Wajahnya mengingatkan saya pada almarhum Bokir,
pelawak asal Betawi yang dulu kerap tampil di acara lenong yang disiarkan TVRI.
Begitu juga tubuhnya yang kurus. Mirip sekali. Dia selalu bekerja dalam diam.
Tidak banyak bicara dan tidak minta perhatian. Kadang saya dan rekan-rekan di
kantor lupa bahwa dia ada di antara kami.
Namanya Selamet Bagio. Tukang kebun di kantor Majalah
Rolling Stone. Di halaman belakang kantor terdapat halaman seluas tiga ribu
meter persegi. Ada
sebuah panggung besar yang berdiri kokoh di sudut halaman. Di sanalah sejumlah
musisi dan grup band pernah tampil. Antara lain God Bless, Efek Rumah Kaca,
Naif, Andy Rif dan kawan-kawan, Koes Plus, Nidji, Samson, Ahmad Dani, Glen
Fredly, Endah & Reza, dan masih banyak lagi.
Tapi bukan itu yang ingin saya ceritakan. Sebab kalau
Anda pernah datang ke acara-acara musik yang diselenggarakan di halaman
belakang kantor Rolling Stone, Anda akan merasakan sesuatu yang berbeda. Di
halaman itu penuh dengan berbagai tanaman dan pohon. Asri dan indah. Semua yang
pernah datang selalu memuji. Serasa di Bali.
Dari balik jendela ruang kerja di lantai dua, saya
bisa leluasa melihat Bagio bekerja. Dengan seragam abu-abunya yang khas, plus sepatu
boot karet, setiap pagi sampai sore Bagio terlihat sibuk. Entah mengapa,
melihat Bagio bekerja, semangat saya selalu bangkit. Energi positif yang dia
sebarkan sungguh sangat terasa.
Karena itu, seakan sebuah ritual, sebelum memulai
kerja saya selalu meluangkan waktu beberapa menit untuk mengamati Bagio yang
sedang bekerja. Pada awalnya saya selalu bertanya-tanya, siapa sebenarnya
laki-laki berusia sekitar 35 tahun ini? Mengapa dia selalu bersemangat dalam
bekerja? Bukankah dia “hanya” tukang kebun?
Mengamati Bagio bekerja dalam diam, membuat saya
teringat pada sebuah film. Saya lupa judulnya. Film itu berkisah tentang
seorang gadis yang bekerja di sebuah perusahaan raksasa. Tugasnya hanya
mengantar surat
dan dokumen-dokumen dari satu meja ke meja lain di kantor itu. Suasana kantor
hiruk pikuk. Tetapi tak seorang pun peduli atas kehadirannya. Apa pentingnya
peran seorang pengantar surat?
Dia antara ada dan tiada. Di tengah keramaian, dia kesepian.
Sampai pada suatu hari, seisi kantor panik. Surat dan
dokumen tidak terdistribusi. Semua orang hari itu pusing tujuh keliling.
Pekerjaan mereka jadi berantakan. Pada saat itu semua merasakan ada yang tidak
beres: sang gadis yang biasa bertugas mengantar surat-surat tidak masuk kantor.
Barulah saat itu semua menyadari betapa pentingnya peran gadis tersebut.
Tetapi, semua sudah terlambat. Sang gadis yang merasa kesepian karena “tidak
dianggap” di kantor itu, sudah bunuh diri karena depresi.
Berlebihan memang, menyamakan Bagio dengan gadis dalam
film tersebut. Tetapi film itu mengajarkan kepada saya bahwa setiap orang di
sebuah perusahaan punya peran penting. Tidak perduli sekecil apapun perannya.
Tidak perduli dia “hanya” office boy atau petugas cleaning service.
Semua punya peran penting.
Karena itu pula bukan karena saya takut Bagio bunuh
diri jika saya kerap menyempatkan diri mendatangi dan menyapa lelaki murah
senyum ini. Saya selalu tidak tahan untuk tidak mengucapkan terima kasih atas
karyanya yang indah. Tanpa dia, halaman belakang kantor Rolling Stone tidak akan
seindah sekarang.
Sangat terasa betapa Bagio begitu bergairah dan
antusias jika bercerita soal tanaman. Baru ditanya satu, dia sudah menjawab
seribu. Dari nada bicara dan matanya yang berbinar-binar, saya bisa segera
merasakan betapa Bagio bangga dan mencintai pekerjaannya. Karena itu, dari
percakapan dengan Bagio, sayalah yang selalu mendapatkan keuntungan.
Bercakap-cakap dengan Bagio selalu membuat semangat saya tumbuh lagi.
Tapi, bagaimana dengan pandangan istri dan keluarganya
pada profesi seorang tukang kebun? “Awalnya istri saya malu. Kami tinggal di
kompleks perumahan yang rata-rata para suami bekerja di kantoran,” ujar Bagio.
“Tapi, sekarang dia tidak malu lagi. Saya sudah menjelaskan kalau saya senang
dan bangga jadi tukang kebun,” dia menambahkan. Lalu bagaimana pandangan
anak-anak? “Anak saya satu, tapi sudah meninggal. Sampai sekarang saya belum
dikaruniai anak lagi.”
Gairahnya pada pekerjaan, sifatnya yang jujur dan
selalu berpandangan positif, membuat Bagio istimewa di mata saya. Apalagi dia
selalu tampil penuh percaya diri. Suatu hari, perusahaan mengadakan halal
bihalal di kantor. Seluruh karyawan berkumpul untuk makan siang bersama. Pada
saat itu, saya meminta Bagio “berpidato”. Tanpa canggung, di depan semua
karyawan, Bagio mulai berpidato. Isinya, menurut saya, luar biasa.
Dalam bahasa yang sederhana dia mengatakan mensyukuri
jalan hidupnya. Mensyukuri pekerjaan yang diberikan Tuhan kepadanya. Dia
mengakui bertapa dia mencintai pekerjaannya. Dia bahkan secara terbuka
mengatakan kalau manusia hidup hanya mengejar gaji, maka dia tidak akan pernah
puas. “Kalau tujuannya hanya mengejar gaji, tidak akan pernah cukup. Kita bisa
frustasi,” ujarnya disambut gelak tawa seisi kantor. Kata-kata Bagio seakan
menyindir kami semua. Termasuk saya.
Dalam perjalanan pekerjaan saya, saya sering merasa
tidak puas atas gaji yang diberikan perusahaan. Begitu juga dalam perjalanan
karir. Saya sering merasa “tidak ada apa-apanya” ketika membaca kisah sukses
tokoh-tokoh dunia maupun tokoh-tokoh Indonesia. Saya kadang iri melihat
anak-anak muda yang sukses dalam jabatan, pekerjaan, dan kekayaan. Mereka
sukses dalam usia yang begitu belia. Hari itu pidato Bagio menohok hati saya.
Pada suatu kesempatan, ketika saya ngobrol dengannya
di halaman belakang, tak terbendung keinginan saya untuk bertanya pada Bagio
apakah dia betul-betul bahagia bekerja sebagai tukang kebun? “Saya bahagia, Pak
Andy. Saya bersyukur bisa bekerja sebagai tukang kebun. Apalagi kalau hasil
karya saya dihargai,” ujarnya sembari tersenyum.
Manakala melihat wajah saya tetap penuh tanda tanya,
dia lalu tertawa. “Nama saya Selamet Bagiyo. Hidup saya sudah selamat dan
bahagia,” ujarnya mencoba meyakinkan saya.
No comments:
Post a Comment