Apa yang paling menyentuh nurani manusia selain dari rasa
cinta? Rasa keadilan! Bersikap adil itu berat. Berjuang menegakkan keadilan
mungkin lebih berat. Tokoh terkenal dari sejarah Tiongkok yang mempunyai
integritas sangat tinggi dalam menegakkan keadilan adalah Bao Zheng. Bao Zheng
adalah seorang hakim dan negarawan terkenal, kelahiran tahun 999 dan meninggal
1062. Dia menjadi terkenal karena kejujuran dan bersih (dari korupsi),
sampai-sampai dijuluki Bao Qingtian yang berarti Bao si langit biru.
Musuh-musuhnya menjulukinya Bao Heizi yang artinya si hitam Bao karena warna
kulitnya yang gelap. Keadilan tidak mengenal pangkat, jabatan, maupun
hubungan keluarga. Karena itu, Bao Zheng tak peduli dengan siapa pun yang
dihadapinya. Rekam jejaknya yang menunjukkan ketegasan dan keteguhan dalam
menegakkan keadilan diamati Raja Tiongkok kala itu, yakni Kaisar Song Renzong.
Begitu terpesonanya sang Kaisar dengan karakter Bao Zhen yang mulia itu,
membuatnya memberi wewenang besar kepada sang hakim itu. Wewenang itu adalah
kewenangan memutus secara final. Artinya, keputusan yang dibuat Bao Zheng tidak
perlu dikonsultasikan lagi kepada siapapun, baik kepada Kaisar, Penasihat Raja,
Keluarga Kerajaan, maupun kepada Guru Besar Liu Pang, yang notabene mertua
Kaisar. Dari Wikipedia berbahasa Indonesia, dapat dilihat sekeping
ceritanya berikut ini. Dia terkenal karena pendiriannya yang tak kenal
kompromi terhadap korupsi di antara pejabat pemerintahan saat itu. Dia
menegakkan keadilan bahkan menolak untuk tunduk pada kekuasaan yang lebih
tinggi darinya bila itu tidak benar termasuk pada Guru Besar Liu Pang, ayah
mertua kaisar yang merangkap guru besar yang membimbing putra mahkota sehingga
Liu Pang sangat menganggap Bao sebagai musuhnya. Sejarah mencatat bahwa
selama kurang lebih 30 tahun sejak dia memegang jabatan pertama kalinya,
sebanyak lebih dari 30 orang pejabat tinggi termasuk beberapa mentri telah
dipecat atau diturunkan pangkatnya olehnya atas tuduhan korupsi, kolusi,
melalaikan tugas, dan lain-lain. Dia sangat berpegang teguh pada pendiriannya
dan tidak akan menyerah selama dianggapnya sesuai kebenaran. Enam kali dia
melaporkan pada kaisar dan memintanya agar memecat pejabat tinggi, Zhang
Yaozhuo, paman dari selir kelas atas kerajaan, tujuh kali untuk memecat Wang
Kui, pejabat tinggi lain yang kepercayaan kaisar. Bahkan dia pernah beberapa
kali membujuk kaisar untuk memecat perdana mentri Song Yang. Dalam kapasitasnya
sebagai juru sensor kerajaan dia selalu sukses meyakinkan kaisar tanpa membawa
kesulitan bagi dirinya. Padahal dalam sejarah banyak juru sensor telah
mengalami nasib yang buruk, seperti misalnya Sima Qian, sejarawan dan filsuf
Dinasti Han yang dikebiri karena Kaisar Han Wudi tidak bisa menerima
pendapatnya. Salah satu cerita keputusan yang adil dari Bao Zheng adalah
ketika dia mengadili Pangeran Chen Shimei. Dia adalah sarjana yang cemerlang
yang dengan kecemerlangan otaknya dalam dunia akademik mampu mengawini seorang
putri bangsawan. Belakangan ketahuan bahwa sebenarnya dia telah punya istri dan
anak. Saat istri dan dua anaknya didatangkan Bao untuk dikonfrontir dengan Chen
Shimei, tentu saja sang suami membantah mentah-mentah. Yang tak bisa
dibohongi adalah kedua anaknya yang segera mengenali sang ayah. Tetap saja,
sang ayah tak mau mengakui. Dia mengatakan tak kenal pada kedua anak itu maupun
ibu mereka. Pertemuan keluarga itu hanyalah salah satu dari banyak cara yang
dilakukan oleh Bao Zheng untuk memastikan bahwa Chen Shimei telah berlaku tidak
jujur. Saat telah dipastikan ketidak-jujuran itu, Bao Zheng pun mantap
menghukum Chen Shimei. Ternyata, Permaisuri turut campur dalam proses itu. Dia
menghendaki kebebasanbagi Chen Shimei. Bao Zheng bukanlah Bao Zhen kalau takut
pada sang Permaisuri. Dengan kewenangan penuh yang dia miliki, dia pun
menghukum Chen Shimei. Cerita Chen Shimei itu adalah salah satu cerita
yang melegenda dari Hakim Bao Zheng. Cerita ini menjadi salah satu cerita yang
dibuat film serinya. Film-film tentang keputusan yang adil dari Bao Zheng juga
diambilkan dari banyak cerita atau legenda yang berada di sekitar Bao Zheng.
Film dia menjadi populer yang di Indonesia terkenal dengan nama Judge
Bao. Kita beralih ke cerita lain. Cerita seorang lelaki bernama Zhong Kim
Nam (dalam aksen lain, namanya ditulis Tjung Kim Nam). Cerita ini saya ambilkan
dari tulisan seorang Kompasianer bernama Reno Muhammad. Zhong Kim Nam
punya perusahaan dengan sejumlah karyawan. Suatu hari, dua supirnya yang sedang
bertugas tanpa sengaja mengotori para satpam PN Timah dengan debu yang
beterbangan karena mobil yang mereka kendarai. Para satpam itu marah sehingga
mereka pun menyetop dan memukuli karyawan Zhong Kim Nam. Sepulangnya
mereka dan ketika Zhong Kim Nam mengetahui cerita itu, iapun menelpon pimpinan
bagian keamanan PN Timah dan meminta pertanggung-jawaban anak buahnya. Bukannya
bertanggung-jawab, sang pimpinan bagian keamanan itu malah mengirim lagi
orang-orangnya ke tempat Zhong Kim Nam. Tetapi, anak buah Kim Nam telah siap
menerima mereka bahkan sekarang giliran mereka yang memukul mereka.
Satpam yang kalah jumlah itu pun kembali ke markas mereka. Tetapi mereka yang
berjumlah dua orang itu kembali dengan membawa senapan. Mereka pun
berteriak-teriak mencaci. Kim Nam yang pernah menyimpan pistol (saat itu
eranya sipil masih dimungkinkan menyimpan dan menggunakan senjata api) mencari
pistolnya. Ia pun teringat bahwa pistolnya dia pinjamkan kepada seorang jaksa
setempat. Tanpa senjata apa pun dia beranjak keluar rumah. Istri dan
anak-anaknya menahannya. Mereka tak ingin suami/ayah mereka cidera atau bahkan
tewas di tangan satpam PN Timah itu. Tetapi hati Kim Nam yang bergolak
terhadap kesewenangan satpam PN Timah itu tetap berkeras hati untuk keluar
rumah. Ia tak takut menyongsong risiko bahaya. Dadanya terasa penuh oleh rasa
protes akan ketidak-adilan yang ia hadapi. Dia bilang kepada keluarganya:
“Mending tertembak di depan rumah, itu lebih laki-laki.” Dia pun
melangkah keluar rumah—menghadapi dua orang satpam bersenjata api itu.
Keberaniannya menghadapi mereka menginspirasi anak buahnya untuk juga
melangkahkan kaki keluar dan bersama-sama menghadapi kedua orang satpam
tersebut. Keberanian mereka beramai-ramai menghadapi satpam bersenjata yang
hanya dua orang itu membuat kedua satpam itu memutuskan hengkang. Cerita
keberanian itu, keberanian membela anak buah yang dianiaya, menjadi inspirasi
bagi keempat anak Kim Nam. Kepada anak-anaknya dia bertutur: “Tiongkok adalah
tanah leluhur. Tetapi Indonesia adalah tanah air.” Ada aroma hormat kepada
negri leluhur, tetapi sekaligus cinta tanah air. Tidak ada kontradiksi dalam
kata-katanya itu; tidak juga pengkhianatan maupun loyalitas ganda. Semangat itu
tertanam dalam diri anak-anaknya—semangat cinta Tanah Air dan menegakkan
keadilan. Salah satu anaknya bernama Zhong Wan Xie. Wan Xie inilah yang
kemudian menjadi Bupati di Belitung Timur, kemudian menjadi Anggota DPR RI, dan
sekarang sebagai Wakil Gubernur DKI. Namanya telah lama berganti menjadi Basuki
Tjahaja Purnama yang populer dengan nama panggilan Ahok. Salah satu
cerita keberanian Ahok adalah ketika sebagai Anggota DPR RI Komisi II, dia
berani mempertanyakan KPU dan Bawaslu mengapa tidak berupaya mencari terobosan
dalam penyelenggaran Pemilu yang adil. Silakan simak kata-katanya berikut
ini: “Pemerintah habis uang banyak [untuk pasang iklan ajakan partisipasi
Pemilu]. Saya katakan Pemerintah tidak substantif... Yang kita tidak mau
itu kan kalau koruptor itu yang jadi kembali. Yang kita tidak mau
pencuri-pencuri uang ini, bos-bos gelap ini yang tidak bayar pajak, yang
membiayai orang, ini yang menjadi kepala daerah. Dan KPU/ Bawaslu tidak bisa
mencegah ini. Maksud saya harus bikin terobosan. Di dalam alam demokrasi,
yang buruk dan yang baik punya peluang yang sama untuk terpilih. Nah itu tugas
bapak-bapak dan ibu-ibu di sini, bagaimana yang buruk-buruk ini jangan terpilih
karena lapangan permainannya tidak rata. Tugas bapak adalah meratakan lapangan.
Saya selalu bermimpi, para aktivis idealis ini pada tahun 2014 bisa masuk ke
politik ini tanpa dicurangi. Misalnya DPT. Saya tidak mengerti kenapa KPU tidak
membuat satu terobosan. Bapak[-bapak] selama 5 tahun kan mengecek DPT yang
diperbaiki, diperbarui itu. Kenapa tidak buat suatu sistem... Dengan
sistem bapak sekarang, bapak melanggar hak asasi manusia. Bapak memasang iklan
dengan biaya begitu besar supaya masyarakat ikut partisipasi memilih. Tapi
orang yang begitu rajin sampai ke TPS dan gara-gara di DPT tidak ada namanya,
bapak hilangkan hak pilihnya. Apalagi kalau KPUDnya oknumnya juga main. Seperti
yang [dulu] saya alami, DPT itu kosong. Siapa yang datang baru diisi tangan.
Bapak[-bapak] boleh cek. Pemilihan Gubernur Bangka-Belitu dulu itu hampir semua
diisi tangan. Jadi sangat, sangat keterlaluan. Jadi, bapak-bapak membuat
lapangan permainan tidak rata, dan yang buruk yang terpilih pak. Itu dari sisi
pendaftaran DPT. Itu saya mau tanya, kenapa KPU tidak ada terobosan seperti
itu? Yang kedua... [Tahun] 2009 kemarin saya tahu persis ada sesuatu yang
aneh. Satu kecamatan di Kabupaten Belitung dari jam 2 dihitung sampai jam
5[sore] satu kecamatan saya sudah dapat 8.000 suara. Begitu direkap, suaranya
tinggal 6.000 seluruh Kabupaten. Lalu seluruh pulau Bangka, 5 kabupaten/kota,
waktu bapak[-bapak] masih bikin rekap di Borobudur, saya nilainya sudah 17.000,
lawan saya baru 3.000, 2.000. Begitu selesai rekap saya 17.000 dia
35.000. Lalu bagaimana pak saya bisa duduk di sini [di Gedung DPR sbg
Anggota DPR]? Karena Belitung Timur membuat film dokumenter saya dari
perusahaan film. Dia filmin semua... [Mungkin karena itu] Oknum sana ga berani
main. Menanglah saya, 44%. Duduklah saya di DPR. Pertanyaan saya, kenapa
Bawaslu tidak mau foto? Saya buktikan kemarin Pemilukada di Bel-Tim, saya
turunkan kamera digital... saya shoot semua. Itu masih ada oknum mau main. Di
dalam lembaran kertas itu dia tidak mau tulis lokasi TPSnya, kosong. Itu kan
pelanggaran. Karena saya Komisi II saya bisa bilang ini pelanggaran... Karena
[upaya saya] itu angkanya tidak berubah. Adik saya dapat 42,67%. Maksud saya,
apakah KPU dan Bawaslu tidak mengerti urusan yg begitu mudah. Tidak bisa
Saudara lakukan. Ini untuk mencegah maling-maling yang jadi pejabat. Supaya
aktivis idealis ini bisa bertanding. Kalau tidak, kita bisa frustrasi semua.
” Nurani keadilan mendorong Ahok terus berupaya mengambil
tindakan-tindakan yang adil. Itu terlihat dari sepak terjangnya dalam memimpin
DKI sebagai orang nomor dua. Mungkin saja dia menjadi orang nomor satu di DKI.
Dan kalau ini terjadi, semoga saja dia terus mampu mengambil tindakan-tindakan
yang adil—seberani ayahnya dan seadil Judge Bao—hingga akhir periode
kepemimpinannya nanti.
--Hendri Ma’ruf—
No comments:
Post a Comment