Entah dari mana datangnya kekuatan, setelah belajar jauh ke
negeri orang bertahun-tahun,membaca ribuan buku, majalah, koran, mengumpulkan
pengetahuan lewat internet, dicerahkan oleh pergaulan yang demikian luas,
diperkaya oleh film yang sempat saya tonton, namun bolakbalik saya didamparkan
pada puncak ide yang bernama cinta. Mirip dengan guru Aikido yang bernama
Morihei Ueshiba, yang menyebut hanya ada satu puncak yaitu cinta, perjalanan
ide saya juga demikian. Dari bacaan, pergaulan, maupun tontotan, semuanya
berujung pada lorong yang bernama cinta.
Demikian juga ketika saya bersama anak-anak menonton film
The Theory of Conspiracy di HBO suatu malam pertangahan Maret 2000. Film
inspiratif yang dibintangi Mel Gibson dan Julia Roberts ini, memang
dilatarbelakangi oleh dunia intelejen yang penuh teka-teki, menantang dan kadang
kejam. Mel Gibson dan Julia Roberts memang bermain mengagumkan. Namun, yang lebih
mengagumkan adalah cerita film ini. Untuk tujuan kekuasaan yang penuh
kekejaman, kerakusan dan keserakahan, Mel Gibson memorinya diacak-acak dan
dihancurkan. Kemudian, diformat ulang agar ia menjadi seorang pembunuh yang
berdarah dingin. Yang diharapkan bias membunuh seorang hakim yang membongkar
kasus lama. Akan tetapi, begitu Mel Gibson siap membunuh sang hakim, ia melihat
cinta seorang hakim terhadap puterinya (Julia Roberts) yang menawan. Entah
cinta sang hakim pada puterinya, atau cinta seorang pria kepada seorang wanita,
yang jelas seluruh energi cinta ini menghentikan energi membunuh Mel Gibson
yang penuh dengan format penguasa.
Merasa takut dan tidak puas dengan hasil format terhadap Mel
Gibson, iapun dikejar dan disiksa. Bahkan sampai mengerahkan seluruh komponen
aparat keamanan. Sekali lagi, ia selamat berkat sayap yang bernama cinta. Di
akhir cerita, secara amat romantis Mel Gibson bertutur apik : love gives us
wing. Kalimat apik terakhir ini mengingatkan saya pada sejumlah pengalaman
berat. Dalam presentasi di depan petinggi-petinggi Citibank Indonesia – dari
country manager sampai dengan semua vice president – saya bertemu dengan banyak
sekali orang pintar dengan jam terbang yang mengagumkan. Demikian juga ketika
diajak keliling Indonesia oleh Tupper Ware. Saya bertemu dengan banyak manusia
yang amat beragam. Hal yang sama juga terjadi, ketika melakoni diri menjadi
konsultan yang harus berhadapan dengan pengusaha-pengusaha sukses yang kaya raya.
Ada yang sombong, merendahkan, menghina sampai dengan kagum penuh pujian.
Akan tetapi, dengan modal sayap yang bernama cinta, semua
itu lewat tanpa halangan yang menakutkan. Seorang peserta lokakarya yang amat
sarkastis di awal, di akhir malah memeluk saya sambil memberikan hadiah
sepasang sepatu mahal. Kerap saya ragu dan bingung, tanpa usaha yang terlalu
keras, bagaimana orang yang demikian bermusuhan awalnya menjadi demikian
bersahabat. Dalam politik perkantoran juga sama. Kepala saya pernah diinjak dan
dikencingin orang lain. Bahkan ada yang melakukannya di depan umum. Entah dari
mana datangnya kekuatan, orang-orang seperti ini belakangan tidak sedikit yang
menaruh hormat yang tinggi. Dan setelah mendengar pesan Mel Gibson bahwa love
gives us wing, saya baru saja sadar. Bahwa cinta bisa membuat kita bersayap.
Untuk kemudian, terbang tinggi-tinggi dalam kehidupan. Tidak hanya tinggi dalam
prestasi materi, tetapi juga tinggi dalam prestasi spiritual.
Lebih dari itu, sebagaimana burung yang bersayap, tubuh dan
jiwa ini juga menikmati kebebasan yang demikian mengagumkan. Imajinasi,
inovasi, inspirasi datang demikian mudahnya dalam kehidupan
yang bersayapkan cinta. Coba perhatikan lirik lagu Boyzone yang berjudul
Every Day I Love You, It’s a touch when I feel bad, It’s a smile when I get
mad. Cinta memang bisa demikian memabukkan kalau tidak dibingkai dengan
kedewasaan dan kearifan. Namun begitu ia berada dalam bingkai kedewasaan dan kearifan,
ia berfungsi persis seperti sayap besar dan tangguh. Dan siap membawa kita
kemana saja kita pergi dalam kehidupan.
Bercermin dari filmnya Mel Gibson, pengalaman pribadi saya,
maupun lagunya Boyzone, akan banyak gunanya kalau kita membanjiri diri kita
dengan cinta. Dan ini sebenarnya tidak sulit. Energi cinta tersedia demikian
melimpah di mana-mana. Istri, suami, anak, orang tua, tetangga, alam semesta,
Tuhan adalah sumber dan sekaligus tempat penyaluran cinta. Kita bias melakukannya
kapan saja dan di mana saja baik dengan biaya mahal maupun murah. Saya
menyisakan sebagian kecil makanan di pinggir piring setiap kali makan,
meletakkan segenggam nasi di pinggir taman rumah agar dimakan oleh burung-burung
gereja yang dating setiap pagi, meletakkan daun talas di kolam ikan agar ikan
makan dengan lahap, membagi sebagian kecil rejeki ke orang-orang bawah yang
memerlukan, memberi semampu mungkin ke anak, isteri dan orang tua. Anda saya
yakin punya cara yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan saya. Mencitai juga
lebih hebat dibandingkan dengan saya. Namun, jangan pernah lupa, cinta membuat
kita bersayap. Dan kemudian membuat tubuh dan jiwa ini terbang demikian enteng
dan ringan. Seperti Mel Gibson yang mengalahkan format teknologi yang demikian
mengagumkan namun kejam.
No comments:
Post a Comment