Setiap kali lewat daerah pesisir pantai yang kering, kerap
ada yang bertanya dari mana orang-orang pinggir pantai memperoleh kehidupan?
Tentu saja dari pekerjaan nelayan. Dan sejalan dengan perkembangan peradaban
yang semakin mendewakan harta, nelayan juga menggunakan alat-alat menangkap
ikan agar bisa mendapatkan ikan tangkapan sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan
dampak jangka panjang. Bahkan ada yang menggunakan alat tangkap ikan yang
sangat menghancurkan lingkungan. Seorang sahabat di Barat punya cerita menarik
tentang seorang nelayan tua. Sama dengan nelayan lainnya, nelayan tua ini juga
melempar jaringnya selebar-lebarnya. Bedanya, tatkala jaringnya diangkat
ikan-ikan kecil dilepaskan balik ke samudra, yang diambil hanya segelintir ikan
besar itu pun hanya dalam jumlah kecil yang cukup untuk makan hari itu saja.
Cerita sederhana ini adalah cerita tentang pencarian diri. Sebagaimana
kebanyakan nelayan, kebanyakan manusia mengambil apa saja yang lewat di depan
tidak peduli besar atau kecil. Dalam bahasa banyak kawan: “peluang tidak datang
dua kali”. Tapi segelintir jiwa yang sudah tua, mengembalikan ke alam apa saja
yang masih memerlukan pertumbuhan, hanya mengambil sebagian kecil saja yang
betul-betul dibutuhkan.
Saat sebuah biro perjalanan besar di Bali mengabarkan bahwa
ada seorang pengusaha super kaya dari China yang datang menggunakan pesawat jet
pribadi ke Bali, kemudian minta dibimbing melakukan meditasi, tercium aroma
akan bertemu nelayan tua. Setelah dijumpai benar adanya. Bila kebanyakan orang
datang ke sesi meditasi setelah hidupnya di pinggir jurang (lumpuh, stroke,
kanker stadium lanjut, keluarga berantakan), anak muda super kaya ini yang
menghabiskan banyak waktunya di awal karir di lembah Silicon Amerika Serikat,
merasakan tarikan aroma spiritual tatkala badannya masih sehat walafiat,
keluarga bahagia, perusahaan miliknya sedang besar menggurita dengan jumlah
karyawan puluhan ribu di seluruh dunia. Makanya, tatkala dijumpai di salah satu
resort termahal di Bali, Guru di dalam membuka pertemuan dengan ucapan lembut:
“You are an old soul“.
Bila bukan roh tua, tidak mungkin ditarik magnet
spiritualitas mendalam tatkala semuanya masih baik-baik saja. Indahnya roh tua,
mulai bisa membedakan mana yang hanya ikan-ikan kecil yang sebaiknya dilepaskan
balik ke samudra, mana ikan besar yang cukup untuk dimakan hari ini. Kekayaan,
keterkenalan, kekaguman orang yang disebut ikan besar oleh kebanyakan orang
ternyata hanya ikan kecil. Disebut kecil karena hanya membantu dalam perjalanan
amat pendek (bahagianya sebentar, tidak kekal, cepat berlalu), itu pun dengan
resiko diseret arus kehidupan berbahaya seperti kesombongan dan rasa sakit
berkepanjangan. Kesederhanaan, keterhubungan, kerendahhatian sebagai modal
pelayanan, itulah ikan-ikan besar yang bila dimakan akan menjadi teman
perjalanan jangka panjang. Jauh lebih panjang dari umur tubuh biologi ini.
Dalam bahasa spiritualitas mendalam, ikan kecil disebut diri
yang kecil, ikan besar disebut Diri yang agung. Bukan dalam pengertian orang
kebanyakan, di mana karena merasa menemukan Diri yang agung kemudian
menyepelekan dan menghakimi orang yang mencari diri yang kecil. Sekali lagi
bukan! Keagungan Diri yang agung mencakup dan melingkupi semuanya. Ia melampaui
kepicikan dualitas kecil-besar. Itu sebabnya, ciri utama Diri yang agung adalah
lapar melayani makhluk lain. Jangankan melihat pengemis lapar atau tuna wisma
yang kedinginan tatkala hujan di bawah jembatan, melihat tikus kecil saja
memunculkan rasa mau memberinya makan, nyamuk hinggap di lengan dibiarkan saja
minum setetes darah, melihat taman yang tidak terurus menimbulkan perasaan mau
menyirami dan memupuk. Bukan mau disebut hebat, tapi karena sudah mengalami
langsung dalam kesedihan makhluk lain ada kesedihan kita, dalam kebahagiaan
makhluk lain ada kebahagiaan kita. Ujungnya cuman satu: “service is the only
nourishment“. Pelayanan itulah nutrisi jiwa yang amat dibutuhkan oleh Diri yang
agung.
Seorang sahabat yang sudah menyatu dengan Diri yang agung
menyisakan sebuah pesan indah sekali: “When I forgot myself, I serve you. In
serving, I remember myself. And finally realize that I am you“. Tatkala saya
melupakan diri yang kecil saya lapar melayani. Dalam pelayanan saya menemukan
kembali Diri yang agung. Dan pada akhirnya mengalami bahwa tidak ada bedanya
antara saya dan Anda. Itu sebabnya pada nelayan tua dari China sebagaimana
diceritakan di atas disarankan, sayangi keluarga, fasilitasi setiap orang yang
dijumpai untuk bertumbuh, gunakan rasa syukur sebagai sarana untuk terhubung,
kemudian lihat ada Diri yang agung yang akan terlahir. Sebagaimana pelayanan
merindukan kata “Wow” sebagai ungkapan kagum karena pelayanannya mengagumkan,
doa Diri yang agung juga “Wow: wishing others well“. Semoga semuanya baik dan
bahagia. Makanya, bisa dimaklumi tatkala seorang murid bertanya bagaimana ia
bisa berkontribusi pada kedamaian dunia, Bunda Teresa menjawab lembut: “go back
home and love your family“. Doa terindah adalah sikap keseharian yang penuh
kasih sayang. Dengan doa seperti ini, semua tempat menjadi tempat suci.
No comments:
Post a Comment