Di Bali, bunga Kamboja adalah bunga favorit
untuk persembahan. Indah, sejuk, lembut rasanya di dalam sini bagi kebanyakan
orang Bali bila melihat dan menggenggam bunga
Kamboja. Ada
sesuatu yang kurang rasanya bila persembahan tidak berisi bunga kamboja. Namun
di Jawa umumnya, bunga Kamboja ditanam di kuburan. Terbalik dengan apa yang
terjadi di Bali . Karena di kuburan, maka
kesannya seram dan menakutkan. Hanya belakangan ketika banyak pelancong yang
mengagumi Bali, banyak rumah dan hotel di Jakarta
ikut menanam bunga Kamboja.
Pelajarannya sederhana, pemaknaan memang
relatif sekaligus subyektif. Dari satu sisi, bunga Kamboja adalah simbol
kesucian. Di lain sisi, ia simbol ketakutan. Kehidupan juga serupa. Bagi siapa
saja yang pernah belajar di sekolah bisnis tahun 1980-an pasti pernah mendengar
nama Lee Iacocca. Ketika itu ia kerap disebut pahlawan Amerika karena
menyelamatkan raksasa otomotif Chrysler dari kebangkrutan.
Sebelum disebut pahlawan, beliau hanyalah
seorang petinggi yang tersingkir di perusahaan otomotif Ford. Tidak terlalu
jelas ceritanya (maklum politik
memang tidak pernah
terang hitam-putihnya), tiba-tiba suatu waktu Iacocca hanya kebagian
kursi wakil presiden plus kantor di gudang. Tentu saja hatinya panas.
Di tengah godaan ini, tiba-tiba datang
tawaran untuk memimpin Chrysler. Karena mau cepat-cepat meninggalkan kursi
panas, kesempatannya diambil. Ternyata pekerjaan baru jauh lebih panas. Maka
berputarlah kehidupan dari satu jurang panas ke jurang panas yang lain. Selesai
menghadapi buruh mogok, datang bankir yang menagih hutang, kemudian petugas
pajak, pemegang saham, distributor, keluhan pelanggan. Semuanya seperti tidak
ada habisnya.
Namun keteguhan kerap menjadi kendaraan
yang mengantar seseorang keluar dari terowongan gelap kegagalan. Di suatu
waktu, keteguhan Lee Iacocca berbuah. Chrysler ketika itu tidak saja keluar
dari krisis, namun berubah dari pecundang menjadi pemenang. Dan Iacocca sebagai
komandan juga bertransformasi dari korban menjadi pahlawan. Ini memberi
pelajaran inspiratif, musibah di satu tahun bisa menjadi sumber berkah di tahun
lain.
Serupa bunga Kamboja, kehidupan terus
berputar. Hari ini sampah bau, beberapa waktu kemudian menjadi bunga Kamboja
wangi berwajah indah. Hari ini bunga wangi mewakili keindahan, beberapa hari
kemudian menjadi sampah menjijikkan. Penderitaan kebanyakan manusia berakar
dari sini: mau bunga namun menolak sampah. Mau kebahagiaan, tidak mau
kesedihan. Ini serupa dengan mau api tapi menolak panas, mau air tapi membuang
basah.
Itu sebabnya, guru-guru tercerahkan melatih
diri keras-keras untuk menyatu dengan
semua aliran kehidupan.
Kebahagiaan adalah sumber motivasi, kesedihan adalah kekuatan
purifikasi. Serupa samudera, ia
penuh dengan gelombang
naik-turun. Ada gelombang tinggi (dipuji), ada gelombang rendah (dicaci). Namun
gelombang mana pun akan merunduk rendah hati ketika mencium bibir pantai.
Maknanya, kehidupan boleh bergerak naik-turun. Namun, ketika dipanggil kematian
jangan lupa merunduk rendah hati. Kematian bukan perpisahan mengerikan, namun gerakan
kembali memeluk samudera yang maha luas.
Dibekali bahan-bahan kontemplasi seperti
ini, ada guru yang berpesan: “Jadilah sekeras batu dalam mendidik diri sendiri,
namun selembut air dalam melayani orang lain”. Ada yang berpesan lain: “Agama tidak diniatkan
untuk menyerang orang, namun untuk menyerang kekurangan-kekurangan kita”.
Seorang petinggi bank yang mau pensiun
bertanya, setelah mencapai pencerahan, apa berarti kehidupan selalu pasif?
Sifat alami pencerahan jauh dari kepasifan. Ia serupa dengan kambing dan
serigala. Bila kambing dikasi makan daging, secara alamiah ia akan menolak.
Jika serigala dikasi makan rumput, secara alamiah ia akan menghindar.
Guru-guru tercerahkan juga serupa, ada
memang yang tinggal di gua-gua sepi. Namun mereka menyepi bukan untuk diri
sendiri, melainkan menjaga keseimbangan alam. Di tengah keriuhan kehidupan di
mana-mana mesti ada yang istirahat dalam keheningan. Sebagian besar guru
tercerahkan beredar di masyarakat. Baju
luarnya bisa bermacam-macam, namun spirit di dalamnya sama: kehidupan adalah
kendaraan pelayanan!.
Persis sama dengan bunga Kamboja. Di Bali
boleh digunakan sarana persembahan, dipuja karena mewakili kesucian. Di Jawa
boleh ditanam di kuburan yang menakutkan.
Namun, di kedua tempat itu bunga Kamboja tetap melayani kehidupan dengan
menebar keindahan dan keharuman. Begitu juga dengan mahluk tercerahkan, pujian
dan cacian tidak menghentikan tugasnya untuk melayani kehidupan. Seperti
matahari, apa pun komentar orang besok pagi ia tetap terbit melayani kehidupan.
No comments:
Post a Comment