May 12, 2013

MELENGGANG PULANG



Mari pulang marilah pulang Pulanglah kita bersama-sama

Ketika bencana menerjang Indonesia dengan jumlah korban ratusan ribu manusia, ada yang menulis “Indonesia, Natural disaster or mass murder”. Dengan cara pandang ini, bencana tidak punya wajah lain terkecuali buruk.

Namun ia yang merenung di tengah bentangan panjang sejarah, bercakap-cakap dengan alam, melihat tidak ada satu pun putaran waktu di mana kehidupan hanya berisi kebahagiaan. Amerika Serikat sebagai contoh, sebelum menjadi kekuatan ekonomi nomer satu dunia sempat mengalami sejarah yang berdarah-darah. Jepang sebagai kekuatan ekonomi nomer dua dunia, bangkit justru setelah dua kotanya hangus oleh bom atom. China yang sekarang duduk sebagai kekuatan ekonomi nomer tiga, juga serupa. Beberapa puluh tahun lalu, bahkan memakan nasi pun sudah terhitung mewah.

Bercermin  dari  sini,  mendengar  ada  korban  manusia akibat gempa  tentu  mengundang keprihatinan sekaligus doa semoga semua berbahagia. Berbuat untuk meringankan beban korban, tentu lebih mulya lagi. Namun yang layak direnungkan, alam sebagai guru sedang berbicara apa?

Di Timur dikenal beberapa jenis guru. Dari guru hidup, guru buku suci, guru simbolik sampai dengan guru rahasia di dalam diri. Menyangkut guru hidup dan guru buku suci, lebih mudah mencapai kesepakatan. Namun menyangkut guru simbolik, apa lagi guru rahasia di dalam diri, hanya mereka yang dibekali kepekaan yang bisa merasakan.

Bertumbuh di lumpur

Bila boleh lari, semua mau lari dari bencana. Dan karena tidak bisa lari, para suci kemudian merenung dalam-dalam, dan menemukan cahaya. Yesus bercahaya ribuan tahun karena disakiti. Mahatma Gandhi menerangi banyak jiwa karena ditembak mati. Jalalludin Rumi rangkaian katanya menggetarkan sukma juga karena mengalami kesedihan kehilangan guru.

Pelajarannya, bencana tidak saja hulunya air mata. Ia juga awal dari kehidupan yang bercahaya. Kehilangan orang dekat akibat bencana tentu menyedihkan. Cacat tubuh karena terkena reruntuhan bangunan, sungguh sebuah kejadian yang menyentuh hati.

Namun, kehidupan penuh guru simbolik. Diantara demikian banyak simbolik, kematian adalah yang teragung. Di tengah kebahagiaan, sedikit  yang mau merenung dalam-dalam. Namun di depan kematian, terpaksa kita melakukan penggalian dalam-dalam.

Siapa  saja  yang  pernah “bercakap-cakap” dengan kematian, akan dibukakan makna, duka cita memiliki dua wajah. Pertama, ia membuat manusia menjadi semakin terhubung ke atas, samping, bawah. Terutama karena melalui duka cita, kita sadar ternyata manusia hanya mahluk tidak berdaya. Dalam ketidakberdayaan, hanya saling menyayangi yang menyembuhkan. Kedua, duka cita berfungsi seperti mesin turbo yang mendorong manusia keluar dari alam derita ini. Andaikan kehidupan hanya berisi kebahagiaan, maka manusia akan terus menerus berputar dalam lingkaran kelahiran, penderitaan, kematian.

Bila begini cara memandangnya, Indonesia bukanlah neraka yang hanya berisi hukuman dan kesalahan. Indonesia adalah lahan-lahan subur pertumbuhan. Perhatikan apa yang terjadi ketika Aceh diterjang tsunami, tidak saja sahabat Islam yang menyediakan tangan untuk membantu. 0rang Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Konghuchu ikut bersama-sama berdoa sekaligus mengulurkan bantuan. Dalam bahasa seorang guru, ketika manusia membantu, sesungguhnya tidak saja sedang meringankan beban pihak lain, tetapi juga membangkitkan energi kasih sayang yang ada dalam dirinya.

Di Peru pernah ditulis oleh para tetua ribuan tahun lalu, tidak ada yang kebetulan, semuanya hanya rangkaian pesan. Di tempat di mana alam kerap menggoda manusia dengan duka cita, mungkin layak bertanya, seberapa banyak manusia yang sudah menemukan cahaya di balik duka cita, kemudian mengizinkan cahaya tersebut membimbing dirinya?

Kehidupan serupa  rumah, bila rumahnya kotor penuh sampah, ia mengundang lalat dan nyamuk berdatangan. Jika taman penuh bunga bermekaran, ia mengundang kupu-kupu warna-warni berdatangan dari segala penjuru. Di hadapan alam yang kerap berbicara dengan bahasa duka cita, memaki dan mencaci mungkin hanya akan menambah tumpukan sampah. Mencari cara bertumbuh di tengah lumpur duka cita, lebih mungkin membuat Indonesia menjadi taman kehidupan yang menawan. Dalam perspektif ini, bisa dimaklumi bila Ezra Bayda memberi judul karyanya At Home In The Muddy Water. Di Timur, puncak perjalanan ke dalam kerap disimbulkan dengan bunga Padma yang bertumbuh dan mekar di lumpur, namun tidak kotor oleh lumpur.

Bencana ibarat lumpur. Hanya mereka yang penuh cinta dan keikhlasan kemudian bisa mekar seperti bunga Padma. Dikatakan demikian, karena kekuatan suci dari atas sedang memancing manusia dengan kasih sayang (compassion), dan siapa yang mengisi hidupnya dengan cinta dan bakti (devotion) sedang mencoba memakan kail yang datang dari atas.

Bila ini terjadi, bencana bukan hukuman, ia hanya bimbingan untuk segera pulang. Persis seperti lirik lagu anak-anak yang dikutip di awal. Perhatikan pesan seorang guru: “Go beyond positive and negative, by opening ourselves to our feelings and experiencing our mind just as it is”. Senang-sedih dan dualitas lainnya ada dalam pikiran. Belajar melampauinya dengan memeluk semua apa adanya. Inilah yang dilakukan para guru tercerahkan di Timur.

No comments:

Post a Comment

Bookmark and Share
Custom Search