Jul 2, 2013

PERBAIKI BOROBUDUR DALAM DIRI



Ketegangan kosmik di mana-mana, Thailand dulunya disebut tanah penuh senyuman, sekarang berubah menjadi tanah penuh perkelahian. Nusantara yang penuh berkah alam menyimpan banyak kesedihan. Dalam berbagai kasus hukum, kepintaran digunakan untuk membenarkan kelicikan. Dalam cerita mengenaskan tentang pendidikan,  pendidikan tidak semakin dekat dari jangkauan masyarakat. Dalam cerita orang miskin yang ditimpa penyakit, mahalnya biaya berobat tidak saja membuat mereka batal berobat, ada yang bahkan terpaksa bunuh diri karena tidak kuat menahan rasa sakit. Mungkin ini sebabnya kenapa Lash & Urry (1987) memberi judul karyanya The End of Organized Capitalism. Kapitalisme mulai kehilangan kemampuannya dalam membuat masyarakt menjadi teratur.

Ketegangan kosmik seperti ini, tentu tidak menjadi monopoli zaman ini. Seorang tetua di Jawa bercerita, suatu hari mantan presiden Pak Harto meminta saran. Tetua kemudian membuka tiga bungkusan warisan yang berumur ratusan tahun. Ketika bungkusan   pertama,   kedua,   ketiga dibuka pesannya sama: “perbaiki Borobudur”.

Entah karena pesan ini atau sebab lain, Pak Harto sudah memperbaiki Borobudur. Dan kita yang bertumbuh di zaman yang penuh ketegangan kosmik ini, mungkin bijaksana merenungkan memperbaiki Borobudur di dalam diri.

Kemulyaan kesabaran
Borobudur sesungguhnya sebuah buku tua yang terbuka. Manusia bebas menafsirkannya. Catatannya kemudian, ketika seseorang menafsirkan buku suci, ia tidak saja sedang merekonstruksi makna buku suci, ia juga sedang bercerita tentang kedalaman penggaliannya.

Bagi banyak orang, bagian dasar Borobudur berisi cerita nafsu yang menjijikkan. Bisa dimaklumi karena di sana berisi relief manusia meminum alkohol, hubungan seksual. Dari segi lain, sejak dari kaki Borobudur sudah bercerita jalan pencerahan. Sebagian buku suci memang membenci nafsu. Namun  tanpa nafsu seks orang tua sebagai contoh, kita manusia tidak memiliki kesempatan menyelami samudera pencerahan. Borobudur mengajarkan jangan tendang hawa nafsu, gunakan ia sebagai tangga untuk menggali semakin dalam.

Itu sebabnya, dalam meditasi diajarkan untuk mempraktekkan kesadaran dua puluh empat jam sehari. Termasuk ketika tidur melalui praktek yoga mimpi. Banyak guru meditasi  berpesan lembut: “apa pun gambar yang muncul ketika meditasi, apa pun yang terjadi dalam keseharian jangan lupa sadari dan sayangi”. Kebahagiaan-kesedihan, hidup-mati semuanya disadari dan disayangi.

Logikanya, bila kemarahan, kedengkian disadari, disayangi, maka   ia bisa tambah membakar. Namun banyak yogi dengan jam terbang meditasi tinggi menemukan sebaliknya. Gabungan antara menyadari dan menyayangi, membuat emosi negatif lenyap di tempatnya. Seperti pecahan salju yang jatuh ke danau, emosi negatif tidak ditendang tapi dipeluk. Sebagai hasilnya, pecahan salju lenyap perlahan.

Meminjam pendapat orang sufi, buku suci perilakunya serupa calon penganten wanita, membuka baju di depan calon suami. Dan praktek mendalam berupa menyadari dan menyayangi membuat seseorang menjadi calon suami buku suci. Itu sebabnya, sedikit pengunjung Borobudur yang tertarik membaca relief, apa lagi dibikin tercerahkan. Terutama karena sedikit manusia yang berlatih menjadi calon suami buku suci.

Bagi praktisi yang mempraktekkan kesadaran mendalam, relief Borobudur menjadi pisau tajam yang menghaluskan, melobangi bambu kasar (batin belum tercerahkan) menjadi seruling yang halus di tangan, indah di mata, lembut di telinga (batin tercerahkan).

Salah satu cerita menggetarkan yang ada di bagian tengah Borobudur adalah cerita pertapa yang duduk rapi di halaman istana, kemudian diintip selir-selir raja. Rajanya cemburu, dengan marah ia bertanya: “apa yang kau ajarkan pertapa?”. Dengan tenang, halus, lembut pertapanya menjawab: “Kesabaran baginda”. Marah raja semakin meninggi, kemudian membentak: “apa itu kesabaran?”. Ketenangan, kehalusan dan kelembutan pertapa tadi tidak berubah: “kesabaran adalah tidak bereaksi ketika disakiti baginda”.

Rajanya murka, ia memanggil algojo untuk mencambuk pertapa. Setelah tubuh pertapa berdarah-darah, lagi rajanya membentak menanyakan arti kesabaran. Kali ini pun pertapanya menjawab tenang, halus, lembut: “kesabaran adalah tidak bereaksi ketika disakiti baginda”. Tambah murka rajanya sehingga ia mengambil pedang memotong kedua tangan dan kedua kaki pertapa. Dalam keadaan bersimbah darah, rajanya lagi bertanya arti kesabaran. Kendati badannya sudah tanpa kaki dan tanpa tangan, sang pertapa tetap dengan halus, indah dan tenang menjawab: “kesabaran berarti tidak bereaksi ketika disakiti baginda”. Dan, pertapa inilah pada sekian kehidupan kemudian yang terlahir mengenakan nama Pangeran Siddharta.

Bagi kita yang hidup di zaman demokrasi ini, kesabaran mencakup ketekunan untuk terus menerus menerapkan demokrasi. Winston Churchill benar, demokrasi memang bukan cara terbaik, tapi yang lebih baik belum ditemukan. Sehingga kendati demokrasi itu cerewet, menyakitkan - bahkan ada yang menyamakan pemimpin dengan kerbau – tapi tidak ada pilihan lain kecuali dengan sabar melanjutkan demokrasi. Setiap rasa sakit pemimpin di hari ini adalah bibit-bibit perubahan yang akan berbuah kelak.

Kelembutan keheningan
Di bagian atas Borobudur, tidak ada relief. Hanya lingkaran-lingkaran Mandala (kesempurnaan) berisi  stupa, di dalamnya duduk patung Buddha dengan posisi tangan sedang mengajar. Dan di puncak tertinggi Borobudur tersisa stupa terbesar tertutup, di dalamnya berisi ruang kosong. Pesannya sederhana, keheningan sempurna  itulah puncak tugas memperbaiki Borobudur di dalam diri.

Makna keheningan berbeda dari satu panggilan tugas ke panggilan tugas yang lain. Bagi pertapa, keheningan berarti memperuntukkan kehidupan sepenuhnya buat orang lain. Bagi pemimpin, keheningan berarti berjuang mengurangi penderitaan. Bagi orang biasa, keheningan berarti mengisi kehidupan dengan pelayanan. Dalam bahasa HH Dalai Lama: “Bila harus memilih antara agama dan kasih sayang, pilihlah kasih sayang”. Dengan spirit menyayangi inilah, kemudian kebodohan, kemiskinan dan kemelaratan bisa ditinggalkan di belakang.

Makanya ada yang menyederhanakan inti ajaran Borobudur ke dalam sepasang sayap burung. Sayap  kiri adalah keheningan, sayap kanan berisi kasih sayang. Keheningan baru sempurna bila diisi dengan kasih sayang. Kasih sayang baru sempurna jika dilakukan dalam keheningan (tanpa keakuan). Ia yang kedua sayapnya sudah kokoh, di waktu kematian akan bernasib serupa anak burung garuda. Begitu telurnya pecah, langsung terbang ke alam pencerahan.

No comments:

Post a Comment

Bookmark and Share
Custom Search