Saya pernah mendengar seorang rektor
menceritakan sebuah kisah: Ada seorang
nenek tua, yang hampir menemui ajalnya. Seluruh anggota keluarganya juga tahu
bahwa ia sudah tidak ada harapan lagi, maka mereka mengundang pendeta Buddha
untuk mendoakannya, agar bisa berpulang dengan tenang dan ikhlas. Tetapi
setelah didatangkan tiga pendeta berturut-turut melakukan berbagai ritual,
tetap saja tidak bisa membuat nenek tua itu berpulang.
Akhirnya, salah satu putri nenek itu yang baru
saja tiba dari luar kota, berkata kepada ibunya, “Ibu, apakah rice cooker yang
dulu Ibu beli itu masih disimpan?” Putri itu melihat di sudut mata ibunya
mengeluarkan air mata. Ia lalu melanjutkan, “Harap Ibu bisa merelakannya, saya
tahu rice cooker itu diletakkan dimana, saya akan meminta kakak agar
menggunakan rice cooker itu.”
Begitu putrinya selesai berbicara, nenek tua
tersebut segera menghembuskan napas terakhirnya. Di kemudian hari, anak dan
cucu-cucunya menjadikan hal tersebut sebagai gurauan bahwa tiga pendeta Buddha tidak mampu melawan
sebuah rice cooker.
Awal era 80-an rice cooker di daerah kami
sangat populer. Nenek tua itu hidup berhemat dengan susah payah untuk membeli
sebuah rice cooker. Namun setelah dibeli,
ia merasa sayang menggunakannya, sehingga akhirnya disimpan di tempat
rahasia. Saat akan menghembuskan napas terakhir, ia teringat belum menyerahkan
rice cooker itu sehingga menyebabkan ia tidak rela pergi. Maka tidak peduli
bagaimana pendeta Buddha itu mendoakannya, tetap saja tidak bisa melepaskan
keterikatan nenek tua itu.
Dalam kurun waktu setengah tahun ini, ada dua
orang teman saya melakukan bunuh diri. membuat para kerabat terperanjat. Salah
seorang teman itu, profesor di sebuah universitas. Sebenarnya dia memiliki
keluarga yang bahagia, penghasilannya juga tinggi, dan sering menjadi pembicara
dalam berbagai seminar. Selain itu, tiap tahun ia mendapat bantuan finansial
dari lembaga riset negara.
Studi yang diambilnya bidang psikologi anak,
dari sini bisa diketahui bahwa dia seorang yang penuh belas kasih dan
perhatian, selain itu dalam segala bidang dia sangat menonjol. Yang tak habis
pikir, demi mempertahankan reputasinya, dia nekat melakukan gantung diri di ruang
risetnya, membuat orang-orang sangat tidak memahami keputusannya.
Sejak kecil, saya telah menjadi anak yatim,
dan Ibu tidak mempunyai sumber penghasilan tetap, sehingga banyak menumpuk
hutang. Saat berusia 45 tahun, saya baru bisa melunasi semua uang pinjaman itu.
Namun sayangnya, setelah mempunyai sedikit simpanan, saya tergila-gila pada
benda seni. Saat mata terbuka, langsung berburu benda seni apa saja yang patut
dikoleksi. Lambat laun rumah saya penuh sesak, sehingga berjalan pun tidak
leluasa, membuat istri dan anak-anak mengeluh.
Seorang murid saya bahkan memberikan nasihat,
“Terbenam dalam hobi akan melemahkan tekad untuk maju, jangan menyia-nyiakan
waktu yang sangat berharga ini.” Tetapi nasihat baik itu seringkali tidak enak
didengar, saat keterikatan sudah menguasai hati, mana bisa mendengarkan nasihat
baik itu? Keterikatan hati membuat saya kehilangan arah kehidupan.
Uniknya, keterikatan ini juga bisa membuat
hewan kehilangan arah hidup. Ada seorang psikolog mengadakan sebuah eksperimen
dengan memelihara sekelompok tikus putih dalam laboratoriumnya. Sejak awal masa
pertumbuhan, tikus-tikus itu tidak dibiarkan makan kenyang. Ketika tikus
tersebut tumbuh dewasa, peneliti ini menanamkan sebuah chip dalam otak mereka,
kemudian dialiri listrik untuk diamati reaksinya.
Seperti praduga sebelumnya, kelompok tikus
tersebut berusaha keras mencari simpanan makanan yang ada di dalam ruangan itu.
Usaha keras tikus-tikus itu tidak berhubungan dengan sakit kepala akibat
sengatan listrik. Pengalaman kelaparan selama masa pertumbuhan, membuat
sekelompok tikus tersebut timbul keterikatan terhadap makanan, dan keterikatan
tersebut justru membuat mereka kehilangan arah untuk berusaha.
Jika demikian, maka keterikatan itu bisa
membuat orang ingin mati tidak bisa, ingin hidup pun tidak bisa, kehilangan
tujuan, kehilangan kebebasan dalam keseluruhan hidupnya.
Ada orang yang mengatakan, “Semasa hidup
terikat oleh pakaian, setelah mati terkurung dalam peti mati, betapa tidak
bebasnya kehidupan ini?” Seorang biksu masih harus memangkas habis tiga ribu
rambut kerisauan, mencari kebebasan jiwa. Sebenarnya keterikatan semacam ini
adalah batasan dalam bentuk fisik, sedang yang benar-benar membuat kita tidak
bisa datang dan pergi leluasa, hidup bebas dan nyaman itu, adalah berbagai
macam keterikatan di hati.
Dilihat dari arti kata dalam bahasa Tionghoa, kata keterikatan atau Zhi Zhuo (執著) bermakna, Zhi (執) itu berarti arah atau tujuan yang berusaha untuk dikejar, Zhuo (著)
itu artinya tetap. Jika digabungkan kata-kata ini berarti keterikatan manusia
yang terlalu peduli terhadap nama,
keuntungan, perasaan (Qing) dan kehidupan ini, sehingga terbelenggu dan
terikat. Ambil sebuah contoh, tuntutan anak muda terhadap percintaan, acapkali
bisa menimbulkan keterikatan. Tidak akan menikah kalau bukan dia, tidak akan
dinikahi jika bukan dia. Kalau demikian halnya, maka ia akan kehilangan
kebebasan untuk memilih pasangan hidup.
Dilihat dari sudut pandang lain, keterikatan itu mungkin juga sebuah produk
untuk “meninggalkan kebebasan”. Erich Fromm, ahli psikologi dari Barat, buku
pertama yang membuatnya terkenal berjudul Escape from Freedom (Meninggalkan
Kebebasan).
Pada awal saya membaca buku tersebut merasa
takjub. Pepatah mengatakan, “Walau ketulusan dalam cinta itu sangat berharga,
tetapi nilai nyawa itu lebih tinggi, jika hanya demi kebebasan saja, maka
kedua-duanya boleh dicampakkan!”
Pada umumnya manusia menilai kebebasan itu
sangat berharga, lalu mengapa Erich Fromm menulis buku tersebut? Setelah saya
baca dengan saksama baru mengerti. Ternyata kebebasan itu bagi orang yang
kejiwaannya kurang matang, adalah sebuah beban yang teramat berat, meninggalkan
kebebasan berarti menghindari beban yang menyengsarakan.
Saya ambil sebuah contoh yang sederhana. Saya
tergolong orang yang sangat tidak mementingkan cara berpakaian, maka dua buah
kemeja berlengan pendek, dua buah celana dan sepasang sepatu sudah cukup untuk
melewatkan selama satu musim panas. Tidak peduli dalam pesta pernikahan,
pertemuan, kantor atau berekreasi, selamanya mengenakan setelan pakaian yang
sama. Saya merasa dengan demikian sangat leluasa, keluar rumah tidak perlu
ribut memilih pakaian!
Dilihat dari permukaan, sebenarnya adalah
demikian, namun sesungguhnya di dalam hati masih ada kepedihan yang tidak bisa
diutarakan. Ketika berjalan-jalan seorang diri di pertokoan, melihat beraneka
ragam pakaian di estalase, sangat sulit buat saya untuk memutuskan baju mana
yang harus saya beli! Takut terlalu vulgar atau tidak cocok dengan setelannya.
Maka itu setiap kali pergi belanja, selalu mengajak sanak keluarga, untuk
memilihkan baju buat saya. Akhirnya saya meninggalkan kebebasan untuk memilih
pakaian.
Menurut yang dikatakan Erich Fromm, masyarakat
umum dapat meninggalkan kebebasan dengan cara “meyakini suatu paham, menurut
terhadap pemimpin, bernaung di dalam partai”. Ambil contoh pada masa PD II,
rakyat Jerman sangat memercayai Hitler sebagai pimpinan yang bijaksana, maka
tidak perlu menganalisa pemikiran dan keputusan yang diambil Hitler lebih
lanjut, dengan kejam dan brutal membunuh 6 juta orang Yahudi.
Tentunya seorang tentara ketika berhadapan
dengan musuh, harus menghadapi pertempuran hidup atau mati, tidak ada kebebasan
untuk memilih. Tetapi terhadap rakyat jelata yang tidak bersenjata, tentara
mutlak mempunyai kebebasan untuk memutuskan hidup dan matinya para korban.
Namun sungguh disayangkan, banyak orang menggunakan aturan “patuh pada perintah
adalah kewajiban seorang tentara” sebagai alasan, tidak mempedulikan jeritan
pedih dari orang-orang yang tidak berdosa, melakukan invasi militer dan
melakukan pembantaian berdarah selama delapan tahun lamanya. Kata “patuh” telah
berubah menjadi semacam bentuk keterikatan yang lain.
Kesimpulannya, keterikatan menyebabkan manusia
kehilangan arah, kehilangan kebebasan. Di sisi lain, kurangnya taraf kecakapan
manusia, juga bisa menyebabkan manusia meninggalkan kebebasan. Maka jika
seseorang ingin memiliki kebebasan yang paling maksimal, hanya bisa dengan cara
berusaha keras menyingkirkan keterikatan terhadap nama, keuntungan dan perasaan
(Qing). Disamping itu berusaha keras memupuk taraf kecakapan kemanusia,
sehingga tidak perlu lagi meninggalkan kebebasan.
No comments:
Post a Comment