Showing posts with label PARAMA. Show all posts
Showing posts with label PARAMA. Show all posts

May 27, 2013

BUAHNYA PARAMA SHANTI



Ada sebuah keberuntungan yang dialami Tibet yang tidak dialami Bali. Guru-guru Tibet bila didengarkan ajarannya secara langsung, tentu saja indah menawan ajarannya. Terutama bagi murid yang terlahir dengan aroma Tantra. Tapi begitu ajaran lisan ini dirubah menjadi pesan-pesan tulisan oleh sejumlah sahabat editor dari Barat, ajaran-ajaran Tantra dari Tibet menjadi jauh lebih indah lagi.

Hanya sebagai contoh, dua buku Yongey Mingyur Rinpoche (Joy of living dan Joyful wisdom) adalah kumpulan ceramah beliau di berbagai belahan dunia. Namun begitu ditulis oleh Eric Swanson, ia menjadi serangkaian karya yang tidak saja beraroma Tantra, namun juga dibahasakan dengan bahasa-bahasa pengetahuan yang universal. Kendati Mingyur Rinpoche adalah salah satu generasi baru guru Tibet, ia tidak saja fasih mengutip  maha  guru Tibet seperti Lama Padmasambhawa dan Gampopa, tetapi juga akrab dengan karya pakar neurosains seperti Fransisco Varela serta fisikawan Fritjof Capra. Andaikan orang-orang seperti Eric Swanson mau datang ke Bali, mendengarkan ajaran tetua Bali, bisa jadi lahir karya spiritual yang tidak kalah indahnya.

Dalam kerangka berfikir yang biasa digunakan para sahabat dari Barat, ajaran tetua Bali bisa disederhanakan seperti ini. Titik berangkatnya adalah rwa bhineda, jalan setapak yang dilalui bernama bhakti yoga, buah pencahariannya bernama Parama Shanti.

Awalnya
Agak sulit membayangkan ada perjalanan spiritual yang mendalam bila pikiran masih dicengkram dan diguncangkan dualitas. Tuhan dimusuhkan dengan setan, Buddha berkelahi dengan mara, yang suci menjadi lawan dari yang kotor. Disebut sulit, karena semakin kencang dualitas mengguncang, semakin jauh seseorang dari rumah spiritualnya. Meminjam seorang sahabat spiritual: “mind tormented by partiality will never experience ultimate peace”. Batin mana pun yang diguncang oleh dualitas, akan teramat sulit menemukan kedamaian maha utama.

Bagi yang sudah menggali dalam ke dalam tahu, dualitas diperlukan hanya di awal perjalanan. Ia seperti kendaraan. Tatkala melewati jalan tol, memerlukan mobil. Saat menyeberangi danau diperlukan perahu. Ketika mendaki tebing memerlukan tali. Akan tetapi sesampai di puncak gunung, seluruh alat dan kendaraan mesti ditinggalkan di belakang. Hanya orang-orang kurang waras saja yang menggendong mobil dan perahu ke puncak gunung.

Dalam perspektif ini, sesungguhnya tetua Bali cerdas sekali (secara spiritual) ketika menemukan rwa bhineda sebagai awal perjalanan. Dalam bahasa orang tua ke puteranya: “rwa bhinedane tampi!”. Dualitas (baik-buruk, benar-salah, suci-kotor, dll) jangan lupa dipeluk, diterima, disapa dengan senyuman.

Itu sebabnya, dalam meditasi dianjurkan untuk menyapa serta tersenyum pada apa saja yang ditemukan dalam keseharian. Bahagia senyum, sedih juga senyum. Kemudian mengenali bentuk-bentuk pikiran, perasaan secara mendalam. Lebih mudah menemukan kesembuhan dan kedamaian bila dualitas disapa sebagaimana kita menyapa seseorang di pesta. Ujung-ujungnya, dualitas berhenti menjadi orang asing yang menakutkan, mulai berfungsi sebagai sahabat yang siap menolong.

Jalan Setapak
Dengan bekal sahabat dekat (tidak lagi menjadi musuh yang berdebat dan berkelahi) bernama rwa bhineda, maka langkah-langkah bakti dalam keseharian menjadi ringan menawan. Ringan karena bakti tidak disertai beban target bahwa setelah menjalankan bakti pasti jadi Bupati, jika tidak melaksanakan bakti pasti sakit hati. Bakti adalah bakti, ia sudah indah hanya dengan dilaksanakan. Disebut indah, karena bakti yang mengendarai rwa bhineda bisa membuat semua arah indah.

Tetua Bali memang mengenal luan-teben (hulu-hilir). Tetapi tanpa hilir, hulu tidak ada. Tanpa orang jahat, orang baik tidak kelihatan. Tanpa orang kasar, orang sabar jadi hambar. Dengan sudut pandang seperti ini, maka bakti jadi selalu indah, indah dan  indah.  Sebagai  hasilnya,   tidak   perlu  marah  berlebihan kepada orang yang mencuri pratima di Pura, tidak perlu benci berlebihan kepada Pemangku genit yang memercikkan tirtha sambil mengintip susu istri orang. Dan pada saat yang sama, tidak perlu memaksa kalau bakti harus hening, harus tertib, harus diam.

Serupa alam, kalau saatnya petir menggelegar, maka ia akan menggelegar. Bila waktunya langit biru memancarkan cahaya matahari sempurna, maka terang benderanglah alam. Makanya, meditasi disebutkan sebagai undangan untuk “istirahat” pada apa saja yang terjadi di saat ini. Pengertian istirahat amatlah sederhana, tidak menggenggam hal-hal positif, tidak menendang hal-hal negatif. Inilah bhakti yoga yang sesungguhnya. Tatkala batin bisa berbakti kepada apa saja yang terjadi di saat ini.

Buahnya
Dengan bekal awal berupa rwa bhinedha, serta memperlakukan apa saja sebagai bakti, maka mudah bagi krama Bali untuk menyentuh (tidak sekadar mengucapkan) Parama Shanti. Kata shanti (damai) yang diucapkan jutaan kali tidak lagi menjadi seperti sebuah lirik lagu blowing in the wind (terbang percuma bersama angin), tetapi bergetar menyentuh relung-relung batin ini.

Tatkala digetarkan oleh vibrasi damai kata shanti, awalnya memang dipeluk keheningan (nyepi lan ngewindu), lama-lama ia melahirkan kerinduan untuk menyayangi semua yang belum pernah mengalaminya (urip lan nguripi). Ia semacam bisikan orang tua ke putera kesayangannya: “bawa orang-orang pulang!”.

Namun sebagaimana cahaya matahari yang hanya bisa menyinari mereka yang membuka jendela dan pintunya, cahaya-cahaya Parama Shanti hanya bisa memasuki mereka yang sujud dan bakti kepada guru. Di Tantra disebut Guru Yoga Guru Puja. Ada memang orang yang ragu berlebihan kemudian mengkaji calon guru sebaik-baiknya. Maklum, ini zaman yang penuh dengan kepalsuan. Namun, bagi mereka yang berkah spiritualnya sudah berlimpah, berkali-kali guru sudah memperlihatkan diri melalui mimpi, samadhi, atau malah sudah menampakkan diri secara nyata (skala) dengan mengenakan tubuh manusia yang siap untuk diajak berdialog.

Di antara mereka yang disentuh guru, ada yang bertanya polos: apa ciri murid yang sudah sampai di puncak gunung Parama Shanti, atau sudah memakan buah Parama Shanti?. Kesembuhan adalah langkah permulaan. Kedamaian adalah tangga berikutnya. Keheningan yang tidak terjelaskan, itulah rumah sesungguhnya.

Ahli neorosains Fransisco Varela menemukan istilah the biology of compassion. Kasih sayang ternyata menyembuhkan. Ini mirip dengan hasil penelitian yang menyimpulkan, orang yang memiliki binatang peliharaan yang disayangi di rumah, memiliki resiko terkena serangan jantung lebih kecil dibandingkan dengan mereka yang tidak memilikinya. Dalam bahasa Daniel Goleman dari Harvard, kasih sayang itu mendamaikan. Kedamaian ini kemudian membuat kekebalan tubuh membaik, yang pada akhirnya membukakan pintu kesembuhan. Dokter senior dari Universitas Yale bernama Bernie Siegel memberi judul karyanya Peace, Love and Healing. Dalam karya ini terang sekali terlihat, kedamaian dan cinta itu menyembuhkan.

Dengan modal kesembuhan ini, mudah sekali bagi pintu kedamaian maha utama (Parama Shanti) terbuka. Kedamaian di jalan ini, bukanlah musuhnya kekacauan. Kedamaian adalah kedamaian. Ia bukan musuhnya siapa-siapa. Ia hanya butuh istirahat pada apa saja yang terjadi di saat ini. Indahnya, setelah istirahat bukannya cuek, tidak peduli, tetapi melahirkan kerinduan untuk selalu melaksanakan tugas-tugas pelayanan.

Bookmark and Share
Custom Search