
Hal inilah yang harus dialami sejumlah tamu Kick Andy episode ini.
Lukman, Agus dan Soleman contohnya. Tiga sekawan ini, harus menghabiskan
hari-harinya di bengkel sepatu dan sandal di kawasan sentra industri alas kaki
Jawa Barat. Dari pagi hingga malam hari. Di saat teman-teman sebayanya ceria pergi
sekolah, Lukman sudah harus membanting tulang sejak usia 8 tahun. Lukman yang
kini berusia 15 tahun, hanya bisa mencicipi indahnya masa sekolah sampai kelas
6 SD. Itupun tidak sampai tamat. Begitu juga kakak beradik Agus (13 tahun) dan
Soleman (12 tahun). Mereka berdua lebih beruntung, mampu mengenyam bangku SMP,
meski hanya sampai kelas 1 pertengahan. Cita-cita mereka bertiga menjadi
pengusaha, dokter dan tentara harus kandas. Kondisi ekonomi keluarga yang
sangat pas-pasan, memaksa mereka memilih bekerja menghidupi diri sendiri dan
membantu orang tua. Putus asakah mereka? Tidak. Mereka tetap semangat bekerja
dan menunggu kesempatan untuk bisa bersekolah lagi dan menggapai cita-citanya.
Masih banyak sektor lain yang melibatkan pekerja anak. Mulai dari anak-anak
jalanan, pembantu rumah tangga, perkebunan dan pertambangan, hingga pekerja
seks komersial. Kaminah misalnya. Ia menjadi salah satu bagian dari fenomena
gunung es pembantu rumah tangga di bawah umur. Kaminah menjadi korban tradisi
di kampungnya di Serang, yang terbiasa membiarkan anak perempuan setamat SD
untuk bekerja sebagai PRT atau TKW. Pada usia 12 tahun, Kaminah pun pergi ke
kota Tangerang untuk melamar menjadi PRT.
Dan itulah awal penderitaanya. Setelah sempat bekerja selama 1 tahun 9
bulan, keberuntungan Kaminah berakhir. Majikan keduanya ternyata tidak
memperlakukannya dengan wajar. Siksaan mulai dari kata-kata kasar, hingga
pukulan fisik harus menderanya setiap saat. Bahkan seterika panas pun pernah
singgah di tubuhnya. Jatah makannya hanya diberikan sekali pada malam hari,
setelah ia harus bekerja keras dari pagi hingga malam tanpa istirahat. Kaminah
pun selalu dikurung di rumah dan gajinya ditahan. Tak tahan dengan semua itu,
Kaminah nekat melarikan diri meloncati tembok rumah setinggi 3 meter, hingga
ditemukan tetangga sekitar majikannya. Kini, berkat bantuan LSM Jala PRT,
Kaminah memperkarakan kasusnya ke pengadilan.
Sementara kisah Rina, tak kalah tragis. Sebagai anak korban broken
home, Rina harus berjuang mencari uang untuk kebutuhan diri sendiri dan
sekolahnya, serta membantu sang ibu dan kedua adiknya. Bidang pekerjaan yang
dipilihnya pun, membuat kita mengurut dada. Rina yang kini duduk di kelas 2
SMA, menjadi pekerja seks komersial di sebuah klub malam. Sejak usia 14 tahun
atau SMP!
Pergaulan dengan teman-teman yang kurang tepat, membuat tertarik Rina
melakukan pekerjaan itu. Mudah (baginya) dan enak (tempat dan mendapatkan
uangnya). Yang lebih mengherankan, seluruh teman-teman sekelasnya mengetahui
profesinya itu. Dan Rina mengaku, mereka mampu merahasiakan ihwal pekerjaannya
dari guru maupun sekolah. Sampai kapan Rina mampu merahasiakan pekerjaannya
itu?
Sementara Ibrahim (14 tahun) dan Sofie (15 tahun), adalah saksi hidup
pekerja anak yang pernah mati-matian bekerja di Jermal. Jermal adalah sebuah
bangunan kayu di lepas pantai, yang digunakan untuk menangkap ikan laut. Jermal
sempat menjadi isu besar pada era tahun 1990-an, karena banyaknya eksploitasi
pekerja anak di dalamnya. Sistem kerja yang berat, tanpa istirahat dan upah
rendah serta potensi kekerasan fisik dan seksual, membuat pekerja anak di
jermal seakan diperbudak.
Cerita soal jermal ini jugalah, yang menarik perhatian sutradara Ravvi
Bharwani dan Rayya Makarim, untuk menuangkannya dalam film layar lebar. Film
yang berjudul sesuai namanya, Jermal, dibintangi oleh aktor watak senior Didi
Petet. Bagaimana upaya Didi Petet menghayati perannya sebagai mandor jermal
Melayu, yang bekas pembunuh dan berkarakter ”egois, kejam dan bangsat”?
Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu,
demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu
Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu,
dipaksa pecahkan karang, lemas jarimu terkepal
No comments:
Post a Comment