Pada akhir tahun 1980-an, seorang teman
sekolah saya yang menjabat sebagai sekretaris di sebuah pabrik besi di desa,
menceritakan kepada saya sebuah kisah tentang sumpah, dan cerita ini masih
jelas terbayang dalam benak saya hingga kini.
Berikut ceritanya:
Beberapa hari ke depan, pabrik besi akan
merayakan Festival Musim Gugur atau Hari Raya Pertengahan Musim Gugur.
Menjelang festival, semua karyawan diliburkan dan pulang ke rumah untuk
merayakan festival musim gugur, manajemen pabrik membelikan 2.5 Kg daging untuk
penjaga pabrik, sebagai bekal makanannya saat perayaan nanti.
Pada saat itu, tukang masak atau koki dan
penjaga pabrik berada di tempat. Tak lama kemudian, 2.5 Kg daging itu pun
tiba-tiba raib tak berbekas. Penjaga pabrik mengatakan, bahwa daging itu telah
diambil tukang masak, tapi tukang masak tidak mengakuinya, karena saling
melempar kesalahan atau tidak mengakui perbuatannya, akhirnya keduanya pun
berdebat sengit. Sementara orang-orang yang melihat pertengkaran itu juga
dibuat bingung, yang mengambil daging itu sebenarnya tukang masak atau penjaga
pabrik yang salah menuduh, semuanya diam dan tampak bingung. Untuk membuktikan
masing-masing tidak bersalah, akhirnya pada siang hari, keduanya pun bersumpah
dengan membakar dupa atau menyalakan hio di tengah halaman pabrik : sumpah
penjaga pabrik, “apabila memang saya yang keliru menyalahkan orang itu, biarlah
saya mati pada tanggal 15 Agustus (festival musim gugur dalam penanggalan
Tionghua),” sedangkan tukang masak pabrik bersumpah, “Jika saya yang mengambil
daging itu, biarlah saya mati bertepatan dengan perayaan pertengahan musim
gugur (15 Agustus).” Sementara orang-orang yang menyaksikan tingkah mereka
merasa lucu, tidak menanggapinya, lalu bubar sambil tersenyum geli.
Tepat pada hari perayaan pertengahan musim
gugur, koki atau tukang masak pabrik itu ternyata benar-benar meninggal,
sehingga orang-orang pun teringat kembali cerita ini, namun, setiap orang punya
dugaan atau pemikirannya masing-masing. Bagi mereka yang tidak percaya dengan
akibat sumpah yang diucapkan itu menganggap bahwa itu hanya kebetulan ;
sebaliknya bagi yang percaya meyakininya bahwa itu adalah akibat dari sumpah
yang diucapkan. Banyak terjadi peristiwa atau kisah nyata sebagaimana yang
dianggap “takhayul” oleh masyarakat pedesaan di masa lalu seperti ini, tapi
faktanya ternyata lebih banyak terbukti daripada kebetulan.
Dalam cerita klasik Tiongkok kuno, kisah-kisah
seperti ini banyak terjadi. Salah satu kisah nyata tentang sumpah yang
diucapkan oleh Qin Qiong dan Luo Cheng dalam cerita klasik “Heroes in Sui and
Tang Dynasties”, sangat menarik untuk direnungkan. Qin Qiong dan Luo Cheng
adalah saudara sepupu, Qin Qiong memiliki senjata dari logam (semacam pedang)
yang sangat hebat, sementara Luo Cheng punya senjata berupa tombak yang tak
terdingi kala itu. Mereka bersumpah akan saling mengajarkan keahlian
masing-masing. Luo bersumpah: Apabila tidak mengajarkan keahlian tombak
keluarga Luo pada Qin Qiong, saya rela mati dipanah ; sedangkan Qin Qiong
bersumpah : jika tidak mengajari keahlian pedang sepenuhnya pada Luo Cheng,
saya rela mati muntah darah. Ketika Luo Qiong mengajarkan keahlian tombaknya
kepada Qin Qiong, ia menyisakan satu keahlian tombak berkudanya ; sementara Qin
Qiong juga menyisakan satu keahlian pedang pembunuhnya ketika mengajari Luo
Cheng.
Belakangan, saat dalam pertempuran di medan
perang, Luo Cheng tewas ditembus panah, sementara dalam sequel “The Legend of
the General Who Never Was”, dikisahkan Qin Qiong yang tengah sakit parah
berusaha memperebutkan lencana sebagai panglima untuk memimpin pasukan
bertempur di medan perang, namun, dalam pertandingan mengangkat singa batu
(singa yang terbuat dari batu), tiba-tiba Qin Qiong muntah darah, tak lama
kemudian, ia pun meninggal.
Tragis, akhirnya mereka dimakan oleh sumpahnya
masing-masing. Itulah sekelumit kisah nyata akibat mengabaikan sumpah yang
telah diucapkan. Sementara dalam kisah “The Romance of the Three Kingdoms”
(Kisah Tiga Kerajaan), dikisahkan bahwa Liu Bei, Guan Yu (atau Dewa Guan Gong
dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa sekarang), dan Zhang Fei, mereka bertiga
berikrar sebagai sesama saudara, mereka bersumpah atau berikrar menghadap
langit (Sang Ilahi), semoga bisa mati bersama pada waktu yang sama meski tidak
lahir pada hari yang sama. Di samping memberi pesan akan makna “Persaudaran”,
dan meninggalnya tiga bersaudara secara berturut-turut ini niscaya juga
menyisakan perenungan yang mendalam bagi kita atas ikrar atau sumpah yang
diucapkan.
Masyarakat Tionghaa pada zaman dahulu, di mana
pada saat menikah harus lebih dulu menyembah langit dan Bumi, kemudian
menyembah orangtua (ayah-ibu), dan terakhir suami-isteri saling menyembah
(memberi hormat), adapun maksud dari menyembah langit dan Bumi adalah
menjadikan langit dan Bumi sebagai saksi dalam ikatan pernikahan kita, berikrar
atau bersumpah bertanggungjawab seumur hidup terhadap masing-masing pihak,
mengundang para dewa langit dan Bumi menjadi saksi, mengawasi perilaku kita,
jika melanggar, maka akan mendapatkan hukuman dari para dewa.
Dalam upacara pernikahan masyarakat Tionghoa
sekarang, tidak lagi menyembah langit dan Bumi yang dianggapnya sebagai
takhayul, kisah pernikahan dengan menyembah langit dan Bumi dalam upacara
pernikahan kuno sekarang hanya bisa kita saksikan dalam film-film klasik
Tiongkok. Masyarakat Tionghoa generasi muda sekarang sudah tidak tahu lagi
dengan upacara atau tata cara pernikahan zaman dahulu, dan meskipun tahu, juga
jarang berikrar / bersumpah, ikrar atau sumpah di mata mereka tidak lebih dari
takhayul yang konyol, apalagi menjadikan sumpah itu sebagai sesuatu sakral, di
mata mereka, akibat dari sumpah itu hanya angin lalu.
Meskipun terkadang hanya bersumpah seadanya, untuk menegaskan atau
sebagai bukti dirinya tidak bersalah, sehingga tidak pernah menganggap sumpah
itu sebagai sesuatu yang serius. Adapun mengenai apa yang akan terjadi di
kemudian hari, mereka juga tidak pernah merenungkan apa kejadian itu ada
hubungannya dengan sumpah yang pernah diucapkan sebelumnya. Sebaiknya jangan
sembarangan bersumpah, meski hanya sekadarnya, karena siapa tahu sesuatu itu
akan dimakan oleh sumpahnya sendiri, sekarang atau nanti, entahlah tak seorang
pun yang tahu.
No comments:
Post a Comment