Dec 3, 2012

KISAH MEMBELI SEPATU


Suatu hari, saya melihat tanda obral di etalase sebuah toko yang mengiklankan dapat membeli sepasang sepatu hanya dengan 20 yuan. Karena memerlukannya, saya membeli tiga pasang sekaligus. Seorang perempuan di samping saya bertanya, “Apakah sepatu itu bagus?” Saya berkata, “Apa lagi yang bisa anda lakukan dengan uang 20 yuan? Anda dengan mudah dapat menghabiskan uang ini dalam permainan mahjong. Saya akan sangat senang jika uang ini dapat bertahan selama dua atau tiga bulan.”

Setelah memakai sepatu baru itu hanya tiga hari, mereka telah rusak. Maka saya mengembalikannya ke toko dan mendapat uang kembali sebanyak 60 yuan. Pada hari berikutnya, ibu menemukan bahwa saya tanpa sadar telah turut mengembalikan sepasang sepatu bagus milik ayah - bersama dua pasang sepatu lainnya. Lalu, saya bergegas mendatangi toko obral tersebut. Pemilik toko berkata bahwa sepatu ayah telah terjual dan ia telah mengembalikan uang 20 yuan untuk sepasang sepatu ini. Akhirnya, saya harus mengeluarkan uang 60 yuan tersebut untuk membelikan ayah sepasang sepatu dari toko bermerek.

Sesungguhnya, ketika melihat sepatu yang rusak, saya menyadari itu terjadi karena saya terlalu tamak. Tetapi saya masih kembali ke toko itu untuk meminta uang kembali, berharap untuk menutup kerugian itu. Ibu saya secara tidak sengaja mengambil sepatu yang salah dan tak seorang pun dari kami yang membuka kotak itu untuk diperiksa. Akibatnya, uang 60 yuan pun lenyap.

Ketika saya memikirkannya kembali, saat saya berkata kepada wanita di samping saya, “Apa lagi yang bisa anda lakukan dengan uang 20 yuan?,” itu menunjukkan keterikatan saya akan mentalitas pamer dan secara tidak langsung menyatakan bahwa saya adalah orang kaya. Ketika saya berkata, “Anda dengan mudah dapat menghabiskan uang ini dalam permainan mahjong,” Itu adalah kata-kata yang saya ucapkan tanpa banyak pikir, karena sesungguhnya saya tidak pernah bermain mahjong lagi semenjak saya mulai berkultivasi. Dari kalimat ini, orang dapat melihat pikiran buruk saya. Seandainya saya dapat mengenali dan melepaskan keterikatan hati saya, berbagai hal yang terjadi setelah itu tentu akan berbeda.

Sebelum menulis artikel ini, saya hanya menyadari bahwa saya mempunyai keterikatan akan sifat tamak. Dalam proses menulis, saya secara mendalam menyadari bahwa saya juga mempunyai keterikatan akan mentalitas pamer, yang berasal dari pikiran saya yang tidak murni. Dari kejadian ini, saya belajar untuk lebih memperhatikan setiap perkataan dan tindakan saya serta mengkultivasi pembicaraan saya. (Erabaru/kar)




No comments:

Post a Comment

Bookmark and Share
Custom Search