Jun 7, 2013

EMOSI JALANAN MENGARAH PADA GANGGUAN MENTAL



 “Hei, minggir kau !” teriak seorang pria muda di tengah padatnya arus kendaraan di sebuah jalan di Manhattan.

“Ini jalan umum, apa Anda tidak lihat!” sahut seorang perempuan tengah baya ke arah mobil yang menghalangi jalannya.

Skenario ini mungkin kerap Anda jumpai ketika berkendara di tengah keramaian jalan, namun perilaku semacam ini tidak hanya khusus terjadi di antara para pengendara jalan raya, bahkan sering kali juga terjadi di antara sesama pemakai jalan dan pejalan kaki.

Situasi demikian dinamakan “Sidewalk rage”, diterjemahkan menjadi “emosi jalanan”, yakni suatu kondisi yang dipicu oleh perilaku seseorang yang menyalahi etiket pergaulan sehingga menimbulkan konflik dalam lingkungan sosial tertentu. Hal ini nyata terjadi, ibarat virus yang menular. Pada suatu titik ekstrim, luapan amarah seseorang bisa jadi “meledak-ledak” dan mengarah pada sejenis gangguan mental.

Menurut laporan Wall Street Journal, para peneliti telah mempelajari gejala ini dan menyimpulkan bahwa ada beberapa faktor penentu yang menjadi sebab dan akibat terjadinya ”emosi jalanan”.

Pada dasarnya semua tindakan berkenaan dengan “emosi jalanan” ini bisa terjadi di tempat-tempat umum manapun, tidak hanya di tepi jalan, sementara pelaku penyimpangan itu sendiri menunjukkan perilaku tak mendasar, bertindak sewenang-wenang, tidak hormat dan cenderung meremehkani orang lain, misalnya memberikan tatapan sinis kepada orang lain, berteriak, memaki atau menabrak orang serta perilaku kasar lainnya.

Pelajar, pejalan kaki, pembeli dan pelancong semuanya bisa saja menunjukkan perilaku seperti ini.

Sebuah contoh, bagi pecinta Facebook mungkin Anda bisa coba menelaah.  Terdapat lebih dari 11.000 orang mengatakan bahwa mereka suka pernyataan “Aku tidak suka orang yang berjalan lambat.” Lebih dari 400.000 orang lainnya setuju “Tidak suka berada di belakang orang yang berjalan lambat.”

Terbukti bahwa “emosi jalanan” bisa berubah menjadi perdebatan sengit - lebih dari 19.000 pengguna Facebook bergabung dalam kelompok “I Secretly Want to Punch Slow Walking People in the Back of the Head/ Diam-diam Saya Ingin Memukul dari belakang Mereka yang berjalan lambat.”

Berdasarkan laporan Wall Street Journal, “seseorang yang bersikap demikian menunjukkan gejala gangguan mental yang dinamakan “intermittent explosive disorder[1] (IED)”.

Sementara National Institute of Mental Health pada tahun 2006 melaporkan bahwa “mendorong, mendesak atau melontarkan seruan sangat mungkin merupakan gejala dari kondisi tersebut, yang “ditandai dengan tahap-tahap kemarahan yang tidak beralasan” dan sekitar 16 juta warga Amerika telah terinfeksi wabah ini.

IED bisa sangat berbahaya. Penderita yang mengalami gangguan ini sangat mungkin melakukan tindakan penyerangan fisik dan perampasan harta milik orang lain, menyebabkan luka dan kerusakan materi.”

Sebagin besar dari mereka memiliki risiko tinggi terserang depresi, mudah gelisah, mengonsumsi obat-obat terlarang atau alkohol.

Beberapa peneliti kasus “emosi jalanan” dan IED menemukan bahwa kunci untuk mendapatkan pemahaman dan penyelesaian atas fenomena ini adalah mendefinisikan faktor pemicu amarah dan menemukan cara bagaimana menyikapi kemarahan orang-orang ini.

Kami sedang mencoba untuk memahami apa yang membuat orang-orang ini marah dan seperti apakah pengalaman mereka,” ujar Jerry Deffenbacher, seorang profesor dari Universitas Negeri Colorado dan seorang pakar psikolog. “Bagi mereka yang menganggap kemarahan adalah persoalan pribadi, kami sedang mencoba mengembangkan dan mengevaluasi cara-cara guna menolong mereka.” 

No comments:

Post a Comment

Bookmark and Share
Custom Search