Mari pulang marilah pulang Pulanglah kita bersama-sama
Ketika bencana menerjang Indonesia dengan jumlah korban
ratusan ribu manusia, ada yang menulis “Indonesia, Natural disaster or mass
murder”. Dengan cara pandang ini, bencana tidak punya wajah lain terkecuali
buruk.
Namun ia yang merenung di tengah bentangan panjang sejarah,
bercakap-cakap dengan alam, melihat tidak ada satu pun putaran waktu di mana
kehidupan hanya berisi kebahagiaan. Amerika Serikat sebagai contoh, sebelum
menjadi kekuatan ekonomi nomer satu dunia sempat mengalami sejarah yang
berdarah-darah. Jepang sebagai kekuatan ekonomi nomer dua dunia, bangkit justru
setelah dua kotanya hangus oleh bom atom. China yang sekarang duduk sebagai
kekuatan ekonomi nomer tiga, juga serupa. Beberapa puluh tahun lalu, bahkan
memakan nasi pun sudah terhitung mewah.
Bercermin dari sini,
mendengar ada korban
manusia akibat gempa tentu mengundang keprihatinan sekaligus doa semoga
semua berbahagia. Berbuat untuk meringankan beban korban, tentu lebih mulya
lagi. Namun yang layak direnungkan, alam sebagai guru sedang berbicara apa?
Di Timur dikenal beberapa jenis guru. Dari guru hidup, guru
buku suci, guru simbolik sampai dengan guru rahasia di dalam diri. Menyangkut
guru hidup dan guru buku suci, lebih mudah mencapai kesepakatan. Namun
menyangkut guru simbolik, apa lagi guru rahasia di dalam diri, hanya mereka
yang dibekali kepekaan yang bisa merasakan.
Bertumbuh di lumpur
Bila boleh lari, semua mau lari dari bencana. Dan karena
tidak bisa lari, para suci kemudian merenung dalam-dalam, dan menemukan cahaya.
Yesus bercahaya ribuan tahun karena disakiti. Mahatma Gandhi menerangi banyak
jiwa karena ditembak mati. Jalalludin Rumi rangkaian katanya menggetarkan sukma
juga karena mengalami kesedihan kehilangan guru.
Pelajarannya, bencana tidak saja hulunya air mata. Ia juga
awal dari kehidupan yang bercahaya. Kehilangan orang dekat akibat bencana tentu
menyedihkan. Cacat tubuh karena terkena reruntuhan bangunan, sungguh sebuah
kejadian yang menyentuh hati.
Namun, kehidupan penuh guru simbolik. Diantara demikian
banyak simbolik, kematian adalah yang teragung. Di tengah kebahagiaan,
sedikit yang mau merenung dalam-dalam.
Namun di depan kematian, terpaksa kita melakukan penggalian dalam-dalam.
Siapa saja yang
pernah “bercakap-cakap” dengan kematian, akan dibukakan makna, duka cita
memiliki dua wajah. Pertama, ia membuat manusia menjadi semakin terhubung ke
atas, samping, bawah. Terutama karena melalui duka cita, kita sadar ternyata
manusia hanya mahluk tidak berdaya. Dalam ketidakberdayaan, hanya saling
menyayangi yang menyembuhkan. Kedua, duka cita berfungsi seperti mesin turbo
yang mendorong manusia keluar dari alam derita ini. Andaikan kehidupan hanya
berisi kebahagiaan, maka manusia akan terus menerus berputar dalam lingkaran
kelahiran, penderitaan, kematian.
Bila begini cara memandangnya, Indonesia bukanlah neraka
yang hanya berisi hukuman dan kesalahan. Indonesia adalah lahan-lahan subur
pertumbuhan. Perhatikan apa yang terjadi ketika Aceh diterjang tsunami, tidak
saja sahabat Islam yang menyediakan tangan untuk membantu. 0rang Katolik,
Kristen, Hindu, Buddha, Konghuchu ikut bersama-sama berdoa sekaligus mengulurkan
bantuan. Dalam bahasa seorang guru, ketika manusia membantu, sesungguhnya tidak
saja sedang meringankan beban pihak lain, tetapi juga membangkitkan energi
kasih sayang yang ada dalam dirinya.
Di Peru pernah ditulis oleh para tetua ribuan tahun lalu,
tidak ada yang kebetulan, semuanya hanya rangkaian pesan. Di tempat di mana
alam kerap menggoda manusia dengan duka cita, mungkin layak bertanya, seberapa
banyak manusia yang sudah menemukan cahaya di balik duka cita, kemudian
mengizinkan cahaya tersebut membimbing dirinya?
Kehidupan serupa
rumah, bila rumahnya kotor penuh sampah, ia mengundang lalat dan nyamuk
berdatangan. Jika taman penuh bunga bermekaran, ia mengundang kupu-kupu
warna-warni berdatangan dari segala penjuru. Di hadapan alam yang kerap berbicara
dengan bahasa duka cita, memaki dan mencaci mungkin hanya akan menambah
tumpukan sampah. Mencari cara bertumbuh di tengah lumpur duka cita, lebih
mungkin membuat Indonesia menjadi taman kehidupan yang menawan. Dalam
perspektif ini, bisa dimaklumi bila Ezra Bayda memberi judul karyanya At Home
In The Muddy Water. Di Timur, puncak perjalanan ke dalam kerap disimbulkan
dengan bunga Padma yang bertumbuh dan mekar di lumpur, namun tidak kotor oleh
lumpur.
Bencana ibarat lumpur. Hanya mereka yang penuh cinta dan
keikhlasan kemudian bisa mekar seperti bunga Padma. Dikatakan demikian, karena
kekuatan suci dari atas sedang memancing manusia dengan kasih sayang
(compassion), dan siapa yang mengisi hidupnya dengan cinta dan bakti (devotion)
sedang mencoba memakan kail yang datang dari atas.
Bila ini terjadi, bencana bukan hukuman, ia hanya bimbingan
untuk segera pulang. Persis seperti lirik lagu anak-anak yang dikutip di awal.
Perhatikan pesan seorang guru: “Go beyond positive and negative, by opening
ourselves to our feelings and experiencing our mind just as it is”.
Senang-sedih dan dualitas lainnya ada dalam pikiran. Belajar melampauinya
dengan memeluk semua apa adanya. Inilah yang dilakukan para guru tercerahkan di
Timur.
No comments:
Post a Comment