May 14, 2017

Nasib BAIK & BURUK

Bagi yang pernah diramal nasibnya mestinya bisa merasakan ada sejumlah kecocokan. Apabila Anda seorang otodidak yang memang berminat tinggi tentu mendapati: benar-benar tepat! Bagi saya pribadi yang saat ini sudah melepas sama sekali penelitian terhadap bidang "ilmu pengetahuan" tersebut, justru bukan karena "penghitungan yang tidak tepat", melainkan karena disebabkan "telah menghitung dengan akurat". Di sini secara bertahap akan saya jabarkan mengenai titik kebutaan logika pemikiran yang sering dijumpai dalam proses kehidupan seseorang.
Pertanyaan pertama: nasib anak saya baik atau tidak?
Jawab: Pada masa awal praktek peramalan nasib, dalam menghadapi pertanyaan umum ini sulit sekali menangkalnya, karena diperlukan waktu yang cukup banyak untuk menganalisa, antara lain faktor: istri, harta, anak dan rejeki; kemuliaan, kekuasaan dan kepangkatan; kesehatan, musibah dan lain-lain, benar-benar melelahkan!
Yang mengherankan ialah, hampir tidak ada seorang pun merasa puas dengan "nasib" sendiri. Setelah dipikir-pikir akhirnya menemukan, ternyata definisi setiap orang tentang nasib baik adalah tidak sama, yang dikejar oleh setiap orang juga tidak sama, maka apakah nasib baik itu? Apakah nasib buruk itu?
Dapat dijelaskan titik krusial ini maka persoalannya menjadi lebih mudah: yang sesuai dengan harapan adalah bernasib baik, sebaliknya yang bertolak belakang jauh dengan harapan semakin dirasakan bernasib buruk. Oleh karena itu saya selalu balik bertanya: perkembangan kehidupan bagaimanakah yang Anda kehendaki?
Apakah yang ingin Anda dapatkan? Setelah itu sesuai dengan kebutuhan, baru dilihat sebetulnya adakah hal tersebut di dalam nasibnya itu, dengan demikian beban saya baru menjadi jauh lebih ringan. 
Di sini terdapat sebuah permasalahan serius: "nasib" yang bagaimanakah baru terhitung baik? Saya pernah bertanya kepada pasangan yang baru memiliki anak: "Andaikata anak Anda selama hidupnya kaya dan mulia, seumur hidupnya selalu tersedia mobil yang menggantikan langkah kakinya dan ia tak perlu lagi berjalan sendiri, coba katakan baikkah itu?"
Sepasang suami istri tersebut menjawab berbarengan: "Sangat bagus!" Lalu saya melanjutkan lagi: "Tetapi ia terkena polio anak, seumur hidupnya bakal di atas kursi roda terus." Kemudian saya bertanya lagi: "Anak Anda selain kaya, penuh kemuliaan juga sehat, hanya saja kalian harus membesarkannya dengan penuh derita, bagaimanakah pendapat Anda?" Setelah berpikir sebentar suami isteri tersebut berkata: "Mestinya boleh juga!" Kemudian saya berkata: "Dalam semua bidang sesudah ia sukses tidak akan berkaitan dengan kalian".
Saya bertanya lagi: "Disamping kaya juga mulia dan sehat, selain itu semenjak kecil sudah berbakti, bagaimana?" pasangan tersebut dengan menundukkan kepala berunding sejenak: "Baik sih baik, tetapi..."
Tidak menunggu ia selesai berujar, saya menjawab: "Ia meninggal karena kecelakaan pada usia 45 tahun." Kedua orang tersebut terdiam lama baru berkata: "Kami tidak ingin lagi meramal nasib, saya hanya berharap ia bisa sehat dan bergembira sudah cukup, tak ada hal lainnya". Saya berkata: "Kalian masih saja berharap, kalian sendiri masih bingung!"
Banyak orang mengira saya sedang mengarang cerita, dan khusus hendak mempersulit orang lain, sebetulnya bukalah koran atau lihat disekeliling Anda, pasti akan menemukan bahwa bukankah kehidupan itu demikian halnya?
Penderitaan manusia bukankah justru terletak pada tatkala seseorang sedang mengukuhi impian yang dirajutnya sendiri tapi tak mampu mewujudkannya! Setiap orang semestinya merenung sejenak sesungguhnya apa yang Anda harapkan di dalam kehidupan! 
Tema: Dimanakah gerangan sang penolong?
Ini adalah sebuah pertanyaan yang menarik:
1. Orang yang menanyakan permasalahan ini pasti telah menjumpai kesulitan atau dalam posisi terjepit, ia tak mampu lagi membebaskan dirinya, maka itu berharap ada orang yang bisa menolongnya.
2. Yang disebut dengan "sang penolong" sebetulnya orang yang bagaimana? Yaitu orang yang pada momentum ini yang membuat kita memperoleh manfaat dan keberuntungan, misalkan saja mengangkat kita ke jabatan yang sedang kosong atau memperoleh pekerjaan bagus, pas selagi kekurangan uang ada orang berinisiatif memberi pinjaman, ketika mengalami kesulitan mendadak, pas ada orang yang datang membantu. Barangkali seperti itulah "sang penolong" di dalam benak sebagian besar orang.    
Sampai di sini, saya hendak mengajukan sebuah pertanyaan serius: "Kalau begitu siapakah sang musuh?"
Ada yang lantas bertanya: "Ada hubungan apakah hal ini dengan sang penolong?"
Saya berkata: "Kenapa Anda mencari sang penolong, oleh karena Anda telah terlebih dahulu berkenalan dengan ’orang jahat’ lantas mengalami kesulitan, bukankah begitu? Apabila tidak bisa membedakan kedua macam orang tersebut, wah kasihan betul. Bisa saja lantas menganggap orang baik sebagai orang jahat, menganggap orang brengsek sebagai sang penolong. Apa yang dikatakan: ’Salah menaiki perahu penjahat - memasukkan serigala ke dalam rumah’, bukankah terdapat orang brengsek yang menyamar sebagai sang penolong? Bukankah orang tersebut pada saat itu menganggap telah menemui sang penolong, oleh karena itu bisa membedakan kedua macam orang tersebut bukankah sangat penting?"
Ini adalah bidang permukaan lapis pertama. Sebagai contoh:
"Seorang murid SD yang miskin, telah dipandang rendah oleh wali kelasnya, suatu hari ia berselisih dengan teman sekelas, si wali kelas lebih condong ke murid yang lebih kaya dan menempeleng anak miskin itu, ditambah lagi di dalam perkataannya juga mengejeknya dari keluarga miskin." Menurut Anda, bagi kedua murid tadi, si wali kelas adalah sang penolong ataukah sang musuh?
Apabila bagi si anak miskin tersebut yang sejak saat itu bertekad suatu hari kelak  ’memiliki kebanggaan  dan martabat’, selain itu ia bersumpah sama sekali tidak akan "membela orang yang salah" dan setiap persoalan dihadapi dengan adil serta mau membantu anak kaum miskin. Apabila bagi si anak orang kaya tersebut karena telah memahami bahwa asalkan berduit maka apapun tak perlu ditakuti dan setiap persoalan bisa diatur lewat ’jalan belakang’,  serta suka merampas yang bukan haknya.
Ada orang yang terkena tamparan dan sebuah perkataan pedas justru malah dengan rajin belajar terus dari hikmah, tapi ada juga yang semakin menyalahkan diri sendiri dan mengalami stres. Ada orang yang karena pujian baru muncul kepercayaan diri, juga ada yang malah timbul kesombongannya.
Oleh karena itu pada lapisan permukaan kedua, menurut Anda: "Apakah definisi sang penolong dan sang musuh, bisakah Anda membedakannya?"
Sebetulnya tak peduli pemikiran manusia seperti apa, semuanya adalah berlebihan, karena, manusia tidak mampu melihat tembus sebab-musabab dan akibat dari nasib. Realitanya, sang penolong dan sang musuh terlahir dari refleksi diri sendiri.
Sebuah "kasus" di dalam nasib kita, semuanya selalu terdapat "penyebab" yang ada di depan atau terjadi sebelumnya, sehingga menimbulkan suatu "akibat", akan tetapi yang paling penting ialah bagaimana melalui akibat ini untuk melahirkan sebuah "sebab" yang "bajik", itu barulah penting, jika tidak, tak akan ada habisnya selama generasi demi generasi.   
Apabila Anda mampu:

Membiarkan jiwa memperoleh pertumbuhan yang sejati, proaktif dan cemerlang, berarti Anda telah menemukan sesuatu yang baik (sang penolong). Apa saja yang membuat diri sendiri menjadi rakus akan kenyamanan dan kenikmatan, memperoleh sesuatu tanpa berkeringat, berkonsep ekstrem,  berkelakuan tercela,  itulah  tandanya Anda telah menemukan sesuatu yang buruk (sang musuh).

No comments:

Post a Comment

Bookmark and Share
Custom Search