Sudah sangat lama saya tidak pulang ke kampung halaman, tapi hingga
saat ini saya masih belum bisa menyempatkan diri untuk pulang, hal ini membuat
saya merasa sangat rindu akan rumah.
Teringat kali terakhir pulang kampung, terlebih dahulu saya menelepon,
seluruh sanak keluarga menyambutnya gembira. Ketika saya berada di dalam mobil,
seperti halnya dalam ingatan saya waktu itu, perasaan di dalam hati ini ada
sedikit ketidak sabaran, dan di dalam ketidak sabaran itu ada rasa bahagia.
Setelah sekian lama berpisah, setiap orang pasti mendambakan untuk
pulang ke rumah dan berkumpul dengan keluarga. Sore itu, ketika kereta api
perlahan-lahan memasuki stasiun, dari jendela kereta saya sudah melihat ayah
dan adik laki-laki dan perempuan saya dari kejauhan, mereka berdiri di pintu
keluar stasiun dan memandang ke arah kereta yang sedang memasuki stasiun.
Setelah ayah dapat menemukan saya, dengan riang beliau membantu membawakan
tas saya.
Sebenarnya saya sudah sedemikian dewasa, bukan lagi seorang anak kecil,
lagi pula tas itu juga tidak berat. Tapi melihat ayah sedemikian gembiranya,
maka saya pun masih berkelakuan seperti saat saya masih kecil, menyerahkan tas
itu dengan patuh kepadanya.
Tapi adik laki-laki saya segera merampas tas itu. Seketika itu juga
ayah tertawa terbahak-bahak. Adik lelaki saya sudah lebih tinggi dibanding
ketika saya pergi meninggalkan mereka tahun lalu, adik perempuan saya juga
sudah semakin dewasa dan cantik. Dalam perjalanan ke rumah, kami berbincang
dengan riang gembira.
Setelah melewati suatu belokan yang berjarak hanya 100 meter dari rumah
kami, saya sudah melihat ibu sedang berdiri di depan pintu, sedang memandang ke
arah kami.
Begitu tiba di rumah, kakak tertua dan istri, serta kakak kedua dan
istrinya juga, keluar menyambut kedatangan kami, bersama dengan dua orang
kemenakan saya sambil bersenda gurau. Ibu turun tangan sendiri memasak air,
menyeduh sepoci teh. Lalu duduk di samping saya sambil memandangiku dengan
cermat, membuat saya merasa risih. Ipar tertua dan kedua saya sedang memasak di
dapur, saya tidak tahu apa saja yang mereka perbincangkan, hanya suara ha… ha…
ha… yang terdengar tiada henti. Kakak pertama dan kedua sedang duduk bersama
bermain catur militer (Jun Qi).
Sejak kecil mereka berdua sudah tergila-gila bermain Jun Qi, teknik
permainan mereka sangat bagus, kekuatan mereka berdua juga hampir seimbang.
Tapi jika berbicara mengenai catur Tiongkok (Xiang Qi), mereka berdua sangat
lemah. Ayah sering menertawai mereka berdua sebagai si Buta Catur. Ayah lalu
mengeluarkan seperangkat Xiang Qi dengan wajah berseri, mengajak saya bermain
catur dengannya.
Bicara soal Xiang Qi, saya bisa bermain Xiang Qi berkat diajari oleh
ibu. Soal teknik bermain Xiang Qi ibu memang tidak dapat diungkapkan dengan
kata-kata, ibu hanya dapat menjalankannya saja. Lain halnya dengan ayah,
beliau adalah jago Xiang Qi di dalam keluarga kami.
Sewaktu kecil, sayalah yang paling tak berguna. Sering kali menangis
jika kalah bermain catur. Sewaktu ayah mulai mengajak saya bermain catur,
beliau mengalah dengan tidak memainkan benteng, kuda dan gajahnya. Walaupun
demikian, ditambah dengan bantuan orang lain pun, saya selalu saja kalah, tidak
pernah menang.
Seiring dengan pertumbuhan saya, teknik bermain catur saya pun semakin
tangguh. Sewaktu bermain dengan ayah, beliau mulai mengurangi bobot
mengalahnya, hanya mengalah benteng dan kuda, atau benteng dan gajah. Lama
kelamaan hanya mengalah satu benteng saja, atau hanya mengalah kuda atau gajah.
Hingga berumur 16 tahun, saya sudah bermain setara tanpa ayah harus
mengalah. Walaupun saya lebih sering kalah, tetapi yang penting ayah sudah
tidak perlu mengalah lagi. Saat berusia 18 tahun, teknik permainan catur saya
sudah tak kalah dari ayah. Bahkan acap kali saat bermain catur, pasukan ayah
saya babat hingga porak poranda.
Teringat suatu saat ketika kami sedang bermain catur, karena
perhitungannya kurang cermat, beliau baru menyadari kesalahannya kemudian,
namun semua sudah terlambat. Saat itu beliau hendak membatalkan permainan
caturnya. Sebelumnya ayah tidak pernah membatalkan langkah dalam permainan
caturnya, tapi ketika itu mungkin beliau merasa tidak dapat menerima
kekalahannya itu sehingga bersikeras hendak membatalkan langkahnya itu.
Waktu itu timbul kenakalan saya untuk tidak membiarkan ayah membatalkan
langkahnya. Saya masih teringat jelas, ayah sangat marah sambil berdiri dan
berkata, “Percuma saja ayah membesarkanmu hingga dewasa, masa membatalkan
langkah catur saja tidak boleh.” Sejak saat itu ayah jarang sekali bermain
catur dengan saya.
Hari ini, ayah terlihat dengan antusiasnya, mengubah sebuah meja kecil
menjadi ajang pertempuran catur. Segenap anggota keluarga mengelilingi kami
berdua, menyaksikan siapa yang lebih unggul.
Sama seperti dulu, saya memilih bidak merah dan mendapat giliran
pertama. Setelah lebih 10 menit bermain, saya melihat ayah sedang mengamati
catur, sambil tangan ayah merogoh ke dalam sakunya mencari rokok, seperti
kebiasaannya dulu.
Dulu, jika di dalam permainan catur ayah menjumpai musuh yang berat,
konsentrasinya akan termanifestasi dengan merokok. Sebatang rokok akan
menggantung di pinggir bibirnya, dihisapnya dalam dalam, lalu dibiarkannya asap
rokok mengepul ke atas. Ayah sendiri yang berada di belakang kepulan asap itu
seolah menembus kabut rokok memikirkan situasi di atas papan catur, memikirkan
langkah berikutnya dengan serius.
Saya menggunakan isyarat mata dengan adik lelaki saya, seketika dia
segera menuangkan secangkir teh hangat, lalu meletakkannya di hadapan ayah.
Mendadak ayah baru teringat kalau sudah lama berhenti merokok, dengan sedikit
linglung ayah tertawa pada kami, namun matanya terus mengamati papan catur,
melanjutkan langkah berikutnya.
Melalui kaca mata rabun saya, terlihat rambut putih di kepala ayah
lebih banyak dari pada tahun lalu, kulitnya juga semakin keriput. Melihat rona
wajahnya yang demikian serius memandangi papan catur, mendadak saya merasakan
dorongan hati hendak menangis.
Saya putuskan untuk membiarkan ayah menang, membiarkan ayah menang demi
kepuasan hatinya. Sejak usia 18 tahun, ayah jarang sekali mendapat
kesempatan menang dari saya.
Saya ingin membiarkan ayah menang, tapi tidak boleh sampai membuat ayah
menyadarinya. Karena bagaimana pun juga ayah termasuk pemain ulung. Maka dari
itu, kali ini merupakan permainan tersulit bagi saya, hingga pada akhirnya saya
mendorong papan catur dan menyatakan diri kalah.
Bukan main girangnya ayah, matanya nampak tinggal segaris karena
tertawa senang, persis seperti anak kecil memenangkan permainan catur dengan
teman sebayanya, gembira bukan kepalang. Ada suatu kehangatan yang telah lama
tidak pernah saya peroleh, membuat saya ada sedikit lepas kontrol. Lalu saya
duduk di hadapannya, sambil minum teh, menemaninya tertawa.
Saya masih ingat, malam itu setelah selesai makan malam, kami
sekeluarga berkumpul mengobrol bersama. Ayah bersandar di pinggir jendela,
memandang pohon bambu di luar sana. Hari itu, ayah benar-benar sangat bahagia.
Ibu berkata pada ayah, “Suamiku, selama ini saya mengira bahwa engkau
telah tua. Tapi hari ini begitu melihat dirimu bermain catur dengan anakmu,
sepertinya engkau masih belum tua.”
Ayah tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Dia mengalah kepadaku, kamu
kira aku tidak tahu?! Anak sudah dewasa, sudah berakal budi, sudah memahami
bagaimana membuat sang ayah yang sudah tua ini gembira.”
Ternyata ayah tahu bahwa saya sengaja mengalah padanya. Tapi saya
segera tertawa terkekeh dan berkata, “Aduh, ayah… Saya kalah ya sudah kalah,
saya kalah dengan tulus hati. Kehebatan ayah masih tak kalah dibanding waktu
ayah muda dulu.”
Dengan wajah keriputnya ayah memandangi saya dengan gembira, kehangatan
semacam itu, sampai kapan pun tidak akan pernah saya lupakan. Kebahagiaan
mungkin memang sangat sederhana, sama sederhananya dengan niat saya untuk
mengalah dalam permainan catur.
Sekarang ini saya sering berpikir, entah kapan lagi saya bisa pulang ke
kampung halaman dan bermain catur dengan ayah lagi. Masih ingin rasanya saya
mengalah, agar ayah dapat menang dengan gembira.
No comments:
Post a Comment