Suatu hari, saya melihat tanda obral di etalase sebuah
toko yang mengiklankan dapat membeli sepasang sepatu hanya dengan 20 yuan.
Karena memerlukannya, saya membeli tiga pasang sekaligus. Seorang perempuan di
samping saya bertanya, “Apakah sepatu itu bagus?” Saya berkata, “Apa lagi yang
bisa anda lakukan dengan uang 20 yuan? Anda dengan mudah dapat menghabiskan
uang ini dalam permainan mahjong. Saya akan sangat senang jika uang ini dapat
bertahan selama dua atau tiga bulan.”
Setelah memakai sepatu baru itu hanya tiga hari, mereka
telah rusak. Maka saya mengembalikannya ke toko dan mendapat uang kembali
sebanyak 60 yuan. Pada hari berikutnya, ibu menemukan bahwa saya tanpa sadar
telah turut mengembalikan sepasang sepatu bagus milik ayah - bersama dua pasang
sepatu lainnya. Lalu, saya bergegas mendatangi toko obral tersebut. Pemilik
toko berkata bahwa sepatu ayah telah terjual dan ia telah mengembalikan uang 20
yuan untuk sepasang sepatu ini. Akhirnya, saya harus mengeluarkan uang 60 yuan
tersebut untuk membelikan ayah sepasang sepatu dari toko bermerek.
Sesungguhnya, ketika melihat sepatu yang rusak, saya
menyadari itu terjadi karena saya terlalu tamak. Tetapi saya masih kembali ke
toko itu untuk meminta uang kembali, berharap untuk menutup kerugian itu. Ibu
saya secara tidak sengaja mengambil sepatu yang salah dan tak seorang pun dari
kami yang membuka kotak itu untuk diperiksa. Akibatnya, uang 60 yuan pun
lenyap.
Ketika saya memikirkannya kembali, saat saya berkata
kepada wanita di samping saya, “Apa lagi yang bisa anda lakukan dengan uang 20
yuan?,” itu menunjukkan keterikatan saya akan mentalitas pamer dan secara tidak
langsung menyatakan bahwa saya adalah orang kaya. Ketika saya berkata, “Anda
dengan mudah dapat menghabiskan uang ini dalam permainan mahjong,” Itu adalah
kata-kata yang saya ucapkan tanpa banyak pikir, karena sesungguhnya saya tidak
pernah bermain mahjong lagi semenjak saya mulai berkultivasi. Dari kalimat ini,
orang dapat melihat pikiran buruk saya. Seandainya saya dapat mengenali dan
melepaskan keterikatan hati saya, berbagai hal yang terjadi setelah itu tentu
akan berbeda.
Sebelum menulis artikel ini, saya hanya menyadari bahwa
saya mempunyai keterikatan akan sifat tamak. Dalam proses menulis, saya secara
mendalam menyadari bahwa saya juga mempunyai keterikatan akan mentalitas pamer,
yang berasal dari pikiran saya yang tidak murni. Dari kejadian ini, saya
belajar untuk lebih memperhatikan setiap perkataan dan tindakan saya serta
mengkultivasi pembicaraan saya. (Erabaru/kar)
No comments:
Post a Comment