Showing posts with label GELAP. Show all posts
Showing posts with label GELAP. Show all posts

Jun 1, 2017

GELAP TERANG KEHIDUPAN

 “SARK: PULAU BERLANGIT GELAP PERTAMA DI DUNIA.”Begitulah judul sebuah artikel di situs di internet. Setiap tahunnya, pulau ini telah menarik 40.000 wisatawan untuk belajar tentang sejarah dan budaya, di mana pengalaman demikian terasa bagaikan melangkah mundur ke masa yang jauh lampau. Begitu yang tertulis di bagian akhir artikel ini. Setelah membaca artikel itu saya mematikan semua lampu di rumah. Lalu saya membayangkan suasana di pulau berlangit gelap. Ternyata, saya bahkan dapat melihat banyak hal yang selama ini luput dari perhatian. 

Saya kira siapa pun setuju, kata ‘gelap’ memiliki beberapa konotasi sesuai dengan konteksnya. Tetapi sayang umumnya lebih banyak konotasi negatifnya. Misalnya, ‘anak itu menangis karena takut pada kegelapan.’ Atau, ‘sayang anak yang datang dari keluarga baik-baik terjerumus di dunia gelap.’ Atau, ‘mengapa gajinya sudah besar kok masih menggelapkan uang rakyat’. Banyak lagi contoh yang mengonotasikan ‘gelap’ pada hal-hal yang negatif. Mengapa di tempat yang gelap ini malah membuatku melihat kehidupan ini menjadi semakin terang? Ada konotasi positif yang saya rasakan.
Saya sengaja mengingat-ingat ketika saya berada di tempat terang beberapa jam yang baru lalu. Ketika saya melewati sebuah taman kota yang terang benderang, dan terhenti karena lampu lalu lintas menyala merah, saya melihat sepasang remaja (mungkin lebih tepatnya anak-anak) bermesraan di tempat yang sedemikian terang seolah di tempat yang gelap. Mungkin dianggapnya orang yang lalu lalang di depannya buta semua. Saya berani bertaruh semua yang sempat melihatnya – termasuk saya, dan yang pura-pura tidak melihat – sedang berjalan menuju kegelapan.

Saya juga memiliki pertanyaan lagi yang tentunya tanpa jawaban. Saya ingat di warnet yang terletak di sudut perempatan itu, ketika segerombolan anak-anak sekolah saling berebut tempat bermain di ruang-ruang bersekat. Konon banyak hal  kurang baik – selain yang baik - yang mereka lakukan di tempat-tempat seperti itu. Sisi terang dan gelap seperti wajah sekeping uang logam, yang keduanya tak dapat dipisahkan.

Kemudian, saya nyalakan lagi lampu dan televisi. Dan pas saat itu televisi menayangkan acara diskusi interaktif kalangan terhormat yang hidupnya berstatus terang benderang, karena ekonominya yang mapan, pendidikannya yang tinggi, statusnya yang ‘pasti’, bahkan posisinya di pemerintahan yang sangat ‘menentukan’.

Tetapi betapa sangat mengecewakan. Mereka saling tunjuk seperti di pasar ikan. Bahkan mengucapkan kata-kata yang saling ‘menggelapkan’ satu sama lain. Tentu hal ini membuatku seperti masuk dalam ‘kegelapan’ yang mereka sajikan. Karena diskusinya sama sekali tidak membuat ‘terang’ terhadap masalah ‘gelap’ yang seharusnya mereka buat ‘terang’.

Saat itu saya tidak mengerti di mana saya berada, di tempat yang terang atau gelapkah.
Kembali saya ingat pulau Sark yang dibuat gelap. Mengapa 40.000 wisatawan itu belajar di tempat yang gelap? Apakah yang mereka dapat dari belajar di sana? Belajar budaya di tempat yang gelap. Apakah di tempat yang terang tidak memberi jawaban budaya yang mereka butuhkan? Budaya di tempat gelap dan budaya di tempat terang? Mungkinkah mereka ingin kembali ke tempat yang gelap?


Mungkin Anda juga bisa bertanya di antara gelap dan terang, manakah yang merupakan sebuah kemajuan? Ataukah saya sedang mengada-ada dengan membenturkan kata ‘gelap’ dan ‘terang’. Tetapi memang bagi saya keduanya semakin tidak jelas, sekalipun saya mencoba melihatnya dengan sudut pandang berbeda.

Feb 6, 2013

LANGIT BIRU DIBALIK AWAN GELAP



Pagi ini adalah pagi yang suram dan dingin. Setelah mengantarkan anak saya ke sekolah, saya mampir di sebuah restoran cepat saji. Saya mengambil satu eksemplar koran dan duduk di sudut ruangan untuk sarapan pagi. Tak ada orang lain yang berada di restoran itu. Di beberapa meja tergeletak gelas kertas, piring kertas dan french fries (kentang goreng) yang masih belum dibersihkan.

Seorang wanita muda masuk bersama seorang anak laki-laki berumur 6 tahun. Setelah memesan menu, mereka duduk menunggu pesanan. Kemudian pintu otomatis di sudut terjauh ruangan terbuka. Seorang gelandangan kurus dengan mantel gimbalnya masuk. Dengan kepala tertunduk, dia berjalan lambat-lambat ke arah meja yang dipenuhi oleh piring kertas. Dia mengorek-korek piring kertas dan mencari sisa-sisa makanan, mengambil keripik dingin dan memakannya.

Si bocah kecil itu berbisik ke ibunya, "Ibu, dia makan sisa-sisa makanan!"

Ibunya berbisik kembali, "Itu dikarenakan dia lapar, tetapi tidak mempunyai uang."

Bocah laki-laki itu kembali berbicara bahkan dengan suara yang lebih lebih halus lagi. "Bisakah kita membelikannya sepotong burger?"

"Ibu pikir dia hanya makan makanan sisa saja," kata ibunya dengan halus menolak.

Gelandangan itu menyadari bahwa dia sedang diamati dan segera menoleh ke atas. Sewaktu dia menatap mata bocah kecil itu, dia merasa malu. Akhirnya dengan cepat dia meletakkan french fries dinginnya dan tersenyum. Tiba-tiba saja dia mendadak berubah menjadi ramah. Seolah-olah dia menjadi pribadi yang lain.

Pelayan wanita datang dan memberikan sekantong kertas besar kepada ibunya, dan sekantong kertas kecil kepada anak laki-laki itu.

Sewaktu mereka berjalan ke pintu, bocah laki-laki itu tiba-tiba mengeluarkan burgernya yang ma-sih hangat dari kantong kecilnya dan menggigitnya sekali. Lalu dia berbalik arah dan menaruhnya di atas meja, tempat di mana mereka duduk tadi. Kemudian lari keluar bagai seekor burung layang-layang.

Gelandangan tersebut heran terpaku. Dia memandangi bocah itu saat berlari kearah ibunya.

Seketika itu saya pun berpikir sudah saatnya untuk pergi. Saya meletakkan kembali koran dan berjalan keluar. Sewaktu saya menoleh ke atas di langit, saya melihat langit biru di balik awan yang gelap.
Bookmark and Share
Custom Search