Ketegangan kosmik di mana-mana, Thailand dulunya disebut tanah
penuh senyuman, sekarang berubah menjadi tanah penuh perkelahian. Nusantara
yang penuh berkah alam menyimpan banyak kesedihan. Dalam berbagai kasus hukum,
kepintaran digunakan untuk membenarkan kelicikan. Dalam cerita mengenaskan
tentang pendidikan, pendidikan tidak
semakin dekat dari jangkauan masyarakat. Dalam cerita orang miskin yang ditimpa
penyakit, mahalnya biaya berobat tidak saja membuat mereka batal berobat, ada
yang bahkan terpaksa bunuh diri karena tidak kuat menahan rasa sakit. Mungkin
ini sebabnya kenapa Lash & Urry (1987) memberi judul karyanya The End of
Organized Capitalism. Kapitalisme mulai kehilangan kemampuannya dalam membuat masyarakt
menjadi teratur.
Ketegangan kosmik seperti ini, tentu tidak menjadi monopoli
zaman ini. Seorang tetua di Jawa bercerita, suatu hari mantan presiden Pak
Harto meminta saran. Tetua kemudian membuka tiga bungkusan warisan yang berumur
ratusan tahun. Ketika bungkusan
pertama, kedua, ketiga dibuka pesannya sama: “perbaiki Borobudur”.
Entah karena pesan ini atau sebab lain, Pak Harto sudah
memperbaiki Borobudur. Dan kita yang bertumbuh
di zaman yang penuh ketegangan kosmik ini, mungkin bijaksana merenungkan
memperbaiki Borobudur di dalam diri.
Kemulyaan kesabaran
Borobudur sesungguhnya
sebuah buku tua yang terbuka. Manusia bebas menafsirkannya. Catatannya
kemudian, ketika seseorang menafsirkan buku suci, ia tidak saja sedang
merekonstruksi makna buku suci, ia juga sedang bercerita tentang kedalaman
penggaliannya.
Bagi banyak orang, bagian dasar Borobudur
berisi cerita nafsu yang menjijikkan. Bisa dimaklumi karena di sana berisi relief manusia
meminum alkohol, hubungan seksual. Dari segi lain, sejak dari kaki Borobudur sudah bercerita jalan pencerahan. Sebagian buku
suci memang membenci nafsu. Namun tanpa
nafsu seks orang tua sebagai contoh, kita manusia tidak memiliki kesempatan
menyelami samudera pencerahan. Borobudur
mengajarkan jangan tendang hawa nafsu, gunakan ia sebagai tangga untuk menggali
semakin dalam.
Itu sebabnya, dalam meditasi diajarkan untuk mempraktekkan
kesadaran dua puluh empat jam sehari. Termasuk ketika tidur melalui praktek
yoga mimpi. Banyak guru meditasi
berpesan lembut: “apa pun gambar yang muncul ketika meditasi, apa pun
yang terjadi dalam keseharian jangan lupa sadari dan sayangi”.
Kebahagiaan-kesedihan, hidup-mati semuanya disadari dan disayangi.
Logikanya, bila kemarahan, kedengkian disadari, disayangi,
maka ia bisa tambah membakar. Namun
banyak yogi dengan jam terbang meditasi tinggi menemukan sebaliknya. Gabungan
antara menyadari dan menyayangi, membuat emosi negatif lenyap di tempatnya.
Seperti pecahan salju yang jatuh ke danau, emosi negatif tidak ditendang tapi
dipeluk. Sebagai hasilnya, pecahan salju lenyap perlahan.
Meminjam pendapat orang sufi, buku suci perilakunya serupa
calon penganten wanita, membuka baju di depan calon suami. Dan praktek mendalam
berupa menyadari dan menyayangi membuat seseorang menjadi calon suami buku
suci. Itu sebabnya, sedikit pengunjung Borobudur
yang tertarik membaca relief, apa lagi dibikin tercerahkan. Terutama karena
sedikit manusia yang berlatih menjadi calon suami buku suci.
Bagi praktisi yang mempraktekkan kesadaran mendalam, relief
Borobudur menjadi pisau tajam yang menghaluskan, melobangi bambu kasar (batin
belum tercerahkan) menjadi seruling yang halus di tangan, indah di mata, lembut
di telinga (batin tercerahkan).
Salah satu cerita menggetarkan yang ada di bagian tengah Borobudur adalah cerita pertapa yang duduk rapi di
halaman istana, kemudian diintip selir-selir raja. Rajanya cemburu, dengan
marah ia bertanya: “apa yang kau ajarkan pertapa?”. Dengan tenang, halus,
lembut pertapanya menjawab: “Kesabaran baginda”. Marah raja semakin meninggi,
kemudian membentak: “apa itu kesabaran?”. Ketenangan, kehalusan dan kelembutan
pertapa tadi tidak berubah: “kesabaran adalah tidak bereaksi ketika disakiti
baginda”.
Rajanya murka, ia memanggil algojo untuk mencambuk pertapa.
Setelah tubuh pertapa berdarah-darah, lagi rajanya membentak menanyakan arti
kesabaran. Kali ini pun pertapanya menjawab tenang, halus, lembut: “kesabaran
adalah tidak bereaksi ketika disakiti baginda”. Tambah murka rajanya sehingga
ia mengambil pedang memotong kedua tangan dan kedua kaki pertapa. Dalam keadaan
bersimbah darah, rajanya lagi bertanya arti kesabaran. Kendati badannya sudah
tanpa kaki dan tanpa tangan, sang pertapa tetap dengan halus, indah dan tenang
menjawab: “kesabaran berarti tidak bereaksi ketika disakiti baginda”. Dan,
pertapa inilah pada sekian kehidupan kemudian yang terlahir mengenakan nama
Pangeran Siddharta.
Bagi kita yang hidup di zaman demokrasi ini, kesabaran
mencakup ketekunan untuk terus menerus menerapkan demokrasi. Winston Churchill
benar, demokrasi memang bukan cara terbaik, tapi yang lebih baik belum
ditemukan. Sehingga kendati demokrasi itu cerewet, menyakitkan - bahkan ada
yang menyamakan pemimpin dengan kerbau – tapi tidak ada pilihan lain kecuali
dengan sabar melanjutkan demokrasi. Setiap rasa sakit pemimpin di hari ini
adalah bibit-bibit perubahan yang akan berbuah kelak.
Kelembutan keheningan
Di bagian atas Borobudur,
tidak ada relief. Hanya lingkaran-lingkaran Mandala (kesempurnaan) berisi stupa, di dalamnya duduk patung Buddha dengan
posisi tangan sedang mengajar. Dan di puncak tertinggi Borobudur
tersisa stupa terbesar tertutup, di dalamnya berisi ruang kosong. Pesannya
sederhana, keheningan sempurna itulah
puncak tugas memperbaiki Borobudur di dalam
diri.
Makna keheningan berbeda dari satu panggilan tugas ke
panggilan tugas yang lain. Bagi pertapa, keheningan berarti memperuntukkan
kehidupan sepenuhnya buat orang lain. Bagi pemimpin, keheningan berarti
berjuang mengurangi penderitaan. Bagi orang biasa, keheningan berarti mengisi
kehidupan dengan pelayanan. Dalam bahasa HH Dalai Lama: “Bila harus memilih
antara agama dan kasih sayang, pilihlah kasih sayang”. Dengan spirit menyayangi
inilah, kemudian kebodohan, kemiskinan dan kemelaratan bisa ditinggalkan di
belakang.
Makanya ada yang menyederhanakan inti ajaran Borobudur ke dalam sepasang sayap burung. Sayap kiri adalah keheningan, sayap kanan berisi
kasih sayang. Keheningan baru sempurna bila diisi dengan kasih sayang. Kasih
sayang baru sempurna jika dilakukan dalam keheningan (tanpa keakuan). Ia yang
kedua sayapnya sudah kokoh, di waktu kematian akan bernasib serupa anak burung
garuda. Begitu telurnya pecah, langsung terbang ke alam pencerahan.
No comments:
Post a Comment