Kebetulan hari itu adalah hari guru, saya menjenguk seorang teman yang mengajar di sebuah perguruan tinggi. Di dalam obrolan yang santai, saya menanyakan pada teman saya, karena menjadi seorang guru sangatlah susah, apa-kah dia tidak menyesal? Teman saya lalu menceritakan salah satu pengalaman mengajar kepada saya .
Pada kelas pertama setelah masuk sekolah, seperti tahun-tahun sebelumnya, saya menuntut mahasiswa yang baru masuk bercerita tentang diri sendiri mengapa dia memilih kuliah di perguruan tinggi?
Jawaban dari para mahasiswa walaupun beragam dan tidak sama, tapi kebanyakan adalah muluk-muluk. Saat itu, ada seorang mahasiswa lelaki berbadan kurus dan kecil, yang datang dari Kai Xian propinsi Chongqing, Tiongkok, dia berdiri menceritakan hal ikh-wal mengapa dia mendaftarkan diri di perguruan tinggi tersebut.
23 Desember 2003, sekitar jam 21:55, di pertambangan batu bara Chongqing terjadi semburan liar. Gas beracun yang merampas nyawa manusia sedang menerjang datang dalam kegelapan malam.
Di sebuah asrama Sekolah Dasar yang terletak di tengah kota, wakil kepala sekolah yang bernama Liao Daichen dibangunkan dari tidurnya. Saat itu dia teringat kepada para anggota keluarganya yang sedang tidur pulas di rumahnya.
Tidak diketahui apakah sudah ada orang yang telah membangunkan mereka untuk segera mengungsi, sebenarnya dia sangat ingin sekali pulang ke rumah untuk membangunkan para anggota keluarganya juga.
Tetapi waktu adalah nyawa, dia sudah tidak mempunyai waktu lagi, harus segera menyelamatkan anak-anak didiknya. Dalam ketegangan itu, bersama dengan beberapa guru yang lain mereka dengan teratur mengumpulkan para murid untuk diungsikan dalam kegelapan malam. Dalam bencana tersebut, keluarga Liao Daichen akhirnya kehilangan 5 anggota keluarga termasuk ibunya.
Di dalam barisan murid-murid yang mengungsi, seorang guru bernama Chen Shanxiao beruntung sekali dapat ikut mengungsi bersama anaknya .
Keesokan harinya, murid-murid yang sudah sangat lelah kehausan dan kelaparan ini akhirnya dapat melihat makanan yang mereka dambakan telah tiba. Para murid dengan tertib berbaris menjadi satu barisan, anak Chen Shanxiao juga sama dengan murid yang lain berbaris dalam barisan itu.
Selangkah demi selangkah mereka berbaris maju ke depan, tak sabar lagi menunggu untuk mendapatkan makanan. Ketika Chen Shanxiao yang mengatur para murid untuk berbaris, melihat anaknya ikut dalam barisan itu, dia tertegun sejenak, lalu dia menarik anaknya untuk keluar dari barisan, meminta anaknya berbaris di paling belakang dari barisan yang terdiri dari 3.000 pelajar.
Air mata anaknya terburai, dengan suara parau dia bertanya, “Mama, saya juga seorang murid, mengapa mama menyuruh saya berdiri di barisan paling belakang?”
Mulut Chen Shanxiao tergagap-gagap lama sekali, akhirnya berkata, “Karena kamu tidak sama dengan murid lainnya, kamu ada ibu yang mendampingi sedangkan mereka tidak.”
“Anakku, jangan menyalahkan ibu, saya adalah ibumu dan juga adalah guru para murid. Saya telah memilih menjadi seorang guru, tidak hanya bertanggung jawab mengajarkan ilmu pengetahuan saja, juga sebagai jiwa yang mengemban tugas untuk menunjukkan perilaku lurus.”
Seluruh tempat itu menjadi sangat hening, lalu ada beberapa murid perempuan mulai terisak, kemudian disusul dengan suara tepuk tangan yang sangat panjang sekali.
Saya mengerti, suara tepuk tangan ini bukan diperuntukkan kepada guru itu saja, tetapi ditujukan kepada sosok mulia yang mengetarkan jiwa yaitu Guru. Bercerita sampai di sini, suara teman saya menjadi terisak, kedua matanya juga berlinangan dengan air mata, dan hati saya tak tertahankan juga telah tergetar.
No comments:
Post a Comment