Setelah berselang bertahun-tahun, tiba-tiba
teringat pengalaman semasa kuliah. Itu terjadi pada suatu liburan musim dingin
ketika pulang kampung di dataran China Utara.
Sepanjang hari berkumpul dengan orang tua,
hidup sederhana merasakan kebahagiaan. Pada suatu hari, beberapa teman SMA
datang berkunjung, ingin mengadakan reuni di rumah salah seorang teman, maka
saya dengan senang hati berangkat naik sepeda. Sebelum berangkat ayah bertanya
apakah saya dapat mengenali jalan pulang, tanpa ragu saya menjawab tidak ada
masalah. Beberapa teman juga mengatakan demikian.
Jalan di pedesaan meskipun tidak luas namun
cukup rata. Mengendarai sepeda sambil mengobrol, tak terasa setengah jam lebih
sudah terlewatkan, tibalah di rumah teman itu. Karena sudah lama berpisah,
teman-teman saling bercerita pengalaman
di bidang yang berlainan, sungguh sangat menyenangkan. Tak terasa matahari
telah terbenam. Setelah melanjutkan ngobrol sebentar lalu berpamitan.
Teman-teman bertanya apakah masih ingat jalan pulang, saya samar-samar masih
ingat arahnya, maka dengan sombong mengatakan tidak ada masalah, lalu mengayuh
sepeda.
Baru keluar dari halaman saya bertemu ayah.
Saya terperanjat dan bertanya mengapa beliau datang. Ayah mengatakan, merasa
khawatir karena matahari sudah terbenam masih tidak melihat saya kembali.
Mungkin karena mengetahui di mana desa tempat teman SMA itu, jadi masih dapat
menemukan saya. Saya tidak berkata apa-apa, mengayuh sepeda mengikuti ayah
pulang.
Senja pada musim dingin sangatlah pendek.
Segera sesudah meninggalkan kampung, hari jadi gelap-gulita. Saya mengikuti
ayah, berbelok-belok, satu demi satu perkampungan kami lewati. Sambil bersepeda
di dalam hati saya merasa sangat berterima kasih kepada ayah yang memandu.
Jalan ketika perjalanan berangkat tadi tampaknya biasa saja, tapi sekarang
nampak asing, jika tidak ada ayah, hampir dipastikan saya tidak akan menemukan
jalan pulang.
Sejak SMP saya tinggal di asrama sekolah di
kabupaten, dalam sekejap sudah enam tahun. Setelah tamat SMA saya kuliah di
kota besar nun jauh yang perlu ditempuh dengan kereta api. Darah muda memang
mudah menjadi sombong. Jika sekarang dikenang kembali, tanpa dipandu ayah
benar-benar tak terbayangkan akibatnya.
Jauh terpisahkan samudera luas, telah lebih
dari sepuluh tahun tinggal di luar negeri. Sekarang anak-anak juga sudah akan
bersekolah. Menghadapi pendidikan mereka, terkenanglah jalan hidup yang sudah
saya tempuh. Tak terasa dada sesak dipenuhi keluhan sendu: di persimpangan
jalan kehidupan, pada labirin kehidupan yang tak bertepi, banyak orang telah
mengulurkan tangan membantu, tanpa mereka tak akan tercapai keadaan seperti
hari ini.
Teringat masa kecil, suatu saat sedang seru
bermain saya menjadi sangat marah. Tak terasa mengumpat dengan kata-kata kotor.
Kakak saya melihat adegan ini, dengan sedih berkata, “Aku tahu orang lain dapat
mengucapkan kata-kata kotor, tapi tak pikirkan engkau akan juga begitu.
Mendengar umpatanmu aku merasa pilu.”
Saya menjadi terguncang sehingga tidak pernah lagi mengucapkan kata-kata
kotor.
Mengenang kembali pengalaman hidup yang telah
saya alami, saya dapat merasakan bahwa manfaat terbesar yang diperoleh dari
pengaruh keluarga adalah kesetiaan terhadap kewajiban.
Teringat sebuah ungkapan semasa kecil yang
paling mengesankan, “Kejujuran dan kebajikan akan diwariskan ke anak-cucu dalam
masa panjang, puisi dan buku tentang moral bermanfaat bagi masyarakat dalam
waktu yang lama.”
Ini juga merupakan gambaran dari perilaku dan
tutur kata orang tua. Ayah adalah seorang guru, telah berjerih payah sepanjang
hidupnya di depan kelas. Ibu juga pernah bersekolah, pada waktu senggang setelah bekerja seharian, beliau
memupuk hati kecil anak-anaknya dengan siraman budaya tradisional.
Mulai dari loyalitas dan rasa bakti seorang
Jie Zitui sampai dengan pertarungan naga hitam dan naga putih, pemisahan
kebaikan dan kejahatan serta perwujudan kecerdasan dan keberanian. Mulai
anjuran belajar dari cerita “karena anak tidak rajin belajar, sang ibu sampai
merusak alat tenun”, hingga anjuran menghargai waktu tentang “sejengkal waktu
adalah sejengkal emas”.Mulai dari bersujud pada Tuhan, sampai dengan rajin dan
hemat pada kehidupan sehari-hari.
Pengaruh pendidikan dalam keluarga, seiring
dengan inspirasi dari para guru yang dibincangkan setelah selesai pelajaran
sekolah, membuat saya menyadari bahwa hidup hendaklah jujur dan rajin.
Penderitaan terbesar dalam hidup adalah tidak
mengetahui arah. Bagaikan mobil yang kondisinya sudah lengkap namun tidak tahu
akan dibawa ke mana.
Pada usia tujuh tahun, saya pernah seorang
diri berdiri di halaman rumah memandang jauh ke angkasa, sambil memikirkan
makna kehidupan. Meski masih kecil juga sudah mulai dapat merasakan kesulitan
hidup, dingin dan kehangatan duniawi. Saya dapat melihat bahwa orang jujur
rentan terhadap perlakuan sewenang-wenang, dan dapat memahami perasaan orang
yang sedang mengekang diri tanpa menangkis penghinaan orang, juga agak merasa
bimbang akan menjadi seperti apa diri ini di kemudian hari.
Pada masa sekolah menengah meskipun sibuk
tetapi sederhana, saya hanya memikirkan harus belajar dengan baik agar tidak
mengecewakan harapan orang tua dan guru. Akhirnya tercapai juga keinginan untuk
melanjutkan ke universitas. Saya baru menyadari bahwa ternyata terdapat banyak
pilihan dalam hidup ini, juga mengerti bahwa pengetahuan tidak ada batasnya.
Keyakinan hidup tradisional dalam diri merasa
diserang, sehingga di samping menyelesaikan studi, juga ikut-ikutan teman
membaca sepintas dibidang lain dengan harapan setelah membaca banyak buku akan
memperoleh jawaban makna hidup. Oleh karena itu saya mempelajari filsafat Barat
sampai dengan pandangan Lao Zi Zuangzi, dari mitologi Yunani sampai ke
peradaban Barat modern, dari cerita klasik Fengshen Yanyi sampai ke cerita
fiksi Dinasti Ming dan Qing “San Yan Er Pai”. Setelah melihat teman kuliah
membaca sutra Buddha dan kitab suci Taoisme “Dao De Jing”, karena penasaran
maka saya mendaftar untuk mempelajari mata kuliah Zhouyi tentang ramalan.
Namun keinginan tetaplah tinggal keinginan,
setelah sibuk mondar-mandir mencari masih tetap tidak menemukan jawaban yang memuaskan,
sehingga seperti banyak teman sekolah lain, saya lalu melanjutkan mencari
impian sampai ke luar negeri.
Kemudian saya menemukan bahwa pada
kenyataannya, baik di China maupun di luar negeri, anak muda yang masih studi
ataupun orang penting dalam masyarakat adalah sama seperti dirinya, mereka
masing-masing sedang mencari tujuan hidup mereka.
Teringat saat kuliah di perguruan tinggi, pada
satu mata kuliah utama yang saya ambil, Profesornya sangat bereputasi, telah
mendekati usia 60. Ketika memberi pelajaran beliau tidak membawa rencana
pelajaran, juga tidak membawa bahan pelajaran, namun beliau mengajar seolah
tanpa dipikir lagi, tanpa henti memberikan penjelasan.
Di sela-sela kelas, beliau hanya menghisap
pipa rokoknya, sesekali mengobrol dengan kami. Pernah satu kali dia menyinggung
bahwa pada saat tugas masuk desa, dia bersama kolega lain mendiskusikan
mekanika kuantum di kandang kerbau. Mungkin sudah terlalu banyak yang dia
alami, tidak terlihat jelas hati profesor tua tersebut sedang pedih, tak
berdaya, ataukah mengeluh penasaran.
Demikian pula, selama studi di luar negeri
juga terdapat mata kuliah mekanika kuantum yang sulit. Karena merupakan mata
kuliah pilihan, banyak teman kuliah merasa takut memilihnya, sebab itu tidak
banyak mahasiswa yang ikut dalam kelas. Profesor tua yang senior ini juga tidak
membawa rencana pelajaran, tidak membawa materi pelajaran, namun dapat memberi
penjelasan yang baik dan membantu kami mencerna dari berbagai sumber.
Profesor tua ini juga tidak banyak bicara,
tapi berbeda dengan profesor di China tadi, profesor ini memiliki rasa humor.
Suatu kali ketika sedang ujian, ketika kami sedang tegang menjawab soal ujian,
beliau berjalan mondar-mandir di podium, dan kemudian menulis di papan tulis:
Life without test is not worth it (jika tanpa ujian maka hidup ini menjadi
tidak berarti).
Dalam menghadapi sesuatu yang lucu dan
menjengkelkan ini kami dapat merasakan bahwa kata-kata ini sangat inspiratif.
Memasuki zaman sekarang ini berbagai ajaran
dan doktrin telah menjamur di mana-mana dan serba serbi teknologi telah sangat
berkembang. Bila ingin mendalami suatu bidang keilmuan, akan dengan mudah
menemukan mentor untuk membantu memecahkan labirin dan menyingkirkan awan kabut
yang menyelimutinya. Namun khusus untuk masalah jalan hidup manusia, topik yang
seolah abadi dibahas sejak zaman dahulu, dengan samar-samar dan menghanyutkan
itu, hanya baru dapat dipahami dengan cara menenangkan hati.
Dalam perjalanan hidup selama puluhan tahun,
saya mengetahui arti kemiskinan, setelah melihat tetangga dengan tujuh anggota
tinggal dalam gubuk kecil. Saya telah mengerti apa yang disebut sakit, setelah
melihat orang tua menderita penyiksaannya selama bertahun-tahun.
Saya telah mengetahui apa yang disebut
perlakuan sewenang-wenang setelah mengalami menerima pembagian jatah seekor
ikan kecil dari tim produksi namun ketika akan diambil kakak ternyata ditipu
orang lain. Saya pun telah mengerti apa yang disebut tak berdaya setelah
mengetahui ibu terpaksa harus bekerja keras sendirian sehingga menderita
penyakit menahun se-panjang hidupnya setelah melahirkan saya karena ayah
bertugas di luar daerah.
Saya menjadi paham apa yang disebut sikap
manusia yang dingin terhadap sesamanya ketika untuk memperbaiki rumah, ayah ibu
mencari pinjaman uang kemana-mana tanpa hasil. Saya melihat hilangnya moralitas
sosial setelah mengetahui sang kakak yang ingin membukakan jendela atap bus
umum untuk para penumpang karena teriknya cuaca justru mendapat perlakuan
sinis.
Saya mengetahui hilangnya hati nurani setelah
melihat kemarahan seseorang yang mengembalikan peralatan elektronik namun
ditolak, malah sengaja dibuat rusak petugas toko dan kemudian dipungkiri. Saya
mengetahui apa yang dinamakan perilaku pejabat setelah mengetahui seorang teman
sekolah karena ketika perpindahan penduduk terdapat sedikit kesalahan penulisan
dokumen sehingga mengalami kesulitan berangkat ke luar negeri, mengetahui apa
yang dimaksud dengan suka memandang bulu dan tamak dari gosip para kerabat
dekat dan tetangga. Saya mengerti apa yang disebut banyak perubahan dalam
kehidupan dari rekan sekitar yang mengalami kenaikan dan penurunan jabatan
serta pengangguran.
Anda ingin membiarkan diri terombang ambing
mengikuti arus atau memelihara hati yang tulus? Atau ingin menempuh kehidupan
seperti orang dungu atau dalam kejelasan? Atau ingin mengejar ketenaran selama
hidup ini atau ingin “menempuh kehidupan sederhana tanpa mengejar nama besar
untuk memelihara temperamen dan tujuan hidup yang anggun, memelihara kestabilan
dan ketenangan hati agar dapat menghasilkan kinerja yang baik”? Atau akan
tunduk pada realitas, atau mempraktekkan “mengultivasi diri, mengatur rumah
tangga, mengelola negara dan memadamkan kerusuhan dunia”? Ataukah Anda ingin
mencapai kehidupan diri yang bebas, atau ingin menolong makhluk hidup di dunia?
Pemikiran-pemikiran ini selalu mengganggu
diri, seolah-olah telah lama meraba-raba dalam kegelapan dan sangat mendambakan
melihat secercah cahaya.
Akhirnya suatu hari, dalam sebuah percakapan
telepon dengan keluarga mendengar tentang Sejati, Baik dan Sabar. Dalam waktu
tak lama telah membaca buku tentangnya. Disamping kegembiraan yang tak terkira,
terpaksa harus diakui bahwa ternyata ajaran dan jalan kebenaran masih ada
bahkan berada disekitar kita.
Bukan saja telah menjawab pertanyaan dan apa
yang dicari-cari di dalam dan di luar negeri selama bertahun-tahun, bahkan
buku-buku tersebut telah menyingkap mulai dari qigong sampai dengan kemampuan
paranormal, mulai dari sembahyang dalam masyarakat sampai dengan dongeng Yunani,
mulai dari yin yang dan lima elemen sampai dengan kehidupan dan berbagai macam
bidang ilmu pengetahuan.
Belasan tahun telah berlalu, saya juga telah
mengalami kenyamanan tubuh yang bebas dari penyakit, suka-cita karena
terjadinya peningkatan jiwa raga, mampu mengesampingkan sifat egois, kembali
pada diri sejati nan indah. Bersamaan dengan itu juga telah menyaksikan
“mempersalahkan seseorang tidak akan kekurangan alasan”, dari penganiayaan
dengan memutar balik hitam dan putih serta putih dikatakan hitam dapat
dimengerti bahwa jalan kebenaran dalam dunia adalah penuh pahit getir, dari
orang-orang yang tidak gentar terhadap kesulitan dan bahaya, mempertahankan
dengan gigih keyakinan yang benar dapat mengerti apa yang dikatakan oleh orang
zaman dahulu tentang “ketika seseorang mengalami kesulitan dalam hidup
hendaknya memperteguh hatinya, jangan mengendurkan aspirasi yang agung.”
Terlalu banyak kesengsaraan yang harus dialami
manusia, sampai saat ini terdapat banyak kerabat, tetangga dan rekan-rekan sibuk
mencari nafkah berjuang dalam penderitaan. Sesungguhnya yang paling menyakitkan
dalam hidup bukanlah menanggung beban, melainkan tidak bisa melihat harapan,
meraba-raba dalam keputus-asaan masa mendatang yang tak kunjung tiba.
Saya jadi teringat sebuah lagu yang
melantunkan: melampaui beragam kesulitan, aku datang berulang-ulang untukmu ...
benar-benar berharap engkau, aku dan dia tidak melewatkan kesempatan langka
untuk memiliki masa depan yang bahagia.
No comments:
Post a Comment