Seorang anggota pasukan
khusus tampak berjingkat-jingkat dalam gerakan lambat. Senapan serbu yang
dia pegang ditodongkan tepat di belakang kepala sang penyandera. Dalam temaram
lampu jalan, terdengar empat kali suara tembakan. Setelah itu kamera televisi
yang menyiarkan langsung adegan tersebut tiba-tiba kehilangan gambar. Bersamaan
dengan terdengarnya letusan, suasana berubah chaos. Masyarakat yang
tegang setelah empat jam lebih menyaksikan peristiwa penyanderaan di dalam bus
umum itu, segera meluapkan kemarahan mereka dengan menyerbu sang penyandera.
Situasi menjadi tak terkendali.
Dalam tayangan televisi kemudian terlihat sang
penyandera diseret masuk ke dalam mobil polisi dan dilarikan setelah berhasil
menerobos lautan manusia. Sementara gambar lain memperlihatkan perempuan yang
disandera dibopong polisi dalam kondisi tewas dengan darah membasahi sekujur
tubuhnya.
Adegan di atas merupakan klimaks dari drama
penyanderaan sebuah bus di Rio de
Janeiro, Brazil,
yang disiarkan langsung hampir semua televisi di negeri itu dan disaksikan
jutaan pasang mata penonton. Drama penyanderaan itu kemudian diangkat dalam
film dokumenter berjudul “Bus 174”.
Film dokumenter yang mengguncang perasaan jutaan
penonton itu saya saksikan di Festival Film Dokumenter di Erasmuis Huis Jakarta. Saat itu ada dua
film dokumenter yang saya tonton, yang sangat kontradiktif antara film pertama
dan film kedua.
Film kedua yang saya tonton berjudul “El Sistema” yang
menggambarkan kehidupan anak-anak dan remaja di sebuah kampung kumuh di
jantung kota
Venezeula, Amerika Latin. Ada
persamaan antara film pertama dan film kedua. Sama-sama bercerita tentang
anak-anak yang tinggal di kampung miskin. Tapi, akhir cerita kedua film itu
berbeda bak langit dan bumi.
Di dalam film El Sistema digambarkan betapa kampung
padat penduduk dengan gang-gang sempit itu merupakan perkampungan miskin yang
sarat kejahatan. “Setiap hari saya melihat anak-anak di sini berdagang
narkoba,” ujar seorang bocah yang diwawancarai. “Di sini juga anak-anak muda
bawa pistol dan kerap terjadi baku
tembak. Saya takut. Saya ingin keluar dari kampung ini.”
Untung ada sekolah musik gratis yang dirintis oleh Jose Antonio Abreu, seorang pemusik, aktivis, dan tokoh pendidik di negeri itu, yang berhasil menjadi lorong bagi anak-anak miskin di kampung itu untuk keluar dari kegelapan.
Untung ada sekolah musik gratis yang dirintis oleh Jose Antonio Abreu, seorang pemusik, aktivis, dan tokoh pendidik di negeri itu, yang berhasil menjadi lorong bagi anak-anak miskin di kampung itu untuk keluar dari kegelapan.
Dengan segala keterbatasan fasilitas dan dibantu para
relawan yang sangat berdedikasi, anak-anak di kampung itu diajari bermain
musik. Ujung dari semua itu, mereka kemudian berhasil tampil memukau dalam
pertunjukkan orkestra berkelas dunia.
Sementara itu, Sandro do Nascimento, pemuda pembajak
bus nomor 174 itu, tumbuh dalam situasi yang jauh berbeda. Pada saat usianya
baru menggapai lima
tahun, dia menyaksikan ibunya ditikam hingga tewas di depan matanya. Sejak itu
Sandro kecil “melarikan diri” dari kehidupan kanak-kanak yang indah, dan
“tenggelam” di jalanan. Bersama anggota geng lainnya, dia menjelajah kehidupan
keras dari lampu merah ke lampu merah di Rio
de Janeiro.
Pada saat usianya menanjak remaja, Sandro sudah
berkali-kali masuk penjara. Di film dokumenter itu juga diungkapkan kondisi
kamar-kamar penjara yang mengerikan. Selain kotor dan sempit, satu sel dijejali
puluhan tahanan. “Bahkan untuk berdiri saja susah,” ujar reporter di film itu.
“Sandro yang waktu itu masih remaja juga mengalami kondisi itu. Mereka tidur di
sel dalam posisi berdiri.”
Di penjara ini pula dikisahkan Sandro mendapat
perlakuan yang tidak manusiawi. Tak heran jika dalam salah satu teriakannya
kepada para petugas hukum yang mengepung bus yang dibajaknya, Sandro menantang
mereka. “Kalian sekarang takut kan?
Mengapa kalian hanya berani ketika aku berada di dalam penjara?”
Jika kita hanya menonton adegan penyanderaan bus yang
sangat mencekam itu, kita akan segera membenci dan menjadikan Sandro musuh
bersama. Pikiran dan perasaan kita terwakilkan dari kemarahan masyarakat yang
terlihat saat menonton penyanderaan tersebut.
Hampir semua orang yang diwawancarai mengecam petugas yang tidak juga menembak mati Sandro, pada saat dimana sang penyandera itu beberapa kali menjulurkan kepalanya keluar bus. Momen itu seharusnya dengan mudah dimanfaatkan penembak jitu yang sudah mengepung bus tersebut untuk menembak kepala Sandro.
Hampir semua orang yang diwawancarai mengecam petugas yang tidak juga menembak mati Sandro, pada saat dimana sang penyandera itu beberapa kali menjulurkan kepalanya keluar bus. Momen itu seharusnya dengan mudah dimanfaatkan penembak jitu yang sudah mengepung bus tersebut untuk menembak kepala Sandro.
Tapi, pembuat film dokumenter tersebut agaknya ingin
mengajak penonton untuk mundur ke belakang, menelusuri perjalanan hidup pemuda
berkulit hitam ini. Penonton kemudian dibawa menyusuri kehidupan Sandro yang
kelam. Dimulai ketika Sandro kecil menyaksikan ibunya tewas ditikam di depan
matanya, melalui wawancara dengan bibi dan ibu angkatnya, penonton diajak untuk
mengenal lebih jauh kehidupan Sandro. Di sinilah penonton seakan digiring untuk
berempati terhadap nasib pemuda malang
ini.
“Dia berada pada tempat dan waktu yang salah. Dia
melihat sendiri ibunya ditikam berkali-kali, “ ujar sang bibi. “Sejak itu dia
menyimpan amarah yang dalam. Bahkan pada saat pemakaman ibunya, dia tidak mau
hadir,” sang bibi melanjutkan.
Film ini juga mencoba mengungkap sisi “manusia” dari
Sandro melalui penuturan ibu angkatnya. Beberapa waktu sebelum peristiwa pembajakan
bus tersebut, Sandro mengungkapkan kegembiraannya ketika sang ibu angkat
menawarinya menempati sebuah kamar sempit di rumah sang ibu angkat.
“Jadi, aku nanti punya kamar sendiri?” ujar Sandro
seakan tidak percaya. “Aku juga punya jendela sendiri? Boleh menonton televisi
kapan pun aku mau?” Kalimat itu meluncur dari mulut Sandro, yang sebagian besar
hidupnya menggelandang di jalanan. “Aku akan pulang ke sini. Aku janji,” ujar
Sandro pada ibu angkatnya. Tapi, apa lacur, setelah itu sang ibu angkat justru
menyaksikan anak angkatnya itu di televisi, dalam siaran langsung, sedang
menyandera sekelompok perempuan di sebuah bus umum bernomor 174. Dan sejak itu
Sandro tak pernah kembali ke rumah itu lagi. Konon polisi terpaksa menembaknya
di dalam mobil ketika dia mencoba melawan.
Menyaksikan kedua film tersebut membuat saya teringat
pada anak-anak di Indonesia yang tumbuh di perkampungan miskin. Kondisi mereka
tidak jauh berbeda dengan anak-anak di Venezuela maupun di Brazil di film
itu. Mereka harus berjuang melawan kemiskinan dan kekerasan yang hadir setiap
saat di sekitar mereka.
Menyaksikan kedua film tersebut membuat saya semakin
tersadar, bahwa penanganan yang berbeda akan menghasilkan hal yang berbeda
pula. Anak-anak di Venezuela
yang lahir di perkampungan kumuh yang sarat kriminalitas, bisa menjadi anggota
orkestra kelas dunia dengan keterampilan bermusik yang luar biasa. Mereka juga
akhirnya berhasil keluar dari jebakan kemiskinan dan kriminalitas.
Sementara anak-anak di perkampungan di Rio de Jeneiro,
yang kondisinya mirip perkampungan di Venezuela, terjebak dalam situasi
yang berbeda. Mereka tumbuh liar dan berakhir tragis seperti kisah yang dialami
Sandro. Film yang satu digambarkan “happy ending”, yang satu lagi “tragic
ending”.
Kedua film itu seakan kembali mengingatkan kita semua
bahwa nasib anak-anak itu juga tergantung pada sikap kita. Jika kita menutup
mata hati kita, maka nasib anak-anak itu bisa seperti tokoh Sandro di film Bus
174. Sebaliknya, jika hati kita tergerak dan berempati terhadap nasib dan masa
depan mereka, maka terbentang harapan yang besar mereka akan tumbuh
menjadi anak-anak yang berprestasi. Anak-anak yang punya masa depan yang lebih
baik.
No comments:
Post a Comment