Dari kaca spion saya melihat mata supir taksi itu
berkaca-kaca. Merasa tidak percaya pada apa yang saya lihat, berulang-ulang
saya mencuri pandang untuk meyakinkan apakah saya tidak salah lihat?
Ternyata benar. Bahkan matanya mulai memerah. Air mata bergenang di pelupuk matanya. Sungguh pemandangan yang sama sekali tidak terduga. Apa yang terjadi?
Ternyata benar. Bahkan matanya mulai memerah. Air mata bergenang di pelupuk matanya. Sungguh pemandangan yang sama sekali tidak terduga. Apa yang terjadi?
Hari itu saya baru pulang dari Pulau Lombok, Nusa
Tenggara Barat. Begitu mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, saya langsung
pesan taksi menuju rumah. Dalam perjalanan tidak ada yang istimewa. Pikiran
saya hanya ingin agar segera sampai di rumah, mandi, lalu berbaring di tempat
tidur sambil membaca buku atau menonton televisi. Karena itu saya tidak terlalu
memperhatikan supir taksi yang duduk di depan saya.
Sepanjang jalan, mata saya juga lebih sering menatap
keluar jendela, memperhatikan hiruk pikuk lalulintas. Pada kesempatan seperti
ini, saat tidak menyetir sendiri, selalu saya manfaatkan untuk mengamati
sekeliling dengan lebih detail. Banyak hal yang terlewatkan jika saya sedang
konsentrasi menyupir.
Tiba di sebuah perempatan lampu merah, taksi mulai
merayap terjebak macet. Mata saya mendadak tertumbuk pada seorang pedagang
asongan yang menjual mainan anak-anak. Bukan mainannya yang menjadi perhatian
saya, tetapi fisik laki-laki setengah baya itu.
Dia tidak memiliki lengan dan jari tangan. Kedua
tangannya hanya sebatas siku. Jalannya terseok-seok. Tadinya saya bercuriga itu
hanya akting semata untuk membangkitkan rasa iba orang-orang yang melihatnya.
Tetapi ketika saya perhatikan lebih seksama, dari balik celana pendeknya
tersembul kaki dari kayu. Rupanya laki-laki berkulit legam itu menggunakan kaki
palsu.
Ketika taksi yang saya tumpangi tepat berada di
hadapan laki-laki itu, saya meminta supir taksi berhenti. Tanpa menawar saya
membeli empat mainan yang dijajakan laki-laki itu. Semua berjalan sangat cepat.
Setelah itu taksi meluncur kembali menembus kemacetan.
Kepada supir taksi saya menanyakan apakah dia punya anak laki-laki. Saya lalu memberikan satu mainan yang baru saya beli kepadanya ketika dia mengatakan punya satu anak laki-laki.
Kepada supir taksi saya menanyakan apakah dia punya anak laki-laki. Saya lalu memberikan satu mainan yang baru saya beli kepadanya ketika dia mengatakan punya satu anak laki-laki.
“Mengapa Pak Andy membeli mainan sebanyak ini dan
tidak ditawar?” tanya sang supir taksi. “Tadi itu harganya terlalu mahal.”
Saya terkejut ketika dia menyebut nama saya. Dengan topi yang saya
kenakan, saya pikir dia tidak mengenali saya. Kepadanya saya jelaskan tujuan
membeli bukan karena membutuhkan mainan itu, tapi tujuan saya lebih untuk
menolong pedagang asongan tadi. Saya melihat walau secara fisik dia cacat,
penjual mainan itu tidak mengemis tetapi mau bekerja. Saya bilang tidak perduli
kalau ada yang mengatakan apa yang dilakukan pria itu hanya modus mengemis gaya baru. Bagi saya,
karena ada barang yang ditawarkan, maka ada usaha yang dilakukan
laki-laki itu. Dia bukan cuma menadahkan tangan.
Prinsip itu saya jelaskan kepada sang supir karena
saya tahu tadi dia memperhatikan ketika saya tidak bereaksi melihat sejumlah
pengemis yang mangkal di lampu merah. Dia lalu menanyakan saya baru pulang dari
mana.
Dengan bersemangat saya bercerita baru saja bertemu
seorang anak hebat di Lombok. Namanya Lalu Abdul
Hafiz, murid kelas satu SMA Negeri Praya. Walau lahir dari keluarga miskin,
Hafiz memenangkan olimpiade fisika di kotanya dan juga meraih medali perunggu
untuk olimpiade astronomi internasional di Kyrgiztan. Sebelumnya dia sudah
menorehkan prestasi dengan menyabet penghargaan utama lomba fisika di kotanya.
Prestasi yang diraihnya, yang membawa harum nama bangsa itu, ternyata belum mampu mengubah nasib keluarganya. Hafiz dan kedua orangtuanya tetap hidup sederhana seperti sediakala. Rumahnya tetap sebuah gubuk berdinding bambu dan atap alang-alang. Sekarang direnovasi dengan uang Hafiz, jadi berdinding bata dan genting. Tapi dindingnya belum diplester, jendelanya belum berkaca, dan lantainya belum berubin. Kalaupun ada bedanya, sekarang Hafiz tidak perlu membayar uang sekolah karena mendapat beasiswa dari Pemda setempat.
Prestasi yang diraihnya, yang membawa harum nama bangsa itu, ternyata belum mampu mengubah nasib keluarganya. Hafiz dan kedua orangtuanya tetap hidup sederhana seperti sediakala. Rumahnya tetap sebuah gubuk berdinding bambu dan atap alang-alang. Sekarang direnovasi dengan uang Hafiz, jadi berdinding bata dan genting. Tapi dindingnya belum diplester, jendelanya belum berkaca, dan lantainya belum berubin. Kalaupun ada bedanya, sekarang Hafiz tidak perlu membayar uang sekolah karena mendapat beasiswa dari Pemda setempat.
Sebelum berangkat ke Lombok,
saya mendapat kabar Hafiz sudah tidak tertarik lagi ke perpustakaan sekolah
karena semua buku yang dia butuhkan sudah habis dia baca. Untuk memenuhi rasa
ingin tahunya tentang ilmu perbintangan, remaja bertubuh kecil kurus ini lebih
banyak mengakses internet di warnet. Kadang pinjam laptop temannya. Guru fisika
juga mengaku kewalahan karena Hafiz tidak pernah puas mencari tahu semua hal
tentang astronomi.
Semangat belajar Hafiz yang luar biasa itulah yang mendorong saya dan tim Kick Andy untuk berkunjung ke sekolah Hafiz. Kami berniat memberi sebuah laptop agar anak cerdas ini dapat mengoptimalkan minatnya menekuni ilmu perbintangan.
Semangat belajar Hafiz yang luar biasa itulah yang mendorong saya dan tim Kick Andy untuk berkunjung ke sekolah Hafiz. Kami berniat memberi sebuah laptop agar anak cerdas ini dapat mengoptimalkan minatnya menekuni ilmu perbintangan.
Saya terus bercerita dengan penuh semangat. Saya tidak
memperhatikan reaksi sang supir taksi. Sampai kemudian mata saya secara tidak
sengaja tertumbuk pada kaca spion. Di situ saya melihat mata supir taksi itu
memerah dan berkaca-kaca.
Saya tanya mengapa matanya berkaca-kaca, sang supir
lalu menjelaskan bahwa cerita tentang Hafiz dan bantuan laptop itu menyentuh
hatinya. Ternyata dia mengaku sudah lama selalu mengikuti program Kick Andy di
Metro TV. “Karena program ini berempati pada nasib rakyat kecil,” ujarnya. “Di
jaman seperti sekarang ini kok masih ada orang-orang yang mau menolong rakyat
kecil seperti kami ini,” dia menambahkan.
Sungguh mati saya tidak pernah menyangka sore itu akan
bertemu seseorang yang mengaku tersentuh hatinya oleh apa yang dilakukan
Kick Andy. Apalagi pengakuan itu datang dari seorang supir taksi. Sang supir
lalu dengan lancar menceritakan kisah-kisah yang pernah diangkat di Kick Andy,
yang berkaitan dengan “rakyat kecil”.
Sampai sekarang pertemuan dengan supir taksi itu
sangat membekas dalam ingatan saya. Sama membekasnya dengan peristiwa seorang
supir mobil sewaan memeluk saya di Bali
beberapa tahun lalu. Supir itu mengaku gara-gara menonton Kick Andy nasibnya
berubah.
Laki-laki asal Bali itu mengaku mobil yang disupirinya itu miliknya sendiri. Sebelumnya dia hanya bell boy di sebuah hotel. Pada waktu menonton salah satu episode di Kick Andy, dua tahun lalu, dia memutuskan berhenti sebagai bell boy. Dia lalu mencari pinjaman kesana kemari untuk membeli sebuah mobil kijang bekas. Mobil itu lalu dia sewakan dan dia supiri sendiri.
Laki-laki asal Bali itu mengaku mobil yang disupirinya itu miliknya sendiri. Sebelumnya dia hanya bell boy di sebuah hotel. Pada waktu menonton salah satu episode di Kick Andy, dua tahun lalu, dia memutuskan berhenti sebagai bell boy. Dia lalu mencari pinjaman kesana kemari untuk membeli sebuah mobil kijang bekas. Mobil itu lalu dia sewakan dan dia supiri sendiri.
Setahun kemudian, berpatungan dengan temannya, mereka
membeli satu lagi mobil bekas. Bisnisnya terus berkembang. Sampai pada saat
bertemu saya di Bandara Ngurah Rai, dia sudah punya empat mobil. “Gara-gara
nonton Kick Andy hidup saya berubah,” ujarnya. Sebagai ungkapan terima kasih,
dia memeluk saya erat-erat.
Kejadian-kejadian kecil semacam itu membuat saya
sering termenung. Begitu berartikah apa yang dilakukan Kick Andy bagi mereka?
Saya tidak bisa menjawab. Tetapi, yang pasti, kejadian-kejadian kecil itu
menambah semangat saya untuk terus berbuat. Baik melalui program Kick Andy
maupun Kick Andy Foundation.
No comments:
Post a Comment