Henny pergi ke supermarket membeli beberapa
bahan makanan olahan. Di dalam lemari pendingin, dia melihat ada satu bungkus
mi ikan sotong, lalu melihat plakat harga yang tertempel di atas bahan makanan
itu. 5,49 euro, wah mahal sekali! Diteliti lagi, bahan makanan yang tertulis
pada plakat itu, udang windu. Sebelah atasnya, juga ada sebuah plakat dengan
harga yang sama, namun untuk udang kering.
Dua jenis bahan makanan ini kebetulan tidak di
dalam lemari pendingin, yang ada hanya mi ikan sotong. Lantas berapa harga mi
ikan sotong ini? Henny menelusuri satu demi satu pelakat harga, akhirnya ia
menemukan harga mi tersebut di sebelah lemari pendingin pertama. Harganya 3,49
euro. Harga ini betul, sama seperti dulu. Dengan lega Henny mengambil satu
bungkus mi ikan sotong.
Ketika membayar di kasir, mesin pemindai label
harga tidak mengenali barang tersebut. Kasir terpaksa pergi memeriksa sendiri
harga yang tertulis. Setelah memeriksa, kasir itu mengetik harga mi ikan sotong
senilai 5,49 euro. Mengetahui hal itu, Henny segera berkata, “Harga ini tidak
benar.”
Kasir itu menjawab, “Tapi saya sudah
memeriksanya, memang harganya segitu!”
Henny bersikukuh, “Saya juga sudah memeriksa,
harganya bukan sebesar itu!”
Kasir itu menjawab, “Jika Anda tidak percaya,
saya bisa mengantar Anda melihatnya.”
“Baiklah! Kita bersama-sama melihat plakat
harga itu!”
Dua orang ini, saling berkata dengan lantang
karena menganggap dirinya benar. Mereka pergi melihat harga yang tertulis di
plakat. Kasir menunjuk plakat harga yang ada di atas mi ikan sotong dan berkata,
“Coba Anda lihat, bukankah harganya 5,49 euro?”
Henny bergegas menimpali, “Lantas tulisan ini
apa? Yang tertulis di plakat itu udang windu!”
Kasir itu menunjuk lagi, “Kalau begitu tentu
yang ini!”
Henny menjawab, “Yang tertulis itu untuk udang
kering! Plakat harga mi ikan sotong itu ada di sini! Coba Anda lihat sendiri!”
Setelah memeriksanya, kasir itu terdiam. Dia
mengatupkan telapak tangan dan berkata kepada Henny, “Saya mohon Anda mau
berbicara perlahan. Mohon jangan terlalu keras.”
Dengan nada emosi Henny berkata, “Bukankah ini
siasat kalian? Sengaja meletakkan barang pada tempat yang salah, membiarkan
pelanggan salah melihat agar membayar lebih!”
Kasir itu berkata, “Saya mohon Anda berbicara
pelan sedikit, saya akan mengembalikan 2 euro dan masalah selesai.”
Henny berkata ketus, “Kalian yang bersalah
masih tidak mengizinkan orang untuk berkata?”
Setiba di rumah, saat merapikan barang-barang
yang baru saja dibeli, dalam benak Henny muncul gambaran peristiwa yang baru
saja terjadi. Tetapi entah mengapa, dia sama sekali tidak merasakan suatu
kegembiraan dalam hati. Bayangan yang muncul di pelupuk matanya adalah mimik
wajah kasir yang tegang, memohon dengan melas agar dia melirihkan suaranya.
Henny berpikir, “Ah! Mengapa saya tadi tidak
bisa menggunakan suara lirih berkata kepada kasir itu? Bahkan berlagak seperti
orang bisu, hanya menudingkan tangan ke tempat plakat harga yang benar,
bukankah dengan cara ini hanya memuaskan perasaan ego sendiri?”
Hati Henny menjadi sangat sedih dan malu pada
dirinya sendiri. Ketika marah, ia tidak bisa mempertahankan sikap ramah, dan
ketika kebenaran berada di pihak kita, tidak bisa menguasai diri untuk mengalah
dengan bijak.
Memperdebatkan kebenaran, mengejar dan memukul
orang ketika kita berada di atas angin adalah kepuasan hati yang dikejar oleh
manusia biasa, juga merupakan manifestasi dari orang biasa yang senang akan
kemenangan.
Menahan diri untuk tidak berdebat walaupun
kebenaran berada di pihak kita, mendapatkan kebenaran tapi masih bisa mengalah
kepada orang lain. Meski hal tersebut tidak mudah untuk dilakukan, tetapi bila
Anda mampu melakukannya, akan mendapatkan sebuah perasaan manis tanpa
penyesalan saat mengenang kembali peristiwa itu.
No comments:
Post a Comment