayah, tak tertahankan saya tersenyum. Terakhir ibu memberitahu memang demikianlah hubungan antara manusia, apalagi hubungan antara suami istri, mereka bisa hidup bersama karena membalas budi atau membalas dendam. Sedangkan hubungan antara ayah dan ibu, memang benar karena ayah pernah berbudi besar kepada ibu, maka ibu menggunakan seumur hidupnya untuk membalas budi ayah.
Selesai menutup telepon, saya mulai berpikir mungkin memang demikian. Ada sebagian suami istri mereka berkumpul hanya untuk bertengkar, bertengkar ini dan itu. Meski seumur hidup mereka tidak pernah berpisah tetapi telah saling melukai. Pasangan demikian ini mungkin termasuk yang saling membalas dendam.
Ada sebagian lagi suami istri yang saling mencintai, menghormati dan mendukung. Segala suka dan duka dimasa kehidupan sekarang ini, ternyata semuanya adalah buah balasan yang kita tanamkan sendiri.
Jika dipikir demikian, seharusnya suami-istri bisa menyayangi pasangan hidupnya, sedangkan suami istri yang saling mendendam, juga seharusnya bisa menghadapi dengan tenang segala hal yang dia terima.
No comments:
Post a Comment