Saya bukan ahli dalam memelihara bunga dan
tanaman, selain itu juga tidak memiliki waktu banyak untuk merawat. Oleh sebab
itu saya hanya membeli satu, dua vas bunga yang mudah dirawat seperti Lidah
Buaya dan Rumput Wangi sebagai penghias rumah agar nampak lebih hidup. Selain
itu saya juga ingin membiarkan anak saya terlibat dan belajar memahami tanaman.
Kedua tanaman yang saya beli itu tidak boleh
disiram terlalu banyak air, maka bila terkadang lalai, juga tidak akan menjadi
masalah.
Setelah anak saya masuk SD, tugas menyiram
tanaman saya serahkan padanya. Dia belajar dengan cepat, karena tidak lama
kemudian, dia sudah bisa mengamati keadaan tanah pada tanaman – apakah sudah
mengering, sehingga harus disiram lagi
ataukah masih basah tanahnya? Ia tidak perlu lagi menanyakan pada saya
kapan harus menyiramnya.
Suatu hari … di luar dugaan, tanpa menanyakan
ke saya, anak saya telah berinisiatif memakai sisa air minumannya yang dingin
untuk menyirami tanaman-tanaman itu. Tak pelak, saaat saya mengetahui daun
rumput wangi telah jadi menguning. Saya lalu menunjukkan hal ini pada anak saya
dan menjelaskan ini sebagai akibat dari air siraman yang ia pakai. Saya juga
menambahkan bahwa tanaman tidak sama seperti manusia yang harus minum air yang
sudah direbus. Bila kita menyiram tanaman dengan air matang, maka tanaman itu
malah akan mati karena kekurangan gizi. Sebab setelah air dididihkan, bukan
saja semua bakteri jadi mati, mineral dan gizi yang diperlukan tanaman itu juga
akan hilang.
“Oh, ternyata air yang berbeda punya efek
berbeda pada tanaman!,” anak saya sangat heran. “Tentu saja”, saya menjawabnya
sambil memegang kepalanya, “Air hujan adalah pupuk alami yang paling baik, dan
air ledeng tanpa disinari matahari bisa melukai bunga, itulah mengapa ibu
menaruh bejana itu agar terkena sinar matahari dan dapat kamu pergunakan. Masih
ada banyak hal 7 yang tidak kamu ketahui, jadi jangan merasa idemu itu bagus
lantas tidak perlu menanyakan kepada orang tua.” Dia mengangguk-anggukkan
kepala.
Suatu hari, saat melewati sebuah kios bunga,
pemilik kios sedang giat menawarkan “kacang 7 warna” kepada orang yang lalu
lalang di sana. Daunnya berbentuk seperti cabai. Dan diantara daunnya yang
berwarna hijau, rata tersebar buah-buah kecil sebesar kacang tanah yang
berwarna-warni : hijau, kuning, merah, ungu dan lainnya.
Satu buah, milai dari tumbuh hingga layu,
warnanya akan mengalami berbagai macam perubahan, sangat menarik sekali! Saya
pikir anak saya tentu akan senang memilikinya, maka saya membeli satu vas. Si
penjual masih menghadiahkan lagi satu vas kecil.
Sesampainya di rumah, saya katakana pada anak
saya, “Kamu sudah tahu bagaimana menyiram, maka mulai saat ini kamu adalah tuan
kecil bagi dua batang “kacang 7 warna” ini, nyawa mereka berada di tanganmu.
Jangan mengira mereka tidak bisa bicara lalu tidak merawatnya dengan baik.
Mereka sepenuhnya mengerti perlakuan dan perhatian kita. Bila kamu
memperhatikan , dan memuji mereka, maka mereka akan tumbuh dengan baik.”
Sejak awal anak saya sudah tahu bahwa tanaman
dapat menegrti musik, dia juga percaya tanaman itu mengerti kata-katanya.
Dengan jenaka ia berkata, “Jangan kawatir Bu! Saya pasti bisa menjaga mereka
dengan baik.”
Anak saya menyiramnya dengan teliti,
seringkali melapor dengan gembira, “Tumbuh lagi satu buah1” “Lihat, dia berubah
menjadi merah.” Atau “Lihat, betapa bagusnya saya menjaga mereka …”
Dalam sekejab, musim panas pun berlalu, musim
gugur mulai mendatang. “Kacang 7 warna” terlihat mulai kehilangan cahaya
remajanya yang indah. Daun hijau tua kasar berguguran, buah kecilnya pun tidak
banyak tersisa, terutama pada “Kacang 7 warna” yang kecil. Disela-sela ranting
dan daunnya seperti terselubung oleh debu.
Tadinya saya mengira ini semua memang gelagat
tanaman itu saat memasuki musim gugur, jadi saya biarkan saja. Kemudian anak
saya menemukan banyak ulat-ulat kecil pada tanaman “Kacang 7 warna” yang kecil.
Saat saya semprot dengan air, dau menjadi lebih segar, tetapi tidak lama
kemudian ulat-ulat itu datang lagi. Sungguh tak berdaya, mak tidak saya urus
lagi. Tak lama kemudian “Kacang 7 warna” kecil itu pun layu dan mati.
Melihat saya membuang tanaman yang mati itu ke
tong sampah, anak saya dengan sedih menyalahkan dirinya, “Belakangan ini, saya
tidak merawatmu seperti dulu, masih mengatakan bahwa kamu tidak sebagus tanaman
yang satunya …”
Saya juga merasa malu atas keteledoran ini,
hanya bisa menghibur anak saya untuk merawat lebih baik tanaman yang satunya
lagi.
Tak disangka, “Kacang 7 warna” yang besar juga
mulai dijangkiti ulat kecil, daun-daun yang banyak ulatnya mulai layu.
Sampai di sini saya baru merasa pasti bahwa
ulat-ulat itulah pembunuhnya. Maka saya pergi ke pasar bunga untuk mencari
informasi. Dengan mudah akhirnya sayadapatkan obat yang khusus menghilangkan
ulat jenis laba laba merah ini.
Setelah kembali ke rumah, saya aduk menurut
perbandingan takaran yang ada. Obat lalu saya semprotkan ke tanaman itu selama
beberapa hari, akhirnya penyakit ulat pada tanaman bisa teratasi. Di akhir
musim dingin, walau dahan dan daunnya sempat menjadi layu, tetapi tanaman itu
tetap bisa melewati musim dingin.
Saat musim semi datang, tanaman itu
menampakkan kembali cahaya kehidupan. Bunga-bunga putih kecil, sekuntum demi
sekuntum tumbuh diantara daun yang hijau. Satu demi satu buah-buah kecil tumbuh
susul menyususl, lalu berangsur tumbuh menjadi besar dan warnanya selalu silih
berganti. Di samping itu, di akarnya telah tumbuh tunas yang baru.
Anak saya dapat merasakan perubahan dari
“Kacang 7 warna”, ia telah mempelajari perubahan kehidupan pada setiap musim;
dengan wajar telah memupuk ketelitian hatinya dalam mengamati dan merawat.
Dengan bangga ia sering berkata, “kacang 7 warna” milikku …”
Dan saya sering berkata kepadanya, “Kamu
adalah “Kacang 7 warna”. Ibu adalah kacang kecil yang lucu!. Mendengar ini, dia
sangat gembira, raut wajahnya berseri-seri, dari dalam matanya terpancar rasa
terima kasih yang sangat dalam.
Suatu hari, dia berkata bahwa bunga di dalam
kelasnya juga terjangkit ulat jenis laba laba merah hingga bunga itu menjadi
layu. Tiada seorang pun yang tahu apa yang harus diperbuat. Ketika guru menanyakan
orang tua murid siapa yang bisa menyembuhkan bunga itu, dengan suka rela anak
saya lalu menyatakan kesediaannya.
Dia bertanya pada saya, pakah di rumah masih
ada obat yang bisa menyembuhkan penyakit laba-laba merah. Saya katakan bahwa
sudah habis terpakai. Melihat wajahnya yang penuh kekecewaan, saya tersenyum
dan berkata, “Ibu akan pergi membeli dan kamu nanti bisa membawakannya untuk
gurumu.”
Mendengar kata-kataku ini, matanya segera
bersinar, dalam posisi duduk sekujur tubuhnya juga menampakkan reaksi
kegembiraan , merasa yakin dan bangga akan usahanya. Akhirnya obat yang dia
bawa itu benar-benar telah menyembuhkan bunga yang ada di kelasnya itu.
Orang-orang sering mengatakan “Anak adalah
sekuntum bunga.” Maka biarkanlah ia juga bisa menjadi seorang tukang kebun
untuk sementara waktu. Bimbinglah ia agar bisa menjadi tukang kebun yang
berhasil. Seiring dengan ketekunanya, ia bukan saja akan menjadi tukang kebun
yang handal, tetapi yang lebih penting lagi hal
ini akan menambah pengetahuan dan wawasannya, terutama tentang hakekat
kehidupan, bahwa setiap kehidupan pasti akan mengalami perputaran hidup, mulai
dari lahir, tua, sakit dan mati. Hal ini akan menumbuhkan rasa kasihnya
terhadap setiap makhluk; juga dapat membuatnya memahami pentignnya melakukan
kewajiban dan tanggung jawab serta mempunyai rasa syukur dan terima kasih.
No comments:
Post a Comment