Tahun-tahun pertama
tinggal di Eropa, setiap Natal tiba, selalu terbersit perasaan ingin tahu
bagaimana orang Barat merayakan Natal, juga ada semacam perasaan misterius
seolah memasuki ke dalam dunia mitologi, dari lubuk hati yang terdalam selalu
saja terbersit sebuah getaran yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Dalam suatu
kesempatan, penulis mengikuti kegiatan Natal
untuk usia balita, yang diadakan setiap tanggal 6 Desember. Anak-anak berkumpul
di rumah salah seorang peserta, menanti kedatangan Sinterklas. Terlebih dahulu
secara diam-diam para orang tua menulis disecarik kertas tentang kelebihan dan
kekurangan anak-anak mereka untuk diberikan kepada sinterklas.
Pada saat yang
dinanti, Sinterklas yang mengenakan jubah dan topi merah itu sesuai janji telah
tiba, memikul sekarung besar kado dan di tangannya memegang sebuah kitab kuning
tebal.
Sesudah berjumpa
dengan si anak, dibukanya kitab tersebut dan ia mulai bertanya: Apakah kamu
bernama Mary? Apakah kamu anak yang penurut? Tidakkah kamu rewel sewaktu makan?
Kepada anak berikutnya ia bertanya: Apakah kamu tidak tidur dengan baik? Selalu
menteror ibumu?
Anak-anak itu melihat
dan mendengarkan dengan takut-takut, sekaligus merasa terheran-heran, bagaimana
Sinterklas bisa mengetahui begitu banyak tentang dirinya? Sang Nicholaus bertanya dengan mimik serius,
apakah kamu mau merubahnya? Bila tidak, saya akan membawamu. Di tangannya
sepertinya masih ada sebuah pentungan besar untuk menghukum orang.
Saya melihat anak-anak
yang hadir semuanya menganggap hal itu nyata, perkataan Sinterklas didengarnya
dengan serius, dengan tulus berjanji kepada Sinterklas akan menjadi anak yang
baik. Walau hal itu diskenarioi oleh
para orang tua, akan tetapi ia merupakan sebuah acara tetap dalam setiap
perayaan Natal,
yang tak lekang dimakan waktu.
Sesudah kejadian itu
saya berpikir, kegiatan ini berefek positif terhadap pendidikan anak, agar
mereka tahu, selain kerabat dan guru, masih ada sepasang “mata-malaikat” dari
figur Sinterklas yang setiap saat menyorot perilaku mereka, sepertinya tidak
ada yang terlewatkan, sedari kecil anak-anak itu mengetahui harus memiliki
perasaan hormat terhadap Tuhan dan malaikat.
Setiap merayakan hari Natal, penulis, seperti para tetangga lainnya membeli
sebuah pohon Natal,
juga lampu hias dan bola aneka warna. Penulis mengajak anak-anak mengerjakannya
bersama dan anak-anak pun menyambut dengan riang.
Sampai pada suatu
hari, seorang tetangga, ibu Ellis tiba-tiba masuk, ketika menyaksikan penulis
sedang sibuk menghias dengan anak-anak, ia terkejut membelalakkan matanya, tak tahu harus berkata
apa, akhirnya menarik penulis ke sebelah dan bertanya dengan berbisik,
“Kegiatan ini mengapa dikerjakan bersama anak?”
Penulis dengan spontan
menjawab, “Apa jeleknya bekerja bersama dengan anak?” Ibu Ellis berkata dengan
mimik serius,” Anak sulung saya saja sudah berumur 12 tahun, setiap menghias
pohon Natal, dengan sengaja kami melakukannya secara sembunyi-sembunyi, sampai
dengan sekarang dia selalu saja mengira pohon Natal cantik itu adalah Tuhan
yang mengirim ke rumah kami! Sama sekali tidak mengetahui bahwa pohon Natal itu dihias oleh
orang tuanya.
Saya terbelalak,
ternyata adalah demikian! Sayangnya
anak-anak sudah mengerjakannya dengan penulis selama beberapa tahun, tak bisa
lagi mengelabuinya, sungguh sangat menyesal telah kehilangan sebuah mitos yang
begitu menakjubkan, untuk itu penulis merasa menyesal sekali.
Tampaknya, tak peduli
dunia Timur ataupun Barat, bisa mempertahankan kebiasaan tradisi hingga
sekarang, bukan melulu dikarenakan bentuk luarnya yang meriah, namun di balik
itu pasti memiliki kisah yang indah menawan dan makna mendalam.
Maka dari itu penulis
lantas memperhatikan bagaimana orang Jerman merayakan hari Natal,
dengan cepat telah menemukan arti mendalam dari banyak tradisi yang tidak
disangka-sangka, benda penghias pohon Natal
saja juga mempunyai banyak tata cara.
Lampu mewakili cahaya
dunia dari Kristus; pohon pinus yang selalu hijau dan dijadikan pohon Natal,
mewakili roh yang dibawa oleh Kristus kepada manusia; sedangkan simbol Kristus
yakni malaikat dan bintang, membuat pohon itu terkesan lebih menonjol. Setiap
pohon juga memiliki makna berbeda: pohon pinus mewakili status Kristus raja;
ujung daunnya yang runcing dan jeruk mandarin, melambangkan Kristus dipaku
hingga mati di atas salib.
Begitu lama tinggal di
Jerman penulis pun telah mempelajari cara membuat aneka macam kue kering Natal.
Setiap mengerjakan kue
Natal saya
berpikir, kue yang begini lezat kenapa sehari-harinya tidak terpikir untuk
membuatnya? Kemudian pada suatu musim panas yang panjang, penulis lantas
teringat urusan membuat kue Natal,
akan tetapi musim panas yang begitu terik telah membuat penulis sudah tidak
bersemangat lagi untuk membuka oven pembuat kue.
Dipikir lebih
mendalam, lantas tidak merasa heran lagi, bagaimanapun hari Natal adalah hari
Natal, ada suasana hari rayanya, jajanan Natal tentu dikala hari Natal barulah
dapat di-nikmati dengan rasa yang khas, juga penulis lantas teringat urusan menghias pohon Natal, bagaimanapun
tradisi adalah tradisi. Harus ditaati, tak boleh sembarangan dilanggar, begitu
dilanggar maka suasananya pasti menjadi beda.
Ketika mendekati Hari
Natal, orang-orang Jerman mulai sibuk dan riang gembira melakukan belanja besar
untuk keperluan Natal. Di dalam pusat-pusat perbelanjaan ataupun di
jalanan, suasana Natal
dapat dirasakan.
Di tengah dinginnya
musim salju yang menggigit, masyarakat Jerman merasakan kebahagiaan dan
ketentraman berkat pengayoman Tuhan.
Namun demikian
masyarakat Jerman tidak sampai melupakan bagian masyarakat yang dililit
kemiskinan. Setiap tahun mendekati hari Natal,
banyak kelompok masyarakat dan media sangat memperhatikan anak-anak dari
keluarga tak mampu dan para tuna wisma.
Sejak dini media cetak
sudah mengumumkan agar anak-anak yang tidak mampu beli pohon Natal
segera menulis surat memberitahukan alamat rumah
mereka, supaya pada tahun ini, di dalam rumah mereka terdapat kehangatan pohon Natal. Stasiun TV menghimbau khalayak untuk
menyumbangkan barang-barang yang tidak dipakai kepada para anak dan orang
miskin yang tidak memperoleh bingkisan Natal.
Penulis menyaksikan
diberbagai wilayah Jerman menjelang Natal, masyarakatnya giat mengumpulkan
sumbangan untuk diberikan kepada pekerja sampah dan petugas pos sebanyak
beberapa Euro, bersimpati akan gaji minimnya mereka, padahal pekerjaan yang
dilakukan cukup berat, memberi sedikit uang sebagai balasan jerih payah mereka
dalam setahun bekerja.
Meskipun orang Jerman
terkenal hemat, bahkan dalam bidang konsumsi tidak sedikit yang masih sangat
pelit. Dikala berwisata ke manca negara, uang tips orang Jerman juga terkenal
sedikit, namun orang Jerman mutlak adalah bangsa yang suka beramal, terutama
ketika negara lain mengalami bencana dan musibah, tindakan mereka begitu
bersemangat dan royal.
Ketika terjadi bencana
Tsunami pada akhir tahun 2005, stasiun televisi Jerman telah menyelenggarakan
beberapa kali pertunjukan amal. Hanya
dalam beberapa jam pada salah satu pertunjukan amal, pihak penyelenggara telah
mengumpulkan dana sumbangan sebesar 40.000.000 Euro (sekitar Rp 400 miliar),
berhasil memecahkan record tertinggi dalam pertunjukan amal.
Juara dunia formula 1,
Michael Schumacher, menjadi penyumbang amal terbesar pada saat itu dengan dana
sebesar 7.480.000 Euro (Rp 82 miliar).
Dalam tahun yang sama, kota
dan desa diseluruh Jerman telah terjadi sebuah trend amal, bahkan mulai dari
departemen pemerintahan hingga petani dan setiap kelas sekolah nyaris tiada
yang tidak menyumbang.
Penulis berpikir,
orang Jerman yang begitu getol menyumbang barangkali berkaitan dengan
kepercayaan mereka terhadap Tuhannya. Walaupun angka kelahiran di Jerman
semakin lama semakin sedikit, dan orang yang keluar dari agamanya juga
bertambah banyak saja, pemerintah Jerman sedang memikirkan apakah perlu mengurangi
sebagian gereja, untuk menekan pengeluaran.
Namun bagaimanapun juga Jerman memiliki sejarah dan kebudayaan yang kaya
dengan nuansa agamis.
Sebanyak 70% lebih
warga Jerman memeluk kepercayaan agama, mempercayai keberadaan Tuhan, di bagian
utara Jerman sebagian besar memeluk agama Kristen, sedangkan di bagian selatan
memeluk agama Katholik.
Orang-orang yang masih
mempunyai keyakinan dan respek terhadap Tuhan, secara wajar di dalam hatinya
terdapat pengendalian diri, sehingga didalam bertindak tidak berlaku
sewenang-wenang, dengan ikhlas melakukan perbuatan baik, sebisa mungkin tidak
melakukan hal buruk, karena orang-orang tahu Tuhan setiap detik mengawasi kita.
Orang bajik pasti bisa merasakan kasih Tuhan, dengan demikian hati senantiasa
bersyukur serta hidup tenang dan bahagia.
Seiring dengan
mendekatnya hari Natal,
orang-orang dapat merasakan bahwa Tuhan juga hari demi hari berjalan menuju ke
arah kita. Justru karena banyak yang
memiliki suasana hati semacam ini, dapat mendorong orang Jerman lebih
memperhatikan perayaan Natal, dan akhirnya hari Natal di Jerman bisa
berlangsung dengan demikian khidmat.
SELAMAT NATAL
No comments:
Post a Comment