Dec 25, 2013

BERBICARA TENTANG TRADISI NATAL



Tahun-tahun pertama tinggal di Eropa, setiap Natal tiba, selalu terbersit perasaan ingin tahu bagaimana orang Barat merayakan Natal, juga ada semacam perasaan misterius seolah memasuki ke dalam dunia mitologi, dari lubuk hati yang terdalam selalu saja terbersit sebuah getaran yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. 

Dalam suatu kesempatan, penulis mengikuti kegiatan Natal untuk usia balita, yang diadakan setiap tanggal 6 Desember. Anak-anak berkumpul di rumah salah seorang peserta, menanti kedatangan Sinterklas. Terlebih dahulu secara diam-diam para orang tua menulis disecarik kertas tentang kelebihan dan kekurangan anak-anak mereka untuk diberikan kepada sinterklas.

Pada saat yang dinanti, Sinterklas yang mengenakan jubah dan topi merah itu sesuai janji telah tiba, memikul sekarung besar kado dan di tangannya memegang sebuah kitab kuning tebal.

Sesudah berjumpa dengan si anak, dibukanya kitab tersebut dan ia mulai bertanya: Apakah kamu bernama Mary? Apakah kamu anak yang penurut? Tidakkah kamu rewel sewaktu makan? Kepada anak berikutnya ia bertanya: Apakah kamu tidak tidur dengan baik? Selalu menteror ibumu?

Anak-anak itu melihat dan mendengarkan dengan takut-takut, sekaligus merasa terheran-heran, bagaimana Sinterklas bisa mengetahui begitu banyak tentang dirinya?  Sang Nicholaus bertanya dengan mimik serius, apakah kamu mau merubahnya? Bila tidak, saya akan membawamu. Di tangannya sepertinya masih ada sebuah pentungan besar untuk menghukum orang.

Saya melihat anak-anak yang hadir semuanya menganggap hal itu nyata, perkataan Sinterklas didengarnya dengan serius, dengan tulus berjanji kepada Sinterklas akan menjadi anak yang baik.  Walau hal itu diskenarioi oleh para orang tua, akan tetapi ia merupakan sebuah acara tetap dalam setiap perayaan Natal, yang tak lekang dimakan waktu. 

Sesudah kejadian itu saya berpikir, kegiatan ini berefek positif terhadap pendidikan anak, agar mereka tahu, selain kerabat dan guru, masih ada sepasang “mata-malaikat” dari figur Sinterklas yang setiap saat menyorot perilaku mereka, sepertinya tidak ada yang terlewatkan, sedari kecil anak-anak itu mengetahui harus memiliki perasaan hormat terhadap Tuhan dan malaikat.   

Setiap merayakan hari Natal, penulis, seperti para tetangga lainnya membeli sebuah pohon Natal, juga lampu hias dan bola aneka warna. Penulis mengajak anak-anak mengerjakannya bersama dan anak-anak pun menyambut dengan riang.  

Sampai pada suatu hari, seorang tetangga, ibu Ellis tiba-tiba masuk, ketika menyaksikan penulis sedang sibuk menghias dengan anak-anak, ia terkejut  membelalakkan matanya, tak tahu harus berkata apa, akhirnya menarik penulis ke sebelah dan bertanya dengan berbisik, “Kegiatan ini mengapa dikerjakan bersama anak?”   

Penulis dengan spontan menjawab, “Apa jeleknya bekerja bersama dengan anak?” Ibu Ellis berkata dengan mimik serius,” Anak sulung saya saja sudah berumur 12 tahun, setiap menghias pohon Natal, dengan sengaja kami melakukannya secara sembunyi-sembunyi, sampai dengan sekarang dia selalu saja mengira pohon Natal cantik itu adalah Tuhan yang mengirim ke rumah kami! Sama sekali tidak mengetahui bahwa pohon Natal itu dihias oleh orang tuanya. 

Saya terbelalak, ternyata adalah demikian!  Sayangnya anak-anak sudah mengerjakannya dengan penulis selama beberapa tahun, tak bisa lagi mengelabuinya, sungguh sangat menyesal telah kehilangan sebuah mitos yang begitu menakjubkan, untuk itu penulis merasa menyesal sekali.

Tampaknya, tak peduli dunia Timur ataupun Barat, bisa mempertahankan kebiasaan tradisi hingga sekarang, bukan melulu dikarenakan bentuk luarnya yang meriah, namun di balik itu pasti memiliki kisah yang indah menawan dan makna mendalam. 

Maka dari itu penulis lantas memperhatikan bagaimana orang Jerman merayakan hari Natal, dengan cepat telah menemukan arti mendalam dari banyak tradisi yang tidak disangka-sangka, benda penghias pohon Natal saja juga mempunyai banyak tata cara.

Lampu mewakili cahaya dunia dari Kristus; pohon pinus yang selalu hijau dan dijadikan pohon Natal, mewakili roh yang dibawa oleh Kristus kepada manusia; sedangkan simbol Kristus yakni malaikat dan bintang, membuat pohon itu terkesan lebih menonjol. Setiap pohon juga memiliki makna berbeda: pohon pinus mewakili status Kristus raja; ujung daunnya yang runcing dan jeruk mandarin, melambangkan Kristus dipaku hingga mati di atas salib. 

Begitu lama tinggal di Jerman penulis pun telah mempelajari cara membuat aneka  macam kue kering Natal.

Setiap mengerjakan kue Natal saya berpikir, kue yang begini lezat kenapa sehari-harinya tidak terpikir untuk membuatnya? Kemudian pada suatu musim panas yang panjang, penulis lantas teringat urusan membuat kue Natal, akan tetapi musim panas yang begitu terik telah membuat penulis sudah tidak bersemangat lagi untuk membuka oven pembuat kue. 

Dipikir lebih mendalam, lantas tidak merasa heran lagi, bagaimanapun hari Natal adalah hari Natal, ada suasana hari rayanya, jajanan Natal tentu dikala hari Natal barulah dapat di-nikmati dengan rasa yang khas, juga penulis lantas teringat   urusan menghias pohon Natal, bagaimanapun tradisi adalah tradisi. Harus ditaati, tak boleh sembarangan dilanggar, begitu dilanggar maka suasananya pasti menjadi beda.

Ketika mendekati Hari Natal, orang-orang Jerman mulai sibuk dan riang gembira melakukan belanja besar untuk keperluan Natal.  Di dalam pusat-pusat perbelanjaan ataupun di jalanan, suasana Natal dapat dirasakan.

Di tengah dinginnya musim salju yang menggigit, masyarakat Jerman merasakan kebahagiaan dan ketentraman berkat pengayoman Tuhan.   

Namun demikian masyarakat Jerman tidak sampai melupakan bagian masyarakat yang dililit kemiskinan. Setiap tahun mendekati hari Natal, banyak kelompok masyarakat dan media sangat memperhatikan anak-anak dari keluarga tak mampu dan para tuna wisma.

Sejak dini media cetak sudah mengumumkan agar anak-anak yang tidak mampu beli pohon Natal segera menulis surat memberitahukan alamat rumah mereka, supaya pada tahun ini, di dalam rumah mereka terdapat kehangatan pohon Natal.   Stasiun TV menghimbau khalayak untuk menyumbangkan barang-barang yang tidak dipakai kepada para anak dan orang miskin yang tidak memperoleh bingkisan Natal. 

Penulis menyaksikan diberbagai wilayah Jerman menjelang Natal, masyarakatnya giat mengumpulkan sumbangan untuk diberikan kepada pekerja sampah dan petugas pos sebanyak beberapa Euro, bersimpati akan gaji minimnya mereka, padahal pekerjaan yang dilakukan cukup berat, memberi sedikit uang sebagai balasan jerih payah mereka dalam setahun bekerja.   

Meskipun orang Jerman terkenal hemat, bahkan dalam bidang konsumsi tidak sedikit yang masih sangat pelit. Dikala berwisata ke manca negara, uang tips orang Jerman juga terkenal sedikit, namun orang Jerman mutlak adalah bangsa yang suka beramal, terutama ketika negara lain mengalami bencana dan musibah, tindakan mereka begitu bersemangat dan royal.

Ketika terjadi bencana Tsunami pada akhir tahun 2005, stasiun televisi Jerman telah menyelenggarakan beberapa kali pertunjukan amal.  Hanya dalam beberapa jam pada salah satu pertunjukan amal, pihak penyelenggara telah mengumpulkan dana sumbangan sebesar 40.000.000 Euro (sekitar Rp 400 miliar), berhasil memecahkan record tertinggi dalam pertunjukan amal.

Juara dunia formula 1, Michael Schumacher, menjadi penyumbang amal terbesar pada saat itu dengan dana sebesar 7.480.000 Euro (Rp 82 miliar).  Dalam tahun yang sama, kota dan desa diseluruh Jerman telah terjadi sebuah trend amal, bahkan mulai dari departemen pemerintahan hingga petani dan setiap kelas sekolah nyaris tiada yang tidak menyumbang.

Penulis berpikir, orang Jerman yang begitu getol menyumbang barangkali berkaitan dengan kepercayaan mereka terhadap Tuhannya. Walaupun angka kelahiran di Jerman semakin lama semakin sedikit, dan orang yang keluar dari agamanya juga bertambah banyak saja, pemerintah Jerman sedang memikirkan apakah perlu mengurangi sebagian gereja, untuk menekan pengeluaran.  Namun bagaimanapun juga Jerman memiliki sejarah dan kebudayaan yang kaya dengan nuansa agamis. 

Sebanyak 70% lebih warga Jerman memeluk kepercayaan agama, mempercayai keberadaan Tuhan, di bagian utara Jerman sebagian besar memeluk agama Kristen, sedangkan di bagian selatan memeluk agama Katholik. 

Orang-orang yang masih mempunyai keyakinan dan respek terhadap Tuhan, secara wajar di dalam hatinya terdapat pengendalian diri, sehingga didalam bertindak tidak berlaku sewenang-wenang, dengan ikhlas melakukan perbuatan baik, sebisa mungkin tidak melakukan hal buruk, karena orang-orang tahu Tuhan setiap detik mengawasi kita. Orang bajik pasti bisa merasakan kasih Tuhan, dengan demikian hati senantiasa bersyukur serta hidup tenang dan bahagia.    

Seiring dengan mendekatnya hari Natal, orang-orang dapat merasakan bahwa Tuhan juga hari demi hari berjalan menuju ke arah kita.  Justru karena banyak yang memiliki suasana hati semacam ini, dapat mendorong orang Jerman lebih memperhatikan perayaan Natal, dan akhirnya hari Natal di Jerman bisa berlangsung dengan demikian khidmat.

SELAMAT NATAL 

No comments:

Post a Comment

Bookmark and Share
Custom Search