Sebuah tulisan di web site saya dengan judul ‘Belajar kepemimpinan
dari anjing’ mengundang
banyak komentar. Puluhan e-mail saya terima berkaitan dengan
tulisan ini. Tidak sedikit yang
merasa baru sadar, bahwa demikian banyak yang kita bisa peroleh
dari kegiatan menyanyangi
dan mencintai orang lain. Demikian antusiasnya diskusi tentang
kepemimpinan ala anjing
Amerika ini, seorang pengunjung bahkan merekomendasikan saya untuk
mencari sebuah buku
dengan judul ‘Why Dog Never Lie About Love’.
Sebagai penulis, ada semacam kebahagiaan tersendiri, bila
mengetahui bahwa ide dan tulisan
saya dibaca dan didiskusikan orang lain. Apa lagi sampai ada orang
yang menghadiahkan
sumber ilmu baru. Lebih-lebih kalau ada yang berterimakasih, bahwa
dirinya dan keluarganya
telah saya bantu dalam memperluas cakrawala hidup. Orang boleh
menyebut respon-respon
terakhir dengan rangkaian pujian yang membuat hati jadi berbunga.
Tetapi, saya menyebutnya
sebagai pengalaman spiritual yang membersihkan jiwa.
Karena kesenangan dan kenikmatan spiritual seperti inilah, maka
tulisan-tulisan di kolom ini saya
buat tanpa mengenal rasa lelah. Entah di bandara, di pesawat, di
kantor, di rumah, di hotel, atau
di tempat wisata ketika bersama anak dan isteri, tetap saja
kegiatan membersihkan jiwa terakhir
saya lakukan dengan penuh suka cita.
Di tengah suka cita model terakhir ini, dalam sebuah kesempatan
pulang kampung ke desa saya
di Bali, saya dikejutkan oleh sejumlah kenyataan yang tidak
terbayangkan sebelumnya. Sahabatsahabat
masa kecil saya, yang kebanyakan tidak menyelesaikan sekolah
dasarnya, ternyata
mendalami makna hidup yang cukup dalam. Jalur belajarnya saja yang
berbeda dengan saya.
Mereka belajar kehidupan dari nyanyian-nyanyian tradisional (baca
: kidung) yang berumur amat
tua. Seorang sahabat yang ketika di SD tidak naik kelas sampai
tiga kali karena kebodohannya,
malah mengejutkan saya melalui pemahamannya yang dalam tentang
kepemimpinan.
Dia menggunakan pengandaian hutan dan raja hutan (baca : singa).
Sebagaimana kita tahu,
singa hidup di hutan. Dan telah lama dinobatkan sebagai raja
hutan. Uniknya, tanpa hutan tidak
ada singa yang bisa hidup panjang dan tenteram. Namun, tanpa singa
banyak hutan yang bisa
hidup tenteram dalam waktu yang lama.
Perlambang alam ini mengajarkan ke kita tentang pola hubungan
antara pemimpin dan
pengikutnya. Kalau ada orang yang bercerita tentang singa yang
melindungi hutan, tentu saja
Anda tertawa sambil tidak percaya. Akan tetapi, sudah menjadi
kenyataan hidup sehari-hari,
bahwa hutan telah lama menjadi rumah, ibu dan tempat hidupnya si
raja hutan.
Kalau kita meneropong dunia pemimpin dan kepemimpinan dalam
perspektif hutan dan singa,
langsung terasa ada kejanggalan. Sebagaimana kita rasakan bersama,
bangsa ini termasuk satu
contoh – bersama Korea Selatan, Afrika selatan, dll – di mana
rakyat dan pengikut tidak
ditempatkan sebagai ‘ibu’, namun sebagai korban-korban yang tidak
berdaya. Di banyak
perusahaan terjadi, karyawan bukanlah tempat berteduhnya pemimpin,
melalui praktek-praktek
hubungan industrial yang memperkosa, mereka sudah lama menjadi
sapi perahnya pengusaha.
Di banyak organisasi pelayan publik seperti kelurahan dan rumah
sakit, sudah menjadi catatan
sejarah kalau rakyat menjadi hamba yang mesti menyembah. Ini semua
tentu saja terbalik
dengan pola hutan (baca : rakyat dan pengikut) yang menjadi ibunya
raja hutan (pemimpin).
Kalau umur kepemimpinan yang menyakiti ‘ibu’ ini kemudian berumur
amat dan teramat pendek,
tentu saja bisa dimaklumi. Sebab disamping menjungkirbalikkan
hukum-hukum alam yang berumur teramat
lama, juga karena tidak ada satupun manusia yang hidup tenteram dalam
jangka
waktu yang lama dengan menyakiti sang ibu.
Selama
apapun seorang pemimpin berkuasa, atau selama apapun sebuah teori kepemimpinan
diyakini,
tetapi tetap tidak bisa mengalahkan lamanya kenyataan dalam bentuk hutan yang
melindungi
rajanya. Bisa jadi, dia malah berumur lebih tua dari sejarah manusia sendiri.
Sebesar
apapun
kekuasaan seorang pemimpin, atau selegitimatif apapun proses lahirnya seorang
pemimpin,
namun melalui tindakan-tindakan yang menyakiti sang ibu, semuanya bisa lenyap
ditelah
ibu pertiwi.
Terinspirasi
dari sini, mungkin sudah saatnya melihat rakyat dan karyawan dalam posisi
sebagai
ibu.
Di mana, sebagaimana ibu yang sebenarnya yang tidak bisa dipilih, kita tidak
hanya dituntut
hormat,
melainkan juga diundang untuk sampai pada tataran unconditional love.
Di
tataran cinta terakhir, tidak ada yang tidak bisa dilakukan. Produktivitas
bukanlah sebuah
perkara
yang teramat sulit. Yang membuatnya sulit adalah kemewahan pemimpin dalam waktu
lama,
untuk senantiasa duduk di atas dengan penuh kesombongan. Dan meletakaan sang
‘ibu’
dalam
posisi yang amat menderita.
Mungkin
saya terlalu dibungkus oleh keyakinan akan pentingnya penghormatan kepada ibu.
Dan
membuat
penghormatan saya menjadi tampak agak berlebihan. Boleh saja ada orang yang
menyebutnya
demikian. Namun, adakah orang yang bisa lahir, hidup lama dan tenteram tanpa
ibu
kandung, ibu pertiwi, ibu mertua dan jenis ibu lainnya ? Kalau raja hutan tidak
bisa hidup
tanpa
ibunya yang bernama hutan, adakah pemimpin yang dikenang dalam waktu yang lama
tanpa
memperhatikan sang ‘ibu’ ?
No comments:
Post a Comment