Jan 24, 2017

BAHAGIA MENJADI ORANG BIASA

Sudah menjadi catatan sejarah hidup saya, kalau sejak dulu berkawankan orang-orang yang
berumur jauh lebih tua. Dan sampai di umur tiga puluh delapan tahun inipun masih dikelilingi
orang-orang yang lebih tua. Salah satu sahabat diskusi yang amat menyenangkan belakangan ini adalah Bapak Palgunadi Setiawan (mantan salah seorang pimpinan puncak di Astra).

Entah karena faktor biochemistry atau faktor lain, Pak Bob Sadino (pengusaha yang tidak lagi bisa disebut muda) juga cepat sekali menjadi sahabat dekat. Ketika pertama kali bertemu di PPM beberapa tahun lalu, langsung saja meminta untuk dikirimkan karya-karya saya yang terakhir.

Demikian juga dengan Bapak Ir. Ciputra. Di akhir Mei 2001 lalu, beliau bersedia mendengarkan
presentasi saya sampai selesai. Dan kemudian bertutur lama, bagaimana sang hidup telah
membawanya pada perjalanan yang amat jauh. Sebenarnya, masih ada lagi sahabat-sahabat yang lain. Salah satunya adalah Pak Ken T.Sudarto (tokoh periklanan yang sudah pernah naik gunung dan turun gunung kembali). Kerap hati ini bertanya, kenapa sejak umur kecil sudah menyukai lingkungan pergaulan seperti itu ?

Terlepas dari nasib terakhir, ada pelajaran penting yang dihadirkan oleh catatan hidup seperti itu. Sepertinya, kepala menjadi penuh dengan catatan-catatan hidup orang yang sudah lanjut. Entah orang itu kaya atau tidak, hidup di kota atau di desa, jadi pegawai atau jadi wira usaha, anak pejabat atau anak orang biasa, semuanya mengalami siklus naik turun.
Pak Ciputra beberapa kali dinobatkan sebagai CEO terbaik, disebut sebagai the property hero, tokoh pengusaha terkemuka. Namun, hentakan krisis ekonomi politik membawa beliau ke gelombang hidup yang lain. Pak Ken T. Sudarto pernah mengalami masa-masa jaya, pernah
juga ditinggalkan oleh orang-orang kepercayaannya, pernah menarik diri dari hingar bingar
periklanan, dan belakangan kembali lagi ke dunia yang sama.

Mantan presiden Suharto malah lebih dahsyat lagi. Lahir sebagai anak petani di desa terpencil, mangkat jadi presiden puluhan tahun, dan di ujung-ujung hayatnya terhempas di tengah hujatan hujatan banyak orang. Demikian juga dengan kehidupan Bung Karno, Habibie, Marcos dan banyak pemimpin lainnya. Pemimpin sekaliber Mahatma Gandhi dan John Lennon bahkan menghembuskan nafas terakhir melalui tembakan senjata. Di tengah-tengah bahan renungan seperti ini, kerap saya tertawa kecil saja kepada sahabatsahabat yang sempat memuji. Ada yang heran karena saya bisa jadi CEO sebelum usia empat puluh di perusahaan milik pengusaha keturunan. Ada yang kagum karena hampir setiap minggu berpresentasi di depan ratusan eksekutif puncak dari perusahaan-perusahaan mentereng seperti Microsoft, IBM dan Citibank. Ada juga yang menyebut saya sebagai seorang sufi muda. Sebutan orang yang datang memang banyak sekali. Namun, semuanya hanya saya ladeni dengan senyuman kecil di bibir.

Bukan karena tidak menghargai pujian orang lain. Namun karena yakin seyakin-yakinnya, setelah naik pasti ada turun. Setelah dipuji pasti dimaki. Dan ini sudah menjadi hukum besi kehidupan setiap orang. Sekali lagi, setiap orang ! Hidup setiap orang – kalau boleh disederhanakan hanyalah kumpulan dua hal : gelak tawa dan air mata. Tidak ada satupun manusia yang bisa mempertukarkan seluruh air matanya hanya dengan gelak tawa. Demikian juga sebaliknya. Tidak ada manusia yang hanya dikaruniai air mata tanpa gelak tawa. Kedua-duanya senantiasa hadir dalam waktu yang bergantian. Mirip dengan datangnya musim, setelah musim hujan datang musim kemarau. Orang-orang yang menyesali air mata sama dengan orang yang menyesali datangnya musim. Disamping sia-sia, ia juga tidak menemukan makna dalam yang hadir di balik cucuran air mata. Padahal, air mata kerap menjadi pencuci jiwa dan hati yang amat menakjubkan. Sering kali, bahkan meningkatkan rasa syukur kemudian ketika gelak tawa datang berkunjung. Dari segi kedalaman renungan, air mata tidak jarang membawa pemiliknya menyelam dalam ke sumur pemahaman dan pencerahan.

Dalam bingkai-bingkai pemahaman seperti itu, kadang saya dianggap aneh oleh sejumlah orang.
Orang berlomba meminta menaikkan fasilitas ke atasannya, saya menjual mobil BMW yang jadi
jatah saya dan diganti dengan Mitsubishi Kuda yang hanya berharga sekitar sepertiganya saja. Banyak orang yang minta gajinya dibayar cepat-cepat, saya minta hanya dibayar ketika
persoalan cash flow sudah membaik. Kendati di Jakarta ini saya harus mengenakan pakaian
yang pas dengan audience yang umumnya mentereng dan mengenakan mobil mewah, di pabrik
di mana ribuan karyawan bekerja, saya hampir selalu mengenakan baju putih dan celana hitam
yang sama dengan yang dikenakan keryawan bawah. Kalau ada waktu cukup, makan di kantin
karyawan dengan nasi, piring dan lauk yang sama. Di rumah tinggal yang semua tetangganya
memiliki mobil sekurang-kurangnya dua buah, saya adalah salah satu orang yang suka nongkrong di post satpam sambil mendengarkan keluhan kehidupan mereka. Di akhir pekan
yang lengang, kerap saya sempatkan bertutur dengan tukang taman yang bertugas merapikan
taman. Orang kampung yang kadang pergi mancing di kali belakang rumah, juga kerap saya
sapa.

Mungkin ada yang bertanya untuk apa semua ini dilakukan. Bukankah setelah kehidupan naik
ada kehidupan yang menurun ? Bukankah semua kehidupan di awali sebagai manusia biasa dan
berakhir sebagai manusia biasa juga ? Dan yang paling penting, bukankah semua kehidupan
hanya berisi gelak tawa dan air mata ? Sia-sia saja kalau ada orang yang mau menyalahkan
datangnya sang musim. Musim manapun (termasuk air mata) pasti datang tanpa diundang ketika
tiba saatnya untuk datang. Ada kalanya, kita mesti belajar memeluk gelak tawa dan air mata
dengan kadar yang sama mesranya. Begitu sampai di sana, tidak ada yang namanya siklus
suka-duka, sedih-gembira, sukses-gagal. Yang ada hanyalah proses menjadi manusia biasa.

Sebuah tahapan dari mana kita memulai kehidupan pada awalnya.

No comments:

Post a Comment

Bookmark and Share
Custom Search