Penulis : Prie GS
Suatu kali keponakan saya datang dari desa dengan motor dan tas penuh
meninggi di punggungnya, isinya adalah hasil kebun kakak saya: buah petai! Buah
yang baunya jauh lebih menggemparkan dibanding rasanya. Jumlahnya membuat saya
terpana dan karena banyaknya saya berencana membagi-bagikan juga ke tetangga.
Ada banyak alasan, pertama menyenangkan tetangga adalah pekerjaan yang
menggembirakan. Kedua, makan petai enaknya harus bersama-sama. Ini baru adil.
Karena jika engkau makan, aku cuma kena baunya, ini kejahatan, karena bau petai
ini memang jahat sekali. Saya bukan penggemar petai, tetapi juga tidak anti
sama sekali. Tapi intinya ialah bahkan bau pesing pun kalau itu hasil produksi
bersama pasti jauh dari pertengkaran.
Tetapi bukan soal petai itu yang akan saya ceritakan, melainkan kedatangan
keponakan yang salah waktu itu, meskipun ia datang hendak membagi kegembiraan.
Tetapi itulah waku yang saya sedang diburu-buru pekerjaan. Komputer baru saja
menyala dan sebuah tulisan buru-buru harus dirampungkan. Pada saat seperti ini,
tak ada soal yang lebih penting selain melihat agar tulisan itu lekas jadi.
Maka kedatangan keponakan saya dari jauh itu tak lebih dari gangguan.
Hampir saja saya menyelesaikan persoalan ini dengan cara praktis, menyapa
secukupnya, meminta maaf karena saya sibuk, meminta dia ambil makan dan minum
sendiri dan begitu pulang saya cukup memberinya uang saku seperlunya. Hampir
saja! Tetapi kemudian saya begitu marah kepada diri sendiri. Komputer itu
segera saya matikan. Ini pasti bukan karena saya terlalu sibuk. Ini pasti
karena di mata saya, pekerjaan adalah satu-satunya soal yang terpenting di
dunia. Pekerjaan benar-benar telah bersiap menjadi berhala.
Saya tanya kepada diri saya sendiri dengan perasan marah, apakah dunia akan
kiamat kalau pekerjaan inisejenak saya hentikan? Tidak! Keponakan itu datang
dari jarak hampir seratus kilo, dengan beban berat di pungungnya. Dari daerah
pegunungan yang pasti membuat ia harus melawan dingin dengan geraham gemeretak
dan bibir kebiruan. Dan ia tidakakan singgah lama, karena setelahnya ia harus
pergi meneruskan urusannya sebagai anak muda.
Saya tidak tahu, berapa kali momen persaudaraan seperti itu akan terulang.
Tetap saya tahu, selama bumi berputar, cuma sekali saja saya akan melihat
keponakan ini bermotor, menembus hawa dingin, dengan beban menggunung di punggung,
demi mengantar oleh-oleh petai dari desa kepada om-nya. Cuma sekali! Dan yang
sekali itu pun cuma akan disambut dengan sekadar sapaan seperlunya dan
kebaikanbasa-basi. Untung saya segera habis-habisan mendamprat diri sendiri!
Komputer itu saya pelototi dengan marah untuk saya bunuh dengan tega dan dengan
segera saya temui keponakan yang ketika kecil saya gendong-gendong itu.
Saya pandangi dia hingga tas itu merosotdari pungungnya. Saya tongkrongi
ketika dia melepasjaket-jaketnya. Saya duduk di depannya. Saya tak peduli
ketikaia cuma diam saja. Ia telah tumbuh besar.Dia membesar, saya menyibuk.
Perkembangan ini telah membuat kami terancam saling asing. Tapi meskipun
kamisaling terdiam, saya mengirim pesan yang jelasuntuknya. Ia tahu, saya
tengah menyambutnya, menghargai kedatangannya dan menerimanya. Pesan ini
pelan-pelan membuatnya nyaman. Maka setiap pertanyaan tentang kabar didesa,
tentang kuliahnya di kota, tentang aktivitasnya, ia jawab dengan hati yang
hidup dan gembira. Saya segera mendengar seorang anak-anak yang haus bercerita.
Benar, ada segudang cerita yang ia ingin orang lain mendengarnya, terutama
pasti orang-orang terdekatnya. Cerita itu akan menjadi barang beku, jika saya,
om-nya, orang tuanya, orang-orang terdekatnya, cuma sibuk dengan dirinya
sendiri. Kesibukan yang keterlaluan kepada diri sendiri, telah membuat banyak
orang-orang yang mestinya kita sayang menjadi korban. Mereka kesepian, gagal
tumbuh dan beku.
Pertemuan kami tak lebih dari setengah jam. Saya mengantarnya hingga ia lenyap
dengan sepeda motornya di pengkolan jalan. Ia pasti pulang dengan hati gembira
dan pesan yang jelas di jiwanya: bahwa om-nya ini, masih menyayanginya!
No comments:
Post a Comment