Oleh: Hasanudin
Abdurakhman
Perempuan sering dianggap makhluk lemah. Perempuan sering
bersimpuh tak berdaya di hadapan kezaliman, atau tekanan sosial. Atau terhadap
keadaan yang tak bersabahat. Apalah dayaku, karena aku hanya seorang perempuan.
Emakku
hanya perempuan biasa. Ia bahkan tak pernah sekolah, karena di kampungnya dulu
memang tak ada sekolah. Andai pun ada, Emak mungkin tak akan dapat kesempatan
memasukinya. Karena ia hanya seorang perempuan. Perempuan tak perlu sekolah,
tak perlu belajar. Ketika ada kesempatan belajar kajian sederhana, ayahnya
melarangnya ikut serta.
Namun
Emak tak menyerah pada kemiskinan yang membelitnya. Juga tidak pada ketiadaan
yang ia hadapi. Meski tak pernah sekolah, cakrawalanya terbentang jauh
melampaui pulau kecil tempat kampungnya berada. Ia punya cukup kesadaran bahwa
pendidikan adalah jalan untuk memastikan masa depan yang lebih baik bagi
anak-anaknya.
Hijrah
adalah langkah pertama yang diambil Emak. Ia ajak suaminya, seorang buruh tani,
untuk pindah kampung, ke tempat di mana mereka berdua bisa punya tanah. “Tanah
adalah modal dasar hidup kita,” katanya.
Saat
memegang kapak untuk merimba, menebang pohon, membuka lahan untuk dijadikan
ladang, Emak sama perkasanya dengan lelaki manapun di dunia ini. Ayunan
kapaknya berdesing saat melewati udara, menghujam dalam, melukai pohon perkasa.
Batang
demi batang pohon bertumbangan, tunduk di bawah kakinya. Di kaki itulah lalu
terbentang ladang garapan pemberi harapan. Di situlah berkembang padi, lalu
kelapa yang menjadi penopang nafkah keluarga.
Kusaksikan
sendiri ayunan parang Emak saat kami bersama menebas rumput-rumput yang
menyelimuti kebun kelapa. Kupandangi pula ayunan cangkul dan penggalinya, saat
ia menggali parit selokan di tengah kebun. Kunikmati pula belai tangannya saat
ia menidurkanku.
Telapak
tangan Emak bukanlah telapak tangan halus dengan jemari lentik. Telapak tangan
itu kasar, tapi kokoh menjanjikan perlindungan bagi masa depan kami.
Emak
berwatak keras. Ayahnya melarangnya belajar. Ia diam ketika itu. Tapi ia
menyimpan dendam. “Tak ada yang boleh melarang kalau kelak anakku hendak
kusekolahkan,” tekadnya.
Bahkan
ketiadaan sekolah di kampung kami pun tak menghalanginya. Ia rela mendayung
sampan 3 hari, pergi ke kampung pamannya, menitipkan anaknya sekolah di sana.
Emak
adalah penggerak. Melalui suaminya ia membuat orang-orang kampung bergerak,
membangun sekolah. Ia adalah pelopor, ia yang pertama mengirim anak-anaknya
sekolah ke kota.
Bertani
saja tak cukup untuk menjamin anak-anaknya bisa sekolah. Emak kemudian
berdagang. Ia membeli baju dan kain dari kota, kemudian menjajakannya
berkeliling kampung. Ia juga merias pengantin. Segala sesuatu yang bisa
dijadikan sumber pendapatan, akan dikerjakannya.
Di
hari tuanya Emak bukan orang kaya raya. Tapi pasti, ia tak lagi fakir.
Anak-anaknya mendapat pendidikan, kemudian hidup layak. Emak menikmati hari
tuanya dengan sederhana.
Emakku
bukan Kartini. Ia tak menulis untuk menginspirasi banyak orang. Ia hanya
berbuat, membuktikan bahwa perempuan tak selalu lemah dan menyerah. Ia
menunjukkan dengan perbuatan, bahwa kemiskinan bisa dilawan.
Emak
bukanlah tokoh bangsawan, ia pun bukan petinggi di tengah masyarakat. Tapi ia
telah menunjukkan hal yang paling substansial dalam soal kepemimpinan. Yaitu
bahwa kepemimpinan itu adalah memberi pengaruh pada orang, untuk membuat
perubahan.
Entah
ada berapa juta perempuan seperti Emak di negeri kita. Emak-emak perkasa, yang
membebaskan anak-anaknya, menjadi tak lagi papa dan sengsara. Di tangan mereka
nasib kita, nasib bangsa ini diubah.
Baca
juga: Emakku
Bukan Kartini
Catatan: cerita perjuangan Emak penulis ini
dituangkan dalam buku yang bisa dibeli di Gramedia lewat tautan ini.
SUMBER :
No comments:
Post a Comment