bagaimana mengenali potensi diri kita yang sejati.
Sebenarnya, pertanyaan ini lebih layak kalau ditanyakan ke psikolog, bukan ke
orang ‘liar’ yang tidak mengenal batas-batas disiplin seperti saya. Namun,
dasar pembicara publik yang harus menjawab semua pertanyaan yang datang, maka
terpaksa keluarlah jawaban-jawaban enteng khas orang ‘liar’. Dalam logika yang
amat sederhana, potensi sesuatu sebenarnya terkait erat dengan dari apa sesuatu
tadi dibuat. Obat yang dibuat dari komposisi A,B,C dan D tentu saja khasiatnya
sangat ditentukan oleh bahan dan interaksi antarbahan tadi. Demikian juga
dengan kita sebagai manusia. Dengan sedikit kejernihan, badan serta jiwa kita
sebenarnya dibentuk semuanya oleh komponen-komponen yang berasal dari alam
semesta. Udara yang kita hirup, makanan yang kita makan, minuman yang kita
minum semuanya berasal dari alam, dan memberikan warna yang amat dominan
terhadap tubuh ini. Makanya, salah satu penulis buku kesehatan pernah menulis :
‘we are what we eat’. Kita ini menjadi seperti apa-apa yang
kita makan.
Itu baru badan. Aspek kejiwaan juga dipengaruhi oleh alam
(fisik maupun sosial) tempat kita hidup. Ini bisa dilihat dari berbedanya
sistim nilai, kepribadian, maupun gaya hidup manusia yang hidup dalam
lingkungan yang berbeda. Digabung menjadi satu, alam memiliki kekuatan yang
amat menentukan terhadap potensi diri kita
kini maupun nanti. Dengan demikian, untuk mengetahui potensi
sejati kita kini, lihatlah unsure-unsur alam pembentuk kita kemaren dan
sebelumnya. Dan guna mengetahui potensi sejati kita nanti, lihatlah unsur-unsur
alam pembentuk kita kini. Dengan menempatkan persoalan seperti ini, bukan
berarti saya sedang menempatkan manusia pada posisi sangat tidak berdaya di
depan alam. Manusia memang memiliki pilihan, terutama untuk membentuk dirinya
dengan unsur-unsur alam pilihannya. Hanya saja, begitu pilihan dibuat, kita
hanya bisa tunduk kepada hukum-hukum alam yang sejati.
Dalam kapasitas memilih inilah, maka kedalaman refleksi
tentang sang aku menjadi amat menentukan. Disamping itu, keselarasan dengan
alam akan berpengaruh dengan potensi kita kemudian. Mari kita mulai dengan
faktor kedalaman refleksi dulu, kemudian kita akan lanjutkan dengan keselarasan
bersama alam. Ada banyak sekali manusia di zaman ini yang amat rajin
berkomunikasi dengan orang lain, namun amat jarang – bahkan ada yang tidak
pernah – berkomunikasi dengan sang aku. Makanya, ada banyak orang yang asing
dalam tubunya sendiri. Semua hal datang dan pergi
tanpa bisa dijelaskan sepenuhnya. Siklus mood maupun siklus
hidup lainnya bergerak naik turun secara ekstrim tanpa bisa dimengerti, apa
lagi dikelola. Untuk itulah, maka kedalaman refleksi menjadi sebuah titik yang
menentukan dalam perjalanan
menuju medan potensialitas. Ada banyak jalan dan terowongan
menuju ke situ. Izinkan saya membawa Anda menuju dua terowongan saja. Pertama,
terowongan sepi dan diam.
Kedua, terowongan non judgemental life. Dalam sepi dan diam
– tanpa ada yang didengar, dibaca, dilihat dan diajak bicara – sebenarnya kita
sedang masuk ke dalam sumur sang aku. Di tahap-tahap awal, fikiran dan
konsentrasi memang bisa lari kemana-mana tanpa kendali. Akan tetapi, begitu ia
menjadi kebiasaan yang berulang dan berulang, ada saatnya kita sudah mulai
masuk ke diri kita sendiri. Terasa aneh memang mulanya, namun kalau kita masuki
terus terowongan tadi dengan penuh kesabaran, ada semacam kesenangan
tersendiri. Lebih-lebih kalau kita sudah mulai menyelami dan merasakan
bahan-bahan yang membentuk tubuh ini. Menurut saya, nikmat dan memuaskan sekali.
Saya melakukannya antara tiga puluh menit sampai satu jam setiap harinya. Proses
memasuki terowongan sepi dan diam tadi, bisa mudah bisa juga susah. Namun, perjalanan
ke sana akan lebih mudah kalau kita berhenti hidup menghakimi (non judgemental
life). Ini benar, itu salah. Saya hebat, orang lain goblok.
Dan masih banyak lagi sikap-sikap menghakimi lainnya. Dengan fikiran kotor
seperti ini, terowongan tadi menjadi penuh halangan dan rintangan. Dan sekali
fikiran bersih dari kotoran menghakimi, maka perjalanan menuju sumur aku tadi
seperti jalan bebas hambatan.
Setelah kedalaman refleksi, saya ingin mengajak Anda ke
tahapan harmoni bersama alam.
Sebelumnya sudah saya kemukakan bahwa diri kita terbuat dari
unsur-unsur alam. Dan karena kita berasal dari sana, potensi akan lebih mudah
berkembang kalau kita dekat dengan dunia asal tadi. Mirip dengan kita yang
merasa nyaman dalam dekapan ibu, anak sapi yang tenteram di bawah ketiak
induknya, kita juga memerlukan dekapan-dekapan nyaman dan menentramkan dari alam.
Entah itu sungai, gunung, hutan, danau atau pantai. Kita memerlukan dekapannya.
Lebih-lebih kalau kita melakukan proses refleksi di atas – melalui diam dan tidak
menghakimi – dalam dekapan hangat alam. Di situlah medan potensialitas sejati
itu lebih mudah ditemukan. Limpahan
rezeki setiap hari, mudah sekali dialami dalam alam
potensialitas seperti ini. Kuantitas rezeki memang urusan Tuhan, namun kualitas
rasa syukurnya akan amat berlimpah dalam medan magnet kehidupan seperti ini.
Setidaknya, itulah yang saya lakukan dalam kehidupan saya. Dan Anda bebas
memilih, untuk mengikutinya atau melupakannya.
No comments:
Post a Comment