Setelah pengakuan skandal seks mantan presiden Amerika
Serikat Bill Clinton dengan Monica Lewinski belasan tahun lalu, pengakuan skandal seks kedua yang menyedot
perhatian seluruh dunia adalah skandal seks pemain golf terkemuka Tiger Woods
dengan belasan wanita. Kehidupan memang kaya makna. Tidak saja kebaikan,
kejujuran, ketulusan membawa makna,
kejelekan, kegelapan, kekotoran juga membunyikan genta makna.
Tiger Woods memang fenomenal. Tidak saja bertahan
bertahun-tahun di urutan pertama pegolf dunia, namun juga meraih prestasi itu
di umur sangat muda. Sebagai akibatnya, jadilah ia manusia yang diidolakan
banyak penggemar di seluruh dunia: muda, kaya, terkemuka.
Dan sebagaimana pohon yang menjulang naik tinggi, pada
waktunya ia akan roboh. Tiger Woods juga roboh diterpa isu. Tidak saja banyak
media memberitakannya sangat miring, nyawanya bahkan nyaris melayang oleh
kecelakaan mobil.
Melaui cerita ini, terlihat jelas sekali, tidak saja miskin
butuh persiapan, kaya dan
terkemuka juga butuh persiapan. Tanpa persiapan kematangan,
kedewasaan, kebijaksanaan yang cukup,
salah-salah kekayaan dan keterkenalan bisa berubah menjadi kutukan. Tidak
sedikit manusia yang runtuh oleh kekayaan dan keterkenalannya.
Laki-laki umumnya, terpaksa setia pada istri ketika miskin.
Maklum, tidak ada uang untuk ongkos selingkuh. Namun, begitu uang berlimpah,
kesetiaan terbang seringan bulu ayam. Sebagian wanita luar biasa setianya pada
suami bila memiliki banyak kekurangan. Namun sebagian wanita yang menggendong
banyak kelebihan (cantik, kaya, terkemuka) membuat suaminya merana.
Tidak ada yang melarang manusia mengejar kelebihan dan
kemajuan. Namun bercermin dari kehidupan yang runtuh oleh kelebihan seperti
Tiger Woods, mungkin ini saat yang tepat untuk merenung dalam-dalam agar
kelebihan tidak berubah menjadi kutukan.
Di Timur ada cerita tentang seorang pendekar yang rendah
hati. Suatu hari, pendekar ini harus pulang kampung. Namun di gerbang masuk
desa ia dihadang dan ditantang berkelahi oleh sejumlah anak muda pemabuk dan
penodong. Sadar akan lawannya di depan, pemegang sabuk dan tiga ini hanya
senyum-senyum membungkuk menolak untuk berkelahi.
Karena menolak berkelahi, maka pemabuk-pemabuk tadi memberi
syarat yang tidak bisa ditawar. Bila mau masuk desa, ia harus lewat di bawah selangkangan kaki
semua begundal. Dasar pendekar dengan pemahaman ilmu bela diri yang
mengagumkan, dengan enteng tanpa beban ia menyediakan dirinya merangkak
melewati banyak selangkangan berandalan.
Beberapa malam kemudian, desa ini didatangi ratusan perampok
berkuda yang mau menjarah harta penghuni desa. Dengan entengnya pendekar tadi
melayani perkelahian duel satu lawan satu, kemudian mengusir semua perampok hingga lari tunggang langgang. Kagum dengan
kemampuan berkelahi seperti ini, salah satu begundal yang beberapa hari
sebelumnya memaksanya untuk merangkak di bawah selangkangan kaki bertanya:
“kenapa tidak menunjukkan jurus bela diri ketika dihadang di gerbang desa?”.
Dengan tersenyum rendah hati ia menjawab, kelebihan dan
kemampuan bela diri ada tidak untuk dipamer-pamerkan. Apa lagi dipamerkan untuk
memuaskan ego. Kelebihan ada untuk melindungi dan melayani kehidupan. Inilah
cahaya pengertian menawan yang menghindarkan kelebihan berubah menjadi kutukan.
Gunakan kelebihan sebagai kendaraan pelayanan. Dalam bahasa guru-guru Timur,
belajar bela diri berarti belajar menjadi rendah hati.
Itu sebabnya, ketika seorang guru karate di pulau 0kinawa
Jepang ditanya apa arti karate, dengan tersenyum ia menjawab: “karate means
keep smiling all the time”. Karate berarti belajar selalu tersenyum dalam
kehidupan. Dan ketika salah seorang muridnya siap-siap berkelahi dengan seorang
tentara Amerika yang sedang mabuk, dengan tangkas guru ini melarang muridnya
berkelahi. Kemudian memeluk tentara Amerika tadi dengan senyuman: “Selamat
datang di Okinawa. Semoga Anda berbahagia!”.
Dengan cara ini, tidak saja perkelahian dan pembunuhan bisa
dihindarkan, namun kelebihan tidak berubah wajah menjadi kutukan
No comments:
Post a Comment