Saya kira siapa pun setuju, kata ‘gelap’
memiliki beberapa konotasi sesuai dengan konteksnya. Tetapi sayang umumnya
lebih banyak konotasi negatifnya. Misalnya, ‘anak itu menangis karena takut
pada kegelapan.’ Atau, ‘sayang anak yang datang dari keluarga baik-baik
terjerumus di dunia gelap.’ Atau, ‘mengapa gajinya sudah besar kok masih
menggelapkan uang rakyat’. Banyak lagi contoh yang mengonotasikan ‘gelap’ pada
hal-hal yang negatif. Mengapa di tempat yang gelap ini malah membuatku melihat
kehidupan ini menjadi semakin terang? Ada konotasi positif yang saya rasakan.
Saya sengaja mengingat-ingat ketika saya
berada di tempat terang beberapa jam yang baru lalu. Ketika saya melewati
sebuah taman kota yang terang benderang, dan terhenti karena lampu lalu lintas
menyala merah, saya melihat sepasang remaja (mungkin lebih tepatnya anak-anak)
bermesraan di tempat yang sedemikian terang seolah di tempat yang gelap.
Mungkin dianggapnya orang yang lalu lalang di depannya buta semua. Saya berani
bertaruh semua yang sempat melihatnya – termasuk saya, dan yang pura-pura tidak
melihat – sedang berjalan menuju kegelapan.
Saya juga memiliki pertanyaan lagi yang
tentunya tanpa jawaban. Saya ingat di warnet yang terletak di sudut perempatan
itu, ketika segerombolan anak-anak sekolah saling berebut tempat bermain di
ruang-ruang bersekat. Konon banyak hal
kurang baik – selain yang baik - yang mereka lakukan di tempat-tempat seperti
itu. Sisi terang dan gelap seperti wajah sekeping uang logam, yang keduanya tak
dapat dipisahkan.
Kemudian, saya nyalakan lagi lampu dan
televisi. Dan pas saat itu televisi menayangkan acara diskusi interaktif
kalangan terhormat yang hidupnya berstatus terang benderang, karena ekonominya
yang mapan, pendidikannya yang tinggi, statusnya yang ‘pasti’, bahkan posisinya
di pemerintahan yang sangat ‘menentukan’.
Tetapi betapa sangat mengecewakan. Mereka
saling tunjuk seperti di pasar ikan. Bahkan mengucapkan kata-kata yang saling
‘menggelapkan’ satu sama lain. Tentu hal ini membuatku seperti masuk dalam
‘kegelapan’ yang mereka sajikan. Karena diskusinya sama sekali tidak membuat
‘terang’ terhadap masalah ‘gelap’ yang seharusnya mereka buat ‘terang’.
Saat itu saya tidak mengerti di mana saya
berada, di tempat yang terang atau gelapkah.
Kembali saya ingat pulau Sark yang dibuat
gelap. Mengapa 40.000 wisatawan itu belajar di tempat yang gelap? Apakah yang
mereka dapat dari belajar di sana? Belajar budaya di tempat yang gelap. Apakah
di tempat yang terang tidak memberi jawaban budaya yang mereka butuhkan? Budaya
di tempat gelap dan budaya di tempat terang? Mungkinkah mereka ingin kembali ke
tempat yang gelap?
Mungkin Anda juga bisa bertanya di antara gelap
dan terang, manakah yang merupakan sebuah kemajuan? Ataukah saya sedang
mengada-ada dengan membenturkan kata ‘gelap’ dan ‘terang’. Tetapi memang bagi
saya keduanya semakin tidak jelas, sekalipun saya mencoba melihatnya dengan
sudut pandang berbeda.
No comments:
Post a Comment