Ada sebuah keberuntungan yang
dialami Tibet yang tidak
dialami Bali. Guru-guru Tibet
bila didengarkan ajarannya secara langsung, tentu saja indah menawan ajarannya.
Terutama bagi murid yang terlahir dengan aroma Tantra. Tapi begitu ajaran lisan
ini dirubah menjadi pesan-pesan tulisan oleh sejumlah sahabat editor dari
Barat, ajaran-ajaran Tantra dari Tibet menjadi jauh lebih indah
lagi.
Hanya sebagai contoh, dua buku Yongey Mingyur Rinpoche (Joy
of living dan Joyful wisdom) adalah kumpulan ceramah beliau di berbagai belahan
dunia. Namun begitu ditulis oleh Eric Swanson, ia menjadi serangkaian karya
yang tidak saja beraroma Tantra, namun juga dibahasakan dengan bahasa-bahasa
pengetahuan yang universal. Kendati Mingyur Rinpoche adalah salah satu generasi
baru guru Tibet, ia tidak saja fasih mengutip
maha guru Tibet seperti Lama
Padmasambhawa dan Gampopa, tetapi juga akrab dengan karya pakar neurosains
seperti Fransisco Varela serta fisikawan Fritjof Capra. Andaikan orang-orang
seperti Eric Swanson mau datang ke Bali, mendengarkan ajaran tetua Bali, bisa jadi lahir karya spiritual yang tidak kalah
indahnya.
Dalam kerangka berfikir yang biasa digunakan para sahabat dari
Barat, ajaran tetua Bali bisa disederhanakan
seperti ini. Titik berangkatnya adalah rwa bhineda, jalan setapak yang dilalui
bernama bhakti yoga, buah pencahariannya bernama Parama Shanti.
Awalnya
Agak sulit membayangkan ada perjalanan spiritual yang mendalam
bila pikiran masih dicengkram dan diguncangkan dualitas. Tuhan dimusuhkan
dengan setan, Buddha berkelahi dengan mara, yang suci menjadi lawan dari yang
kotor. Disebut sulit, karena semakin kencang dualitas mengguncang, semakin jauh
seseorang dari rumah spiritualnya. Meminjam seorang sahabat spiritual: “mind
tormented by partiality will never experience ultimate peace”. Batin mana pun
yang diguncang oleh dualitas, akan teramat sulit menemukan kedamaian maha
utama.
Bagi yang sudah menggali dalam ke dalam tahu, dualitas
diperlukan hanya di awal perjalanan. Ia seperti kendaraan. Tatkala melewati
jalan tol, memerlukan mobil. Saat menyeberangi danau diperlukan perahu. Ketika
mendaki tebing memerlukan tali. Akan tetapi sesampai di puncak gunung, seluruh
alat dan kendaraan mesti ditinggalkan di belakang. Hanya orang-orang kurang
waras saja yang menggendong mobil dan perahu ke puncak gunung.
Dalam perspektif ini, sesungguhnya tetua Bali
cerdas sekali (secara spiritual) ketika menemukan rwa bhineda sebagai awal
perjalanan. Dalam bahasa orang tua ke puteranya: “rwa bhinedane tampi!”.
Dualitas (baik-buruk, benar-salah, suci-kotor, dll) jangan lupa dipeluk,
diterima, disapa dengan senyuman.
Itu sebabnya, dalam meditasi dianjurkan untuk menyapa serta
tersenyum pada apa saja yang ditemukan dalam keseharian. Bahagia senyum, sedih
juga senyum. Kemudian mengenali bentuk-bentuk pikiran, perasaan secara
mendalam. Lebih mudah menemukan kesembuhan dan kedamaian bila dualitas disapa
sebagaimana kita menyapa seseorang di pesta. Ujung-ujungnya, dualitas berhenti
menjadi orang asing yang menakutkan, mulai berfungsi sebagai sahabat yang siap
menolong.
Jalan Setapak
Dengan bekal sahabat dekat (tidak lagi menjadi musuh yang
berdebat dan berkelahi) bernama rwa bhineda, maka langkah-langkah bakti dalam
keseharian menjadi ringan menawan. Ringan karena bakti tidak disertai beban
target bahwa setelah menjalankan bakti pasti jadi Bupati, jika tidak
melaksanakan bakti pasti sakit hati. Bakti adalah bakti, ia sudah indah hanya
dengan dilaksanakan. Disebut indah, karena bakti yang mengendarai rwa bhineda
bisa membuat semua arah indah.
Tetua Bali memang mengenal luan-teben (hulu-hilir). Tetapi
tanpa hilir, hulu tidak ada. Tanpa orang jahat, orang baik tidak kelihatan.
Tanpa orang kasar, orang sabar jadi hambar. Dengan sudut pandang seperti ini,
maka bakti jadi selalu indah, indah dan
indah. Sebagai hasilnya,
tidak perlu marah
berlebihan kepada orang yang mencuri pratima di Pura, tidak perlu benci
berlebihan kepada Pemangku genit yang memercikkan tirtha sambil mengintip susu
istri orang. Dan pada saat yang sama, tidak perlu memaksa kalau bakti harus
hening, harus tertib, harus diam.
Serupa alam, kalau saatnya petir menggelegar, maka ia akan
menggelegar. Bila waktunya langit biru memancarkan cahaya matahari sempurna,
maka terang benderanglah alam. Makanya, meditasi disebutkan sebagai undangan
untuk “istirahat” pada apa saja yang terjadi di saat ini. Pengertian istirahat
amatlah sederhana, tidak menggenggam hal-hal positif, tidak menendang hal-hal
negatif. Inilah bhakti yoga yang sesungguhnya. Tatkala batin bisa berbakti
kepada apa saja yang terjadi di saat ini.
Buahnya
Dengan bekal awal berupa rwa bhinedha, serta memperlakukan
apa saja sebagai bakti, maka mudah bagi krama Bali
untuk menyentuh (tidak sekadar mengucapkan) Parama Shanti. Kata shanti (damai)
yang diucapkan jutaan kali tidak lagi menjadi seperti sebuah lirik lagu blowing
in the wind (terbang percuma bersama angin), tetapi bergetar menyentuh
relung-relung batin ini.
Tatkala digetarkan oleh vibrasi damai kata shanti, awalnya
memang dipeluk keheningan (nyepi lan ngewindu), lama-lama ia melahirkan
kerinduan untuk menyayangi semua yang belum pernah mengalaminya (urip lan
nguripi). Ia semacam bisikan orang tua ke putera kesayangannya: “bawa
orang-orang pulang!”.
Namun sebagaimana cahaya matahari yang hanya bisa menyinari
mereka yang membuka jendela dan pintunya, cahaya-cahaya Parama Shanti hanya
bisa memasuki mereka yang sujud dan bakti kepada guru. Di Tantra disebut Guru
Yoga Guru Puja. Ada
memang orang yang ragu berlebihan kemudian mengkaji calon guru sebaik-baiknya.
Maklum, ini zaman yang penuh dengan kepalsuan. Namun, bagi mereka yang berkah
spiritualnya sudah berlimpah, berkali-kali guru sudah memperlihatkan diri
melalui mimpi, samadhi, atau malah sudah menampakkan diri secara nyata (skala)
dengan mengenakan tubuh manusia yang siap untuk diajak berdialog.
Di antara mereka yang disentuh guru, ada yang bertanya
polos: apa ciri murid yang sudah sampai di puncak gunung Parama Shanti, atau
sudah memakan buah Parama Shanti?. Kesembuhan adalah langkah permulaan.
Kedamaian adalah tangga berikutnya. Keheningan yang tidak terjelaskan, itulah
rumah sesungguhnya.
Ahli neorosains Fransisco Varela menemukan istilah the
biology of compassion. Kasih sayang ternyata menyembuhkan. Ini mirip dengan
hasil penelitian yang menyimpulkan, orang yang memiliki binatang peliharaan
yang disayangi di rumah, memiliki resiko terkena serangan jantung lebih kecil
dibandingkan dengan mereka yang tidak memilikinya. Dalam bahasa Daniel Goleman
dari Harvard, kasih sayang itu mendamaikan. Kedamaian ini kemudian membuat
kekebalan tubuh membaik, yang pada akhirnya membukakan pintu kesembuhan. Dokter
senior dari Universitas Yale bernama Bernie Siegel memberi judul karyanya
Peace, Love and Healing. Dalam karya ini terang sekali terlihat, kedamaian dan
cinta itu menyembuhkan.
Dengan modal kesembuhan ini, mudah sekali bagi pintu
kedamaian maha utama (Parama Shanti) terbuka. Kedamaian di jalan ini, bukanlah
musuhnya kekacauan. Kedamaian adalah kedamaian. Ia bukan musuhnya siapa-siapa.
Ia hanya butuh istirahat pada apa saja yang terjadi di saat ini. Indahnya,
setelah istirahat bukannya cuek, tidak peduli, tetapi melahirkan kerinduan
untuk selalu melaksanakan tugas-tugas pelayanan.