Jack
adalah seorang pengacara, kali pertama
dia datang ke tempat praktek saya, dari sikapnya dia lebih pantas disebut jaksa
dari pada seorang pasien, "Sejak kapan Anda jadi Sinshe akupunktur?
Lulusan darimana? Sudah sarjana? Anda paling ahli mengobati penyakit apa?"
Serentetan
pertanyaan, penuh nada sangsi. Saya dengan sabar menjawab pertanyaannya.
Asisten saya berdiri di samping saya menyaksikan hal tersebut dengan tidak
sabar menggerutu, "Tak tahu aturan, dia lupa kalau kemari untuk mengobati
penyakitnya."
Sambil
menahan marah sampai mukanya merah karena saya tidak bereaksi, asisten saya
memeras kapas beralkohol dan mencari beberapa jarum untuk pasien itu.
Saya
bertanya pada Jack asal-usul penyakitnya, dia berkata karena telapak kakinya
sakit, dia sudah lama tidak bisa berjalan dan olahraga, begitu berdiri telapak
kaki seperti ditusuk ribuan jarum. Dia sudah ke beberapa rumah sakit dan mencoba berbagai macam pengobatan, semua
tidak ada hasilnya, maka dia coba mencari saya untuk pengobatan akupunktur.
Seperti
biasa saya mengobati sakit kakinya, sebelum dia meninggalkan tempat praktek
saya, dia dengan sopan berkata, "Setelah satu minggu, jika kaki saya tidak
sakit lagi, saya akan mengirim ongkos pengobatan ini."
Saya
mengangguk setuju, asisten saya memberi komentar, "Di sini bukan barang,
yang bisa dicoba dulu, kalau bagus baru dibayar, kalau jelek diretur."
"Pengacara
kali pertama membantu kliennya gratis." Dia membalas dengan sopan dan
dingin.
Setelah
hari itu tidak ada kabar mengenai telapak kaki lagi.
Setelah
satu setengah tahun, Jack datang lagi ke tempat praktek saya, kali ini dengan
keluhan diare. Semacam penyakit usus yang tidak dapat sembuh tapi tidak
berbahaya. Dia tidak kuasa menahan semenitpun. Seperti yang lalu dia juga sudah
ke dokter tapi tetap tidak sembuh, maka dia putuskan untuk datang lagi ke
tempat praktek saya. Tapi kali ini berbeda dengan dulu, tidak lagi bernada
sombong dan curiga.
Karena
biaya ditanggung asuransi, maka dia sering datang ke klinik saya untuk berobat,
dan saya semakin memahaminya.
Suatu
ketika saya bertanya mengapa dia mencurigai setiap orang, dia bercerita tentang
masa kecilnya.
Sewaktu
kakeknya berimigrasi ke Amerika, tidak membawa apa-apa, hanya membawa tas
kecil. Memulai kehidupan dari nol hingga punya beberapa toko roti, melewati
masa-masa yang susah. Ayahnya juga mengalami hidup yang sama, maka harapan
satu-satunya adalah pada dirinya untuk mencari uang. Ayahnya mengajarinya tidak
boleh mengandalkan dan mempercayai setiap orang.
"Waktu
kecil saya bermain sepak bola, ayah sering menjegal saya. Yang paling parah
karena takut bertabrakan dengan ayah, saya memilih terjatuh. Saya terjatuh babak
belur, masih juga dimarahi oleh ayah, dia bilang saya lebih bodoh dari pada
babi," ceritanya.
"Yang
tidak bisa saya lupakan, ayah bisa menjatuhkan tangga waktu saya sedang susah
payah mendakinya, saat saya bertanya mengapa ayah melakukannya, beliau bilang
untuk melatih saya agar tidak mempercayai dan mengandalkan orang lain.
Tapi
ayahkan bukan orang lain, protes saya tidak mengerti. Jawab ayah termasuk juga
dirinya." Lanjutnya bercerita.
Sampai
di sini ceritanya membuat saya tercengang.
Saya
menghubungkan dengan penyakitnya, saya mengerti mengapa dia bisa menderita
penyakit usus yang bisa kambuh kapan saja dan susah diobati. Bila dia hidup
dalam ketakutan, tidak mempercayai semua orang, emosi labil dalam waktu yang
panjang, wajar jika menderita kram usus, mengikuti perubahan emosi lambat laun
menjadi diare yang tak kunjung sembuh.
Ingin
mengobati penyakit terlebih dahulu harus membuka hati dan hal ini tidak mungkin
menggunakan obat atau akupunktur.
Bagaimana
cara membuka hatinya? Cara apa yang
dapat benar-benar menyembuhkannya? Saya bertanya pada diri sendiri.
No comments:
Post a Comment