Memadamkan kegaduhan yang disebabkan kipas
angin, malam dalam sekejap menjadi beku, memandang gamang cahaya lampu yang
remang-remang, tidak terasa kesepian sedang diam-diam merangkak naik ke meja
tulis saya.
Mendadak saya terjatuh dalam lorong waktu,
hal-hal kecil dimasa silam bagaikan montase bermunculan dalam benak. Dalam
keseharian berbisik dan bersenda gurau dengan teman bermain, perhatian yang
mendalam dari para guru, kasih ayah dan ibu yang penuh perhatian, semuanya
terpampang didepan mata, tetapi kini saya merasakan kesepian yang mutlak.
Perlahan saya mendorong daun jendela hingga
terbuka, malam hari ini diatas langit kekurangan bintang yang menghias, juga
langit nampak sangat kesepian. Angin malam berhembus dengan lembut membelai
wajah tetapi malah membuat saya merasa letih.
Perlahan menghirup udara, pikiran ini tidak
kuasa terseret pada berbagai kejadian. Hati ini bagaikan berkelana ketempat
yang luas tiada batas. Ketika kesepian ini bagaikan seorang anak yang tersesat
ditengah perjalanan, berputar-putar terus tidak menemukan jalan pulang. Ketika kesepian
ini bagaikan seorang tahanan yang melarikan diri dari penjara, berlari dan
terus berlari namun tak kunjung keluar dari penjara hati.
Saya mengira telah memahami maksud perkataan
orang Tiongkok, “Jarak yang paling jauh.” Mungkin banyak orang disekeliling
saya, tetapi keramaian dan kebisingan tidak bisa menambal kehampaan dalam hati.
Saya mendambakan seorang teman yang bisa memahami. Saya kira yang ditarik
mendekat itu adalah jarak di antara batin, bukan tubuh yang berbentuk ini.
Karena itu setelah keramaian itu lewat, saya sering kali mengalami rasa sepi
itu, dan terkadang berbicara pada diri sendiri.
Mengarahkan pandangan sekali lagi ke meja
tulis saya, tangan membolak-balik halaman buku. Sebuah perkataan telah
menyadarkan saya, “Manusia bisa kesepian karena dia tidak membenahi jembatan,
malahan membangun tembok untuk menutup diri.”
Saya berharap orang lain bisa memahami diri
saya, namun tidak mempunyai keberanian untuk menapakkan langkah pertama. Lalu
bagaimana bisa kita menuntut orang-orang disekitar masuk kedalam jiwa dan mencoba
mengerti diri kita?
Saya tidak bisa hanya berada dibalik tembok
hati dan berharap mendapatkan pengertian dari orang lain. Saya harus membangun
sebuah jembatan hati, untuk menghubungkan hati sendiri dengan orang lain,
saling mendengarkan suara hati masing-masing, saling mendengarkan perasaan
masing-masing, dengan demikian saya baru bisa benar-benar berjalan keluar dari
penjara kesepian ini, mencurahkan segenap hati untuk bertemu dengan dunia luar.
Tepat jam 12 malam, saya memadamkan lampu dan
bersiap-siap memeluk sebuah mimpi yang indah. Perasaan kesepian itu
berangsur-angsur hilang bagaikan kabut, sampai esok hari dapat dipastikan
adalah sebuah hari yang cerah!
No comments:
Post a Comment