Di zaman sekarang yang mengutamakan
kepentingan materi dan nafsu keinginan, seringkali selaku orang tua secara
tidak sengaja, baik lisan maupun praktek mengajarkan mereka cara berbohong.
Orang yang sering berbohong akan membuat orang
lain merasa benci. Hampir semua orang pernah mendengarkan kisah seorang
pengembala yang berbohong ternaknya diserang serigala. Orang yang sering
berbohong tidak akan dipercaya oleh kita semua, pada akhirnya yang rugi adalah
diri sendiri.
Sebenarnya orang yang senang sekali berbohong,
juga telah mencerminkan watak dan moralitas serta pengasuhan diri orang
tersebut. Di zaman sekarang yang mengutamakan kepentingan materi dan nafsu
keinginan, seringkali selaku orang tua, agar anak-anaknya kelak tidak dirugikan
dalam masyarakat, lalu secara tidak sengaja, baik lisan maupun praktek
mengajarkan mereka cara berbohong.
Untuk melindungi diri sendiri, acapkali ucapan
yang keluar mengandung kebohongan. Hal ini sudah sering terjadi, merupakan
suatu fenomena yang sangat umum. Orang zaman dahulu mendidik anak-anak mereka
menuntut kebenaran dan kejujuran, bicara harus berdasarkan fakta yang ada,
tidak boleh sembarangan. Ini adalah cara mendidik ortodoks yang sebenarnya.
Kisah di bawah ini berisikan pencerahan bagi
orang yang berbohong :
Rahula, anak Budha Sakyamuni (Sidharta
Gautama) ketika masih belum menjadi biksu, pada tahun di mana sang Budha
mencapai pencerahan, Rahula yang masih
belia juga pergi menjadi biksu kecil, dia mengangkat Sariputta menjadi gurunya.
Anak yang baru berusia belasan tahun itu,
masih mempertahankan sifat kekanak-kanakannya yaitu senang bersenda gurau.
Sifat tersebut tidak bisa diubah dalam jangka waktu yang singkat.
Rahula
berada dalam lingkungan yang begitu hening dan berwibawa, tidak ada
permainan yang bisa memuaskannya, karena itu dia merancang sebuah permainan
yang mengasyikan bagi dirinya.
Setiap kali ada pengunjung yang datang dan
bertanya keberadaan sang Budha, maka Rahula selalu membohongi mereka. Sang
Budha yang tengah membaca di bawah pohon, akan dia katakan bahwa sang Budha
sedang bermeditasi di pinggir kolam. Jika sang Budha sedang memberi ceramah
kepada para murid di dalam kamar, dia menunjuk ke arah yang jauh dan berkata
bahwa sang Budha sedang menyebarkan ajaran-Nya di suatu tempat.
Melihat pengunjung sibuk kian kemari mencari
keberadaan sang Budha, Rahula tertawa
riang dan mengejek kebodohan sang pengunjung itu.
Setelah sang Budha mengetahui perilaku
Rahula yang suka berbohong itu, dia
memikirkan sebuah cara untuk mendidik anak tersebut. Suatu hari sang Budha
menyuruh anak tersebut mengambil satu ember air bersih, yang lalu digunakan
untuk mencuci kaki. Setelah selesai mencuci kaki, sang Budha berkata kepada
Rahula, “Minumlah air dalam ember ini.”
Rahula
menjawab, “Air bekas mencuci kaki sangat kotor, tidak boleh diberikan
kepada orang lain untuk diminum.”
Sang Budha berkata, “Rahula, ucapanmu bagai
seember air kotor itu, tidak bisa didengarkan.”
Rahula
menjadi ketakutan, dia buru-buru membuang air kotor yang berada di dalam
ember. Sang Budha berkata lagi kepadanya, “Bawalah ember tersebut dan isilah
dengan nasi!”
Dengan kesal hati karena merasa dipersalahkan
Rahula berkata, “Ember untuk mencuci
kaki sangat kotor, tidak boleh diisi dengan nasi yang bersih.”
Sang Budha berkata, “Rahula , engkau bagaikan
ember yang kotor ini, ajaran yang begitu baik dan indah tidak bisa terisi dalam
hatimu.” Rahula merasa sangat malu
sekali.
Sang Budha lalu menggunakan kakinya menendang
ember itu, sehingga menggelinding kian kemari, lalu dia bertanya, “Rahula apakah dirimu akan merasa sayang jika ember
itu sampai pecah?”
Rahula
menjawab, “Guru, ember ini adalah benda yang murah, harganya tidak
mahal, tidak mengapa jika rusak karena ditendang!”
Sang Budha berkata lagi, “Dirimu persis seperti ember murahan ini, penuh omong
kosong dan kebohongan. Orang lain tidak akan menghargai, juga tidak akan
menghormati atau memberi perhatian.”
Selesai mendengarkan perkataan sang Budha,
Rahula menangis tersedu-sedu. Sejak saat
itu dia tidak pernah lagi berbohong, tekun mengasuh diri pada jalan kebaikan.
Tak lama kemudian dia menjadi orang pertama dalam tantra yang mendapatkan buah
status sebagai Arhat.
Setelah mendengar kisah tersebut, mari kita
renungkan kembali apakah diri kita sendiri juga pernah berbohong? Ketika kita
berbohong apakah bedanya perilaku kita dengan anak kecil yang berada dalam
kisah tersebut?
Jika begitu mulai saat sekarang ini, kita
harus lebih memperhatikan perilaku dan ucapan yang kita keluarkan, jadilah
orang yang benar-benar jujur dan dapat dipercaya.
No comments:
Post a Comment