Karena kedalaman berpikirnya, ia
dipercaya sebagai pembicara publik dan konsultan. Oleh beberapa pihak, ia
digelari Resi Manajemen, Stephen Covey Indonesia, dan atau penggagas
Unschooled Management.
Banyak
orang beranggapan bahwa jalan menuju kesuksesan tidaklah mudah. Namun tidak
demikian bagi Gede Prama. Menurut penulis sekaligus mantan CEO perusahaan besar
itu, keberhasilan seseorang bersumber dari keyakinannya dalam menjalani hidup.
Prinsip ini pula yang terus dipegangnya hingga berhasil membawanya pada puncak
kesuksesan. Alhasil, di usianya yang baru 38 tahun, Gede Prama telah menduduki
jabatan tertinggi dalam sebuah perusahaan dengan memimpin ribuan karyawan.
Pria kelahiran 2 Maret 1963 ini
berasal dari sebuah desa kecil bernama Tajun yang terletak di Bali Utara. Ia
tumbuh dalam keluarga yang sederhana. Sejak kecil ia merupakan sosok yang patuh
akan hukum adat yang berlaku di lingkungannya. Jiwa pemberontak jauh dari
kepribadiannya. Ini terlihat ketika orangtuanya sering mengumpulkan
anak-anaknya untuk diberikan wejangan, Gede Prama selalu mendengarkan wejangan
yang disampaikan orangtuanya dengan baik untuk diterapkannya di kemudian hari.
Di masa
mudanya, ia adalah pribadi yang minder, pemalu serta penakut karena ia merasa
memiliki banyak kekurangan. Namun, segala sifat negatif itu berubah tatkala ia
mendapat kesempatan belajar ke luar negeri.
Gede Prama memulai kariernya di
lahan pengetahuan dan profesi yang sarat sains dan praktik manajemen. Namun
dalam kiprah selanjutnya, ia lebih menerapkan pendekatan spiritual dalam
pengembangan organisasi maupun bisnis.
Hanya dengan bermodalkan keyakinan
serta tekad yang kuat, alumni Universitas Leicester dan INSEAD ini datang ke kota besar. Keyakinannya
membuahkan hasil, kini ia dikenal sebagai penulis sekaligus pimpinan sebuah
perusahaan swasta dan konsultan pada Dynamics Consulting yang bergerak di
bidang pengembangan SDM. Gede Prama juga menjadi salah seorang pembicara publik
yang paling diminati. Kata-kata yang keluar selalu dipikirkan masak-masak dan
meneduhkan bagi yang mendengarnya.
Ketekunannya sebagai konsultan
membuatnya pernah menjadi konsultan manajemen di RCTI, Blue Bird, PT Kodja
Bahari, Air Mancur dan lain-lain. Tak hanya itu, mantan karyawan sebuah
perusahaan Jepang ini juga berhasil mencatatkan namanya sebagai salah satu
motivator kenamaan Tanah Air sekelas Mario Teguh, Tung Desem Waringin dan
lain-lain.
Berkat kesuksesannya, Gede kini
hidup berkecukupan dengan kekayaaan yang dimilikinya. Namun, kekayaan duniawi
bukanlah menjadi sumber kebahagiannya yang utama, melainkan cinta kasih dari
keluarga tercinta yang senantiasa tercurah untuknya. Selain keyakinan dan
tekad, cinta kasih merupakan faktor yang amat mempengaruhi jalan hidupnya. Ia
tidak lagi menemui kegagalan karena dalam kegagalan tak ada dalam kamus bahasa
cinta.
Dalam kamus hidup seorang Gede
Prama, seseorang bisa mewujudkan keyakinan tanpa harus dibatasi oleh tembok
apapun. Maka ketika seseorang benar-benar ingin berpikir sehat demi
kesuksesannya, ia harus bersiap-siap berpikir keseluruhan tanpa batas. Tak
mengherankan jika kini ia tak suka mengagumi pemikiran mana pun secara
berlebihan.
Gede Prama mendedikasikan hidupnya
untuk mengembangkan gagasan Unschooled Management. Gagasan yang menurut Gede,
sebuah ekspresi penghargaan atas sekolah. Pasalnya, seseorang yang berani
mengkritiklah yang akan membangun sebuah sekolah dan universitas.
Berkat keluasan pemikirannya, pria
berpembawaan tenang ini banyak dipercaya sebagai pembicara publik di berbagai
forum nasional maupun internasional. Sudah tidak terhitung banyaknya undangan
mulai dari organisasi keagamaan, perusahaan, maupun seminar tentang motivasi
diri dan bisnis. Perusahaan-perusahaan besar seperti BCA, Citibank, World Bank,
Unilever Global, Microsoft dan IBM tak segan menggelontorkan dana yang tak
sedikit demi mendatangkan dirinya. Kesibukan yang memaksanya harus melanglang
buana itu membuat ia melepaskan profesinya sebagai sebagai dosen MBA di tiga sekolah
manajemen di Jakarta.
Karena kedalaman berpikirnya, pria
yang memperoleh gelar MBA dari Institut Manajemen Prasetiya Mulya Jakarta ini
disebut sebagai Resi Manajemen oleh Infobank. Sedangkan oleh Media Indonesia,
Gede dijuluki Stephen Covey Indonesia.
Warta Ekonomi menyebutnya Penggagas Unschooled Management.
Julukan yang disandangnya tak
lantas membuat Gede terjebak dalam puji-pujian itu. Bagi Gede, pujian maupun
makian sama mematikannya. Yang terpenting, ia selalu belajar untuk merangkul
dua sisi kehidupan yang saling membelakangi, sedih-bahagia, suka-duka dalam
satu pelukan yang sama mesra.
Gede juga merupakan sosok
pembicara publik yang bisa berbicara lintas agama, terkadang ia berbicara di
majelis taklim, vihara, serta berbagai seminar pengembangan diri lewat jalur
spiritual.
Ia juga terus belajar untuk
mencapai pada titik keikhlasan tertinggi. Jadi, apa pun usahanya, ia belajar
supaya tetap berujung pada keikhlasan. Dengan keikhlasan, orang tak akan
terbelenggu pada keinginan akan harta maupun tahta.
Pemahaman inilah yang membuat
seorang kyai dari Jawa Timur menyebut Gede seorang sufi. Padahal Gede seorang
Hindu. Kesufian ini dipelajari Gede Prama dari para pemikir dunia seperti
Kahlil Gibran, Khrisnamurti, David Bohm, Michael Fouclt, dan Morihei Ueshiba.
Selain mempelajari karya-karya filosofi, ia juga rutin berlatih meditasi. Dari
latihan ini, ia mendapatkan ketenangan yang memudahkannya mengembangkan pikiran
positif dalam segala hal.
Selain menjadi pembicara publik,
ia juga menuangkan gagasan serta pemikirannya dalam lembaran-lembaran kertas.
Ketekunannya berkarya membuatnya sudah menghasilkan ribuan artikel, serta
puluhan judul buku, dua di antaranya dibuat dalam versi bahasa Inggris.
Buku-buku yang ditulisnya tak
pernah lepas dari pemahaman tentang kehidupan yang universal, seperti: Percaya
Cinta Percaya Keajaiban, Hidup Bahagia Selamanya, Sukses dan Sukses, Simfoni di
Dalam Diri, Sadness, Happiness, Blissfulness: Transforming Suffering Into The
Ultimate Healing : Mengolah Kemarahan Menjadi Keteduhan, dan lain-lain.
Pesan-pesan serta petuah bijak yang disampaikannya membuat buku-buku Gede Prama
kerap dijadikan bahan renungan bagi para penikmat karyanya. Media cetak,
internet, televisi dan radio juga kerap menyebarkan pesan-pesan serta petuah bijaknya
yang mengajarkan bagaimana cara menjalani hidup dengan nilai-nilai positif. Di
sela-sela kesibukannya sebagai pembicara, Gede Prama juga menjadi penulis tetap
di harian Kompas serta majalah Info Bank.
Setelah mendapatkan segala
kesuksesan di dunia, ia ingin terus melakukan perjalanan menuju Tuhan. Ia tak
ingin terus terikat pada tahta. Ia juga tak ingin terjebak pada keberhasilan.
Karena ikatan dan jebakan itulah awal dari kegagalan hidup yang permanen. Gede
Prama menyadari kehidupan di dunia hanya bersifat sementara, oleh karena itu ia
berusaha menyebarkan pemikiran positif bagi sesamanya tentang keindahan hidup
dengan karya-karyanya.
Kendati kesibukan telah membawanya
ke berbagai tempat, Gede Prama tak pernah melupakan tempat kelahirannya, Tajun.
Di desa inilah ia menghabiskan sebagian waktu menulis, bertaman, serta
bermeditasi (mindfulness training). Keberhasilan dan kenikmatan hidup tak
lantas merubah kepribadian Gede, hatinya pun masih tetap sama dengan ketika ia
memulai perjalanan dari Tajun. "Semua mau bahagia, tidak ada yang mau
menderita," begitulah ungkapan pria yang pernah belajar spiritualitas dari
Dalai Lama.
Meski masih belum sempurna, Gede
Prama yang sering menyebut dirinya sebagai orang bodoh ini memberanikan diri
untuk berbagi pesan tentang tidak menyakiti, banyak menyayangi, mencintai semua
mahluk, karena menurutnya itulah yang membuat manusia berbahagia. Kegagalan dan
kebodohan di masa lalu dijadikannya sebagai media untuk terus belajar dan dari sana pulalah Gede Prama
menemukan sebuah kearifan. "Dalam setiap persoalan manusia, saya belajar
untuk mengurangi mencari siapa yang salah. Dan memusatkan perhatian untuk
memecahkan persoalan," ujarnya bijak.
Bila banyak orang mau belajar
berhenti menyalahkan orang lain, kemudian memusatkan perhatian pada pemecahan
persoalan, menurutnya dunia kerja bukanlah sesuatu yang menakutkan.
Persoalannya, untuk bisa berhenti dari kebiasaan buruk tadi, di samping kadang
kurang didukung lingkungan, juga sering dihadapkan oleh dorongan-dorongan dari
dalam diri yang juga tidak mudah. Emosi, ego, harga diri, gengsi,
ketidaksabaran hanyalah sebagian kecil dari dorongan-dorongan tadi. Namun,
siapapun juga orangnya, menurut Gede, orang itu membutuhkan deep meditation
untuk mengelola dorongan-dorongan tersebut.
Deep meditation menurutnya,
sebenarnya amatlah mudah. Ketika lapar, makanlah secukupnya. Tatkala haus,
minumlah semampunya. Manakala mata mengantuk, tidurlah secukupnya. Dengan kata
lain, hidup kita dengan seluruh kesehariannya sebenarnya sebuah meditasi panjang.
Bila kita melakukan meditasi panjang ini dengan penuh ketekunan, kita yang
menjadi pengelola tubuh dan jiwa ini. Bukan sebaliknya, kita dikelola oleh
tubuh.
Terlebih bagi mereka yang
pekerjaannya merubah orang lain atau memiliki tugas mulia memasyarakatkan
nilai-nilai luhur. Dia katakan, sulit membayangkan tugas-tugas ini bisa
diselesaikan secara berhasil tanpa melalui deep meditation. Ini juga sebabnya
kenapa bertemu orang-orang tertentu kita mudah segan, hormat, respek, dan
perasaan sejenis. e-ti | muli
© ENSIKONESIA - ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA
No comments:
Post a Comment