Apr 14, 2017

SI HIJAU DAN SI MERAH

Ada sebuah kisah yang telah membuat teman saya kuatir dan gelisah hingga sekarang, kemudian saya juga telah melihat pesan netter ini dari internet.

Netter ini berkata bahwa dia melihat kisah tersebut ketika dia masih duduk di kelas 3 SD, dia telah merasakan bahwa kisah tersebut telah membuat dia merasa  menyesal dan gelisah seumur hidup.

Kisah apakah sebenarnya yang telah berpengaruh kepada orang yang pernah membacanya? Itu adalah “Si merah dan Si hijau” karya tulis dari Wang Han Zhuo, berikut adalah garis besar  isi kisah tersebut!

Si Merah yang berumur sembilan tahun adalah putri dari keluarga pencari ginseng yang tinggal di gunung Chang Bai.

Dia tidak mempunyai saudara juga tidak mempunyai teman yang dapat menemaninya bermain, karena tinggal di dalam gunung, jarak rumah para tetangga sangat berjauhan.

Suatu hari Si Merah menjumpai seorang anak lelaki yang memakai pakaian hijau di dalam hutan, dia adalah Si Hijau. Karena usia mereka sebaya, sebentar saja mereka telah menjadi teman yang akrab, Si Merah setiap hari pergi ke dalam hutan mencari Si Hijau untuk bermain. Sekarang Si Merah sudah tidak merasa kesepian lagi.

Kemudian, ayah dan ibu Si Merah sering mendengarkan Si Merah bercerita tentang Si Hijau. Lambat laun, keluarga Si Merah mulai khawatir, mereka pergi mencari informasi kemana-mana, tapi para tetangga yang dekat dengan rumahnya, tidak ada seorang pun yang memiliki anak yang seusia dengan Si Hijau.

Ayah dan ibu Si Merah mulai merasakan keganjilan, lalu mulai mencurigai Si Hijau adalah jelmaan dari ginseng ribuan tahun, penduduk setempat mempercayai legenda bahwa ginseng yang sudah berumur ribuan tahun dia tidak akan menetap di satu tempat, dia bisa lari kian kemari berganti tempat.

Untuk mengetahui kepastian tempat dari  ginseng ribuan tahun, ayah Si Merah menuntut Si Merah untuk diam-diam mengikatkan sehelai benang di ujung pakaian Si Hijau.

Pada mulanya Si Merah tidak mau, karena  biar bagaimana pun dia tidak akan menghianati Si Hijau. Akan tetapi kemudian dia tidak kuasa oleh rayuan kedua orang tuanya, Si Merah pada akhirnya menjepitkan benang itu di kerah baju Si Hijau.

Sejak saat itu, Si Hijau tidak pernah muncul lagi. Keluarga Si Merah menjadi kaya karena telah menjual ginseng yang berumur ribuan tahun, tetapi Si Merah sedikit pun tidak merasa senang. Dia merasa bahwa dialah yang telah menghianati Si Hijau, menghianati seorang teman yang baik dan jujur serta sangat mempercayai dirinya.

Dia sangat merindukan Si Hijau, dia lalu menanam biji ginseng yang dulu diberi oleh Si Hijau di tempat mereka kali pertama bertemu, setiap hari dengan rajin ia siram dengan air….

Hari demi hari telah berlalu, tunas tanaman itu telah tumbuh menjadi pohon kecil, dan Si Merah juga sudah berubah dari seorang anak kecil menjadi nenek tua.

Dari awal hingga akhir dia percaya bahwa pohon itu adalah jelmaan dari Si Hijau. Dia berharap pada suatu hari nanti ketika dia bangun dari tidur, bisa terdengar suara nyanyian Si Hijau dari dalam hutan, “Satu baskom kapur, dua baskom api, mentari keluar menyinari saya……..”

Berharap ketika hari ini benar-benar tiba, Si Merah bisa mendapatkan kesempatan meminta maaf kepada Si Hijau.

Ceritanya telah selesai, setelah membacanya,  apakah bagian tertentu dalam hati Anda, juga merasakan sakit?

Kisah semacam ini jika diceritakan kepada teman-teman yang masih belia, bagi hati nurani mereka yang masih sangat murni polos, merasakan memang benar sangat berat untuk ditopang!

Tidak peduli itu adalah perasaan khawatir dan gelisah atau menyesal dan galau, tidak tega dan ti-dak ingin melukai orang lain, sebenarnya semua itu adalah bagian dari hakekat kemurnian hati di dalam sanubari terdalam dari setiap manusia, yang kita kenal dengan nama nurani.

Namun seiring dengan berjalannya waktu, pertambahan umur, dan akibat dicemari oleh nama dan keuntungan dalam dunia, berangsur-angsur hal itu telah membuat banyak orang lupa atau kehilangan hakekat yang paling berharga ini.

Sebagai gantinya, demi mencapai tujuan, mereka tidak segan-segan mengadu keberuntungan dengan cara apa pun, bahkan dengan melukai orang lain, memandang kemurnian sebagai kebodohan yang menggelikan, membiarkan nurani terkubur oleh rasa apatis!

Si Merah telah mempergunakan seumur hidupnya untuk menebus kesalahan yang pernah dia lakukan di waktu kecil, menunggu kesempatan untuk menyatakan maaf, tanpa peduli apakah kesempatan itu bisa benar-benar akan tiba atau tidak? Nurani dalam lubuk hatinya tetap masih berkilauan.

Dalam Hukum Alam Semesta dikatakan, bahwa seseorang bisa mengubah nasibnya hanya dengan dua cara, yang satu adalah masuk ke jalan kultivasi, yang satunya lagi adalah tak henti-hentinya melakukan kejahatan.

Dalam kehidupannya, seorang manusia tidak akan luput dari perbuatan salah, namun bila setelah berbuat, ia masih bisa merasa menyesal maka orang tersebut masih memiliki nurani, hukum langit akan memberinya ganjaran yang sesuai, agar dia memiliki kesempatan untuk menebus dosanya.

Tetapi jika dia sama sekali tidak mempunyai rasa penyesalan dan masih terus melakukan kesalahan, maka sebaliknya langit tidak akan memberikan hukuman apapun padanya dalam kehidupan sekarang ini, karena dia sudah tidak dapat ditolong lagi.

Orang semacam ini kelihatannya tidak apa-apa, baik-baik saja walaupun dia melakukan segala kejahatan yang ada. Tetapi ketika ajalnya tiba, yang dihadapi olehnya adalah kemusnahan total jiwa raga, adalah saatnya dia masuk ke dalam neraka menerima penderitaan untuk selamanya.

Buah balasan dalam kehidupan manusia sangatlah adil, demi menikmati keuntungan selama puluhan tahun, lalu membayar ganjaran penderitaan untuk selamanya adalah orang yang benar-benar bodoh!

Semoga kisah dari Si Merah dan Si Hijau ini bisa membuat kita tidak tersesat lagi di dalam perjalanan hidup manusia yang penuh dengan jebakan nafsu keuntungan, agar kemurnian dan nurani yang berada dalam hati bisa kita pertahankan untuk selamanya. 

No comments:

Post a Comment

Bookmark and Share
Custom Search