Mar 7, 2017

PERBANDINGAN HITAM DAN PUTIH

Ada orang yang memasang iklan separuh halaman di surat kabar, tetapi dalam iklan itu hanya ditulis dengan beberapa huruf kecil yang berbunyi, “Lihat iklan yang dimuat besok di sini.”

Selain beberapa huruf, semua bagian putih kosong, terlihat kontras jika dibandingkan dengan isi halaman yang padat di luar iklan itu. Jelas sekali orang yang membuat iklan tersebut pernah belajar ilmu komunikasi, mengerti bagaimana menggunakan perbandingan kontras antara hitam dan putih untuk menarik perhatian pembaca.

Dahulu saya pernah melihat peperangan di perbatasan antara RRT dan Uni Soviet yang disebut “peristiwa Pulau Chen Bao”. Jika dilihat dari perlengkapan persenjataan pada saat itu, pihak Partai Komunis Tiongkok tidak akan bisa melawan Uni Soviet. Tetapi pimpinan pasukan PKT memanfaatkan kondisi cuaca dan medan, memerintahkan pasukannya agar mengenakan pakaian serba putih, melebur dalam medan yang tertutup salju.

Pasukan Uni Soviet yang masuk ke arena itu dengan terang-terangan (karena sombong) terjebak dalam siasat PKT yang disebut siasat perang kantong. Akhirnya pasukan Uni Soviet mengalami kekalahan telak. Seragam putih para prajurit menyatu dengan warna salju, sehingga musuh tidak menyadari di sana ada perangkap.  

Teori perbandingan itu kerap kali kita dapatkan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya bunyi lonceng sangat keras pada tengah malam. Hal ini disebabkan karena suasananya sunyi dan sepi. Saat keadaan hening, jika ada sebuah jarum kecil jatuh ke lantai, bisa terdengar suara gemerincingnya. Satu titik merah di tengah-tengah kumpulan berwarna hijau, maka titik merah itu akan tampak sangat jelas.

Seekor bangau putih berada di tengah-tengah sekumpulan ayam, maka bangau itu akan tampak sangat menonjol. Bila ada seorang perempuan berambut pirang berada di antara sekumpulan perempuan berambut hitam, dengan sendirinya perempuan berambut pirang itu akan menjadi pusat perhatian semua orang.

Kadang kala jika memikirkan rancangan cermat Sang Pencipta: jika tidak ada malam hari yang membuat manusia sulit melangkah atau timbul rasa takut, maka cahaya terang di pagi hari juga tidak ada anehnya! Jika dunia ini sama sekali tidak ada kejahatan, maka perbuatan kebaikan juga tidak akan disanjung selamanya. Sama seperti, jika tidak ada perbandingan antara pemerintahan diktator yang mengekang kehidupan serta pemikiran rakyatnya, maka demokrasi dan kebebasan juga tidak akan tampak begitu berharga.

Orang arif mengatakan, menjadi seorang kultivator, harus bisa melakukan “dipukul tidak membalas, dicaci juga tidak membalas”. Jika Anda berbuat sama seperti orang biasa, melakukan pembalasan setimpal, dia memukul Anda satu kali, Anda menendang dia satu kali, bukankah Anda sama seperti orang biasa? Bagaimana bisa menampakkan bahwa Anda seorang kultivator ? 

Jika demikian halnya, maka kejahatan dan kegelapan itu ternyata bukan sama sekali tidak ada gunanya. Setidaknya kejahatan dan kegelapan itu bukankah telah menampakkan nilai berharga dari suatu kebaikan dan seberkas cahaya? Jika perbuatan jahat makin besar, bukankah akan lebih bisa memperbandingkan dengan kebaikan? Bila bisa memahami prinsip ini, mungkin dalam menghadapi kehidupan kita akan mendapatkan pemikiran yang lain.

Zaman sekarang ini ada banyak sekali artikel yang mengajarkan orang, “Menghadap ke arah cahaya terang, mencampakkan kegelapan ke belakang kepala.” Seseorang jika bisa meletakkan fokus pandangannya pada sisi baik manusia, benda maupun peristiwa apapun juga, maka orang tersebut di dalam kehidupannya akan terlepas dari banyak sekali kerisauan, kesedihan dan penyesalan. Ini adalah prinsip yang mutlak benar.

Namun jika dalam kehidupan ini hanya untuk bermaksud mencari kebahagiaan, kesenangan dan kepuasan diri sendiri, tidak mau menghadapi kegelapan dan kejahatan, menolong makhluk hidup yang tersesat, maka Sakyamuni (Sidharta Gautama) yang telah berkultivasi menjadi Buddha (Sang Sadar) pada ratusan juta kalpa yang lalu, bukankah Ia akan bisa hidup leluasa di nirvana tanpa harus memikirkan penyelamatan umat manusia?

Dalam agama Nasrani dikatakan bahwa Yesus adalah anak tunggal Allah, betapa mulia Dia di dalam surga? Buat apa Dia harus pusing-pusing datang ke dunia, memikul salib dan mengorbankan darah-Nya, bukankah semua ini demi mengembala sekelompok domba-domba yang tersesat?

“Jika kita telah mandiri bantulah orang lain, jika kita sudah sampai pada tempat tujuan bantulah orang lain.” Sejak zaman dahulu orang arif bijaksana memberitahu kita dengan jelas:

Dalam kehidupan ini selain harus menjadikan diri sendiri menjadi orang yang sukses, juga harus menolong makhluk hidup secara universal. Para Buddha dan Dewa berbelas kasih terhadap kesesatan dan kesengsaraan manusia di dunia ini, maka penyelamatan umat manusia, bukankah untuk menunjukkan jalan pulang yang tepat kepada umat manusia?

Jika seseorang berbuat jahat di hadapan Anda, maka Anda tak perlu bermusuhan dengannya, karena perbuatan jahat manusia itu sebenarnya bersumber dari ketidak-tahuan. Manusia yang melakukan kejahatan itu tidak mendapat kesempatan yang bagus, menerima pendidikan atau petunjuk dari sang guru yang arif. Maka sebagai seorang yang berpengasuhan diri seharusnya memberi simpati dan bisa memaafkan orang tersebut.

Sebelum Yesus dipaku dan wafat di atas salib, Yesus menerima caci maki dari banyak orang, dia memikul sendiri salib itu dan menerima siksaan yang paling bengis, kejam dan brutal. Namun menjelang ajal-Nya Yesus masih berdoa memohon kepada Allah-nya: “Ampunilah mereka! Karena mereka tidak tahu, semua perbuatan mereka itu adalah kesalahan.”

Di dalam Alkitab juga mencatat, ketika masyarakat mengambil batu hendak ditimpukkan kepada seorang perempuan yang berbuat zinah, Yesus berkata, “Siapakah diantara kalian semua yang tidak berdosa, maka dia boleh menimpuk mati perempuan itu!”

Hal tersebut sudah memberitahu kita dengan sangat jelas, ketika menghadapi kejahatan, bukan hanya tidak menjadikannya musuh, juga harus mawas diri!

Orang bijak juga mengatakan, “Walaupun ada dua orang yang saling mencaci, jika terlihat oleh Anda, maka Anda sendiri harus berpikir, mengapa hal tersebut bisa diperlihatkan kepada kita?” Dua ribu tahun yang lalu, orang suci pernah mengatakan, “Walaupun kita hanya melihat orang atau hal yang tidak baik, juga harus mencari ke dalam diri sendiri, harus memawas diri.”


Kesimpulannya, moralitas manusia merosot atau meningkat, perbedaannya hanya terletak pada diri kita sendiri, apakah saat menemui masalah kita selalu mencari keluar, mencari kesalahan orang lain dan menuduh orang lain tidak benar, ataukah mencari ke dalam diri kita sendiri, selalu mawas diri.

No comments:

Post a Comment

Bookmark and Share
Custom Search