Bagi yang pernah
diramal nasibnya mestinya bisa merasakan ada sejumlah kecocokan. Apabila Anda
seorang otodidak yang memang berminat tinggi tentu mendapati: benar-benar
tepat! Bagi saya pribadi yang saat ini sudah melepas sama sekali penelitian
terhadap bidang "ilmu pengetahuan" tersebut, justru bukan karena
"penghitungan yang tidak tepat", melainkan karena disebabkan
"telah menghitung dengan akurat". Di sini secara bertahap akan saya
jabarkan mengenai titik kebutaan logika pemikiran yang sering dijumpai dalam
proses kehidupan seseorang.
Pertanyaan pertama:
nasib anak saya baik atau tidak?
Jawab: Pada masa awal
praktek peramalan nasib, dalam menghadapi pertanyaan umum ini sulit sekali
menangkalnya, karena diperlukan waktu yang cukup banyak untuk menganalisa,
antara lain faktor: istri, harta, anak dan rejeki; kemuliaan, kekuasaan dan
kepangkatan; kesehatan, musibah dan lain-lain, benar-benar melelahkan!
Yang mengherankan
ialah, hampir tidak ada seorang pun merasa puas dengan "nasib"
sendiri. Setelah dipikir-pikir akhirnya menemukan, ternyata definisi setiap
orang tentang nasib baik adalah tidak sama, yang dikejar oleh setiap orang juga
tidak sama, maka apakah nasib baik itu? Apakah nasib buruk itu?
Dapat dijelaskan
titik krusial ini maka persoalannya menjadi lebih mudah: yang sesuai dengan
harapan adalah bernasib baik, sebaliknya yang bertolak belakang jauh dengan
harapan semakin dirasakan bernasib buruk. Oleh karena itu saya selalu balik
bertanya: perkembangan kehidupan bagaimanakah yang Anda kehendaki?
Apakah yang ingin
Anda dapatkan? Setelah itu sesuai dengan kebutuhan, baru dilihat sebetulnya
adakah hal tersebut di dalam nasibnya itu, dengan demikian beban saya baru
menjadi jauh lebih ringan.
Di sini terdapat
sebuah permasalahan serius: "nasib" yang bagaimanakah baru terhitung
baik? Saya pernah bertanya kepada pasangan yang baru memiliki anak:
"Andaikata anak Anda selama hidupnya kaya dan mulia, seumur hidupnya
selalu tersedia mobil yang menggantikan langkah kakinya dan ia tak perlu lagi
berjalan sendiri, coba katakan baikkah itu?"
Sepasang suami istri
tersebut menjawab berbarengan: "Sangat bagus!" Lalu saya melanjutkan
lagi: "Tetapi ia terkena polio anak, seumur hidupnya bakal di atas kursi
roda terus." Kemudian saya bertanya lagi: "Anak Anda selain kaya,
penuh kemuliaan juga sehat, hanya saja kalian harus membesarkannya dengan penuh
derita, bagaimanakah pendapat Anda?" Setelah berpikir sebentar suami
isteri tersebut berkata: "Mestinya boleh juga!" Kemudian saya
berkata: "Dalam semua bidang sesudah ia sukses tidak akan berkaitan dengan
kalian".
Saya bertanya lagi:
"Disamping kaya juga mulia dan sehat, selain itu semenjak kecil sudah
berbakti, bagaimana?" pasangan tersebut dengan menundukkan kepala
berunding sejenak: "Baik sih baik, tetapi..."
Tidak menunggu ia
selesai berujar, saya menjawab: "Ia meninggal karena kecelakaan pada usia
45 tahun." Kedua orang tersebut terdiam lama baru berkata: "Kami
tidak ingin lagi meramal nasib, saya hanya berharap ia bisa sehat dan
bergembira sudah cukup, tak ada hal lainnya". Saya berkata: "Kalian
masih saja berharap, kalian sendiri masih bingung!"
Banyak orang mengira
saya sedang mengarang cerita, dan khusus hendak mempersulit orang lain, sebetulnya
bukalah koran atau lihat disekeliling Anda, pasti akan menemukan bahwa bukankah
kehidupan itu demikian halnya?
Penderitaan manusia
bukankah justru terletak pada tatkala seseorang sedang mengukuhi impian yang
dirajutnya sendiri tapi tak mampu mewujudkannya! Setiap orang semestinya
merenung sejenak sesungguhnya apa yang Anda harapkan di dalam kehidupan!
Tema: Dimanakah
gerangan sang penolong?
Ini adalah sebuah
pertanyaan yang menarik:
1. Orang yang
menanyakan permasalahan ini pasti telah menjumpai kesulitan atau dalam posisi
terjepit, ia tak mampu lagi membebaskan dirinya, maka itu berharap ada orang
yang bisa menolongnya.
2. Yang disebut
dengan "sang penolong" sebetulnya orang yang bagaimana? Yaitu orang
yang pada momentum ini yang membuat kita memperoleh manfaat dan keberuntungan,
misalkan saja mengangkat kita ke jabatan yang sedang kosong atau memperoleh
pekerjaan bagus, pas selagi kekurangan uang ada orang berinisiatif memberi
pinjaman, ketika mengalami kesulitan mendadak, pas ada orang yang datang
membantu. Barangkali seperti itulah "sang penolong" di dalam benak
sebagian besar orang.
Sampai di sini, saya
hendak mengajukan sebuah pertanyaan serius: "Kalau begitu siapakah sang
musuh?"
Ada yang lantas
bertanya: "Ada hubungan apakah hal ini dengan sang penolong?"
Saya berkata:
"Kenapa Anda mencari sang penolong, oleh karena Anda telah terlebih dahulu
berkenalan dengan ’orang jahat’ lantas mengalami kesulitan, bukankah
begitu? Apabila tidak bisa membedakan kedua macam orang tersebut, wah kasihan betul.
Bisa saja lantas menganggap orang baik sebagai orang jahat, menganggap orang
brengsek sebagai sang penolong. Apa yang dikatakan: ’Salah menaiki perahu
penjahat - memasukkan serigala ke dalam rumah’, bukankah terdapat orang
brengsek yang menyamar sebagai sang penolong? Bukankah orang tersebut pada saat
itu menganggap telah menemui sang penolong, oleh karena itu bisa membedakan
kedua macam orang tersebut bukankah sangat penting?"
Ini adalah bidang
permukaan lapis pertama. Sebagai contoh:
"Seorang murid
SD yang miskin, telah dipandang rendah oleh wali kelasnya, suatu hari ia
berselisih dengan teman sekelas, si wali kelas lebih condong ke murid yang
lebih kaya dan menempeleng anak miskin itu, ditambah lagi di dalam perkataannya
juga mengejeknya dari keluarga miskin." Menurut Anda, bagi kedua murid
tadi, si wali kelas adalah sang penolong ataukah sang musuh?
Apabila bagi si anak
miskin tersebut yang sejak saat itu bertekad suatu hari
kelak ’memiliki kebanggaan dan martabat’, selain itu ia
bersumpah sama sekali tidak akan "membela orang yang salah" dan
setiap persoalan dihadapi dengan adil serta mau membantu anak kaum miskin.
Apabila bagi si anak orang kaya tersebut karena telah memahami bahwa asalkan
berduit maka apapun tak perlu ditakuti dan setiap persoalan bisa diatur
lewat ’jalan belakang’, serta suka merampas yang bukan haknya.
Ada orang yang
terkena tamparan dan sebuah perkataan pedas justru malah dengan rajin belajar
terus dari hikmah, tapi ada juga yang semakin menyalahkan diri sendiri dan
mengalami stres. Ada orang yang karena pujian baru muncul kepercayaan diri,
juga ada yang malah timbul kesombongannya.
Oleh karena itu pada
lapisan permukaan kedua, menurut Anda: "Apakah definisi sang penolong dan
sang musuh, bisakah Anda membedakannya?"
Sebetulnya tak peduli
pemikiran manusia seperti apa, semuanya adalah berlebihan, karena, manusia
tidak mampu melihat tembus sebab-musabab dan akibat dari nasib. Realitanya,
sang penolong dan sang musuh terlahir dari refleksi diri sendiri.
Sebuah
"kasus" di dalam nasib kita, semuanya selalu terdapat
"penyebab" yang ada di depan atau terjadi sebelumnya, sehingga
menimbulkan suatu "akibat", akan tetapi yang paling penting ialah
bagaimana melalui akibat ini untuk melahirkan sebuah "sebab" yang
"bajik", itu barulah penting, jika tidak, tak akan ada habisnya
selama generasi demi generasi.
Apabila Anda mampu:
Membiarkan jiwa
memperoleh pertumbuhan yang sejati, proaktif dan cemerlang, berarti Anda telah
menemukan sesuatu yang baik (sang penolong). Apa saja yang membuat diri sendiri
menjadi rakus akan kenyamanan dan kenikmatan, memperoleh sesuatu tanpa
berkeringat, berkonsep ekstrem, berkelakuan tercela, itulah
tandanya Anda telah menemukan sesuatu yang buruk (sang musuh).
No comments:
Post a Comment