Ada orang yang memasang iklan separuh halaman
di surat kabar, tetapi dalam iklan itu hanya ditulis dengan beberapa huruf
kecil yang berbunyi, “Lihat iklan yang dimuat besok di sini.”
Selain beberapa huruf, semua bagian putih
kosong, terlihat kontras jika dibandingkan dengan isi halaman yang padat di luar
iklan itu. Jelas sekali orang yang membuat iklan tersebut pernah belajar ilmu
komunikasi, mengerti bagaimana menggunakan perbandingan kontras antara hitam
dan putih untuk menarik perhatian pembaca.
Dahulu saya pernah melihat peperangan di
perbatasan antara RRT dan Uni Soviet yang disebut “peristiwa Pulau Chen Bao”.
Jika dilihat dari perlengkapan persenjataan pada saat itu, pihak Partai Komunis
Tiongkok tidak akan bisa melawan Uni Soviet. Tetapi pimpinan pasukan PKT
memanfaatkan kondisi cuaca dan medan, memerintahkan pasukannya agar mengenakan
pakaian serba putih, melebur dalam medan yang tertutup salju.
Pasukan Uni Soviet yang masuk ke arena itu
dengan terang-terangan (karena sombong) terjebak dalam siasat PKT yang disebut
siasat perang kantong. Akhirnya pasukan Uni Soviet mengalami kekalahan telak.
Seragam putih para prajurit menyatu dengan warna salju, sehingga musuh tidak
menyadari di sana ada perangkap.
Teori perbandingan itu kerap kali kita
dapatkan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya bunyi lonceng sangat keras pada
tengah malam. Hal ini disebabkan karena suasananya sunyi dan sepi. Saat keadaan
hening, jika ada sebuah jarum kecil jatuh ke lantai, bisa terdengar suara
gemerincingnya. Satu titik merah di tengah-tengah kumpulan berwarna hijau, maka
titik merah itu akan tampak sangat jelas.
Seekor bangau putih berada di tengah-tengah
sekumpulan ayam, maka bangau itu akan tampak sangat menonjol. Bila ada seorang
perempuan berambut pirang berada di antara sekumpulan perempuan berambut hitam,
dengan sendirinya perempuan berambut pirang itu akan menjadi pusat perhatian
semua orang.
Kadang kala jika memikirkan rancangan cermat
Sang Pencipta: jika tidak ada malam hari yang membuat manusia sulit melangkah
atau timbul rasa takut, maka cahaya terang di pagi hari juga tidak ada anehnya!
Jika dunia ini sama sekali tidak ada kejahatan, maka perbuatan kebaikan juga
tidak akan disanjung selamanya. Sama seperti, jika tidak ada perbandingan
antara pemerintahan diktator yang mengekang kehidupan serta pemikiran rakyatnya,
maka demokrasi dan kebebasan juga tidak akan tampak begitu berharga.
Orang arif mengatakan, menjadi seorang
kultivator, harus bisa melakukan “dipukul tidak membalas, dicaci juga tidak
membalas”. Jika Anda berbuat sama seperti orang biasa, melakukan pembalasan
setimpal, dia memukul Anda satu kali, Anda menendang dia satu kali, bukankah
Anda sama seperti orang biasa? Bagaimana bisa menampakkan bahwa Anda seorang
kultivator ?
Jika demikian halnya, maka kejahatan dan
kegelapan itu ternyata bukan sama sekali tidak ada gunanya. Setidaknya
kejahatan dan kegelapan itu bukankah telah menampakkan nilai berharga dari
suatu kebaikan dan seberkas cahaya? Jika perbuatan jahat makin besar, bukankah
akan lebih bisa memperbandingkan dengan kebaikan? Bila bisa memahami prinsip
ini, mungkin dalam menghadapi kehidupan kita akan mendapatkan pemikiran yang
lain.
Zaman sekarang ini ada banyak sekali artikel
yang mengajarkan orang, “Menghadap ke arah cahaya terang, mencampakkan
kegelapan ke belakang kepala.” Seseorang jika bisa meletakkan fokus
pandangannya pada sisi baik manusia, benda maupun peristiwa apapun juga, maka
orang tersebut di dalam kehidupannya akan terlepas dari banyak sekali
kerisauan, kesedihan dan penyesalan. Ini adalah prinsip yang mutlak benar.
Namun jika dalam kehidupan ini hanya untuk
bermaksud mencari kebahagiaan, kesenangan dan kepuasan diri sendiri, tidak mau
menghadapi kegelapan dan kejahatan, menolong makhluk hidup yang tersesat, maka
Sakyamuni (Sidharta Gautama) yang telah berkultivasi menjadi Buddha (Sang
Sadar) pada ratusan juta kalpa yang lalu, bukankah Ia akan bisa hidup leluasa
di nirvana tanpa harus memikirkan penyelamatan umat manusia?
Dalam agama Nasrani dikatakan bahwa Yesus
adalah anak tunggal Allah, betapa mulia Dia di dalam surga? Buat apa Dia harus
pusing-pusing datang ke dunia, memikul salib dan mengorbankan darah-Nya,
bukankah semua ini demi mengembala sekelompok domba-domba yang tersesat?
“Jika kita telah mandiri bantulah orang lain,
jika kita sudah sampai pada tempat tujuan bantulah orang lain.” Sejak zaman
dahulu orang arif bijaksana memberitahu kita dengan jelas:
Dalam kehidupan ini selain harus menjadikan
diri sendiri menjadi orang yang sukses, juga harus menolong makhluk hidup
secara universal. Para Buddha dan Dewa berbelas kasih terhadap kesesatan dan
kesengsaraan manusia di dunia ini, maka penyelamatan umat manusia, bukankah
untuk menunjukkan jalan pulang yang tepat kepada umat manusia?
Jika seseorang berbuat jahat di hadapan Anda,
maka Anda tak perlu bermusuhan dengannya, karena perbuatan jahat manusia itu
sebenarnya bersumber dari ketidak-tahuan. Manusia yang melakukan kejahatan itu
tidak mendapat kesempatan yang bagus, menerima pendidikan atau petunjuk dari
sang guru yang arif. Maka sebagai seorang yang berpengasuhan diri seharusnya
memberi simpati dan bisa memaafkan orang tersebut.
Sebelum Yesus dipaku dan wafat di atas salib,
Yesus menerima caci maki dari banyak orang, dia memikul sendiri salib itu dan
menerima siksaan yang paling bengis, kejam dan brutal. Namun menjelang ajal-Nya
Yesus masih berdoa memohon kepada Allah-nya: “Ampunilah mereka! Karena mereka
tidak tahu, semua perbuatan mereka itu adalah kesalahan.”
Di dalam Alkitab juga mencatat, ketika
masyarakat mengambil batu hendak ditimpukkan kepada seorang perempuan yang
berbuat zinah, Yesus berkata, “Siapakah diantara kalian semua yang tidak
berdosa, maka dia boleh menimpuk mati perempuan itu!”
Hal tersebut sudah memberitahu kita dengan
sangat jelas, ketika menghadapi kejahatan, bukan hanya tidak menjadikannya
musuh, juga harus mawas diri!
Orang bijak juga mengatakan, “Walaupun ada dua
orang yang saling mencaci, jika terlihat oleh Anda, maka Anda sendiri harus
berpikir, mengapa hal tersebut bisa diperlihatkan kepada kita?” Dua ribu tahun
yang lalu, orang suci pernah mengatakan, “Walaupun kita hanya melihat orang
atau hal yang tidak baik, juga harus mencari ke dalam diri sendiri, harus
memawas diri.”
Kesimpulannya, moralitas manusia merosot atau
meningkat, perbedaannya hanya terletak pada diri kita sendiri, apakah saat
menemui masalah kita selalu mencari keluar, mencari kesalahan orang lain dan
menuduh orang lain tidak benar, ataukah mencari ke dalam diri kita sendiri,
selalu mawas diri.
No comments:
Post a Comment