Ada sebuah kisah yang
telah membuat teman saya kuatir dan gelisah hingga sekarang, kemudian saya juga
telah melihat pesan netter ini dari internet.
Netter ini berkata bahwa dia melihat kisah tersebut ketika
dia masih duduk di kelas 3 SD, dia telah merasakan bahwa kisah tersebut telah
membuat dia merasa menyesal dan gelisah
seumur hidup.
Kisah apakah sebenarnya yang telah berpengaruh kepada orang
yang pernah membacanya? Itu adalah “Si merah dan Si hijau” karya tulis dari
Wang Han Zhuo, berikut adalah garis besar
isi kisah tersebut!
Si Merah yang berumur sembilan tahun adalah putri dari
keluarga pencari ginseng yang tinggal di gunung Chang Bai.
Dia tidak mempunyai saudara juga tidak mempunyai teman yang
dapat menemaninya bermain, karena tinggal di dalam gunung, jarak rumah para
tetangga sangat berjauhan.
Suatu hari Si Merah menjumpai seorang anak lelaki yang
memakai pakaian hijau di dalam hutan, dia adalah Si Hijau. Karena usia mereka
sebaya, sebentar saja mereka telah menjadi teman yang akrab, Si Merah setiap
hari pergi ke dalam hutan mencari Si Hijau untuk bermain. Sekarang Si Merah
sudah tidak merasa kesepian lagi.
Kemudian, ayah dan ibu Si Merah sering mendengarkan Si Merah
bercerita tentang Si Hijau. Lambat laun, keluarga Si Merah mulai khawatir,
mereka pergi mencari informasi kemana-mana, tapi para tetangga yang dekat
dengan rumahnya, tidak ada seorang pun yang memiliki anak yang seusia dengan Si
Hijau.
Ayah dan ibu Si Merah mulai merasakan keganjilan, lalu mulai
mencurigai Si Hijau adalah jelmaan dari ginseng ribuan tahun, penduduk setempat
mempercayai legenda bahwa ginseng yang sudah berumur ribuan tahun dia tidak
akan menetap di satu tempat, dia bisa lari kian kemari berganti tempat.
Untuk mengetahui kepastian tempat dari ginseng ribuan tahun, ayah Si Merah menuntut
Si Merah untuk diam-diam mengikatkan sehelai benang di ujung pakaian Si Hijau.
Pada mulanya Si Merah tidak mau, karena biar bagaimana pun dia tidak akan menghianati
Si Hijau. Akan tetapi kemudian dia tidak kuasa oleh rayuan kedua orang tuanya,
Si Merah pada akhirnya menjepitkan benang itu di kerah baju Si Hijau.
Sejak saat itu, Si Hijau tidak pernah muncul lagi. Keluarga
Si Merah menjadi kaya karena telah menjual ginseng yang berumur ribuan tahun, tetapi
Si Merah sedikit pun tidak merasa senang. Dia merasa bahwa dialah yang telah
menghianati Si Hijau, menghianati seorang teman yang baik dan jujur serta
sangat mempercayai dirinya.
Dia sangat merindukan Si Hijau, dia lalu menanam biji
ginseng yang dulu diberi oleh Si Hijau di tempat mereka kali pertama bertemu,
setiap hari dengan rajin ia siram dengan air….
Hari demi hari telah berlalu, tunas tanaman itu telah tumbuh
menjadi pohon kecil, dan Si Merah juga sudah berubah dari seorang anak kecil
menjadi nenek tua.
Dari awal hingga akhir dia percaya bahwa pohon itu adalah
jelmaan dari Si Hijau. Dia berharap pada suatu hari nanti ketika dia bangun
dari tidur, bisa terdengar suara nyanyian Si Hijau dari dalam hutan, “Satu
baskom kapur, dua baskom api, mentari keluar menyinari saya……..”
Berharap ketika hari ini benar-benar tiba, Si Merah bisa
mendapatkan kesempatan meminta maaf kepada Si Hijau.
Ceritanya telah selesai, setelah membacanya, apakah bagian tertentu dalam hati Anda, juga
merasakan sakit?
Kisah semacam ini jika diceritakan kepada teman-teman yang
masih belia, bagi hati nurani mereka yang masih sangat murni polos, merasakan
memang benar sangat berat untuk ditopang!
Tidak peduli itu adalah perasaan khawatir dan gelisah atau
menyesal dan galau, tidak tega dan ti-dak ingin melukai orang lain, sebenarnya
semua itu adalah bagian dari hakekat kemurnian hati di dalam sanubari terdalam
dari setiap manusia, yang kita kenal dengan nama nurani.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, pertambahan umur,
dan akibat dicemari oleh nama dan keuntungan dalam dunia, berangsur-angsur hal
itu telah membuat banyak orang lupa atau kehilangan hakekat yang paling
berharga ini.
Sebagai gantinya, demi mencapai tujuan, mereka tidak
segan-segan mengadu keberuntungan dengan cara apa pun, bahkan dengan melukai
orang lain, memandang kemurnian sebagai kebodohan yang menggelikan, membiarkan
nurani terkubur oleh rasa apatis!
Si Merah telah mempergunakan seumur hidupnya untuk menebus
kesalahan yang pernah dia lakukan di waktu kecil, menunggu kesempatan untuk
menyatakan maaf, tanpa peduli apakah kesempatan itu bisa benar-benar akan tiba
atau tidak? Nurani dalam lubuk hatinya tetap masih berkilauan.
Dalam Hukum Alam Semesta dikatakan, bahwa seseorang bisa
mengubah nasibnya hanya dengan dua cara, yang satu adalah masuk ke jalan
kultivasi, yang satunya lagi adalah tak henti-hentinya melakukan kejahatan.
Dalam kehidupannya, seorang manusia tidak akan luput dari
perbuatan salah, namun bila setelah berbuat, ia masih bisa merasa menyesal maka
orang tersebut masih memiliki nurani, hukum langit akan memberinya ganjaran
yang sesuai, agar dia memiliki kesempatan untuk menebus dosanya.
Tetapi jika dia sama sekali tidak mempunyai rasa penyesalan
dan masih terus melakukan kesalahan, maka sebaliknya langit tidak akan
memberikan hukuman apapun padanya dalam kehidupan sekarang ini, karena dia
sudah tidak dapat ditolong lagi.
Orang semacam ini kelihatannya tidak apa-apa, baik-baik saja
walaupun dia melakukan segala kejahatan yang ada. Tetapi ketika ajalnya tiba,
yang dihadapi olehnya adalah kemusnahan total jiwa raga, adalah saatnya dia
masuk ke dalam neraka menerima penderitaan untuk selamanya.
Buah balasan dalam kehidupan manusia sangatlah adil, demi
menikmati keuntungan selama puluhan tahun, lalu membayar ganjaran penderitaan
untuk selamanya adalah orang yang benar-benar bodoh!
No comments:
Post a Comment