Evolusi Etnik Tionghoa di Indonesia
Judul buku : Tionghoa Dalam Pusaran Politik
Penulis : Benny G. Setiono
Penerbit : TransMedia, Jakarta
Edisi : Pertama, 2008
Tebal buku : xxii + 1.142 hlm. (Hardcover)
Membaca sejarah Indonesia khususnya di era Orde Baru (1967-1998) adalah sejarah tentang politisasi kepentingan untuk melanggengkan elite kekuasaan. Proses pencatatan sejarah bangsa ini tak bisa lepas dari vested of interest para pemegang kekuasaan. Padahal, sejarah seharusnya menjadi catatan masa lampau yang dapat dijadikan referensi berharga.
Sistem politik yang diterapkan Presiden Soeharto (1921-2008) yang disebut Orde Baru itu memang terasa di mana-mana selama lebih dari 30 tahun. Sistem politik yang dijalankan itu sekaligus membawa dampak positif dan negatif yang tidak kecil terhadap warganya, terutama etnik Tionghoa. Namun negara sebesar Indonesia ini tidak pernah dapat didominasi sepenuhnya oleh seseorang, betapa pun otoriternya sistem politik itu.
Apa yang dikatakan Prof. Donald K. Emmerson (dalam Indonesia Beyond Soeharto, 2001) bahwa “Indonesia milik Soeharto” (Soeharto’s Indonesia) tak pernah lebih daripada suatu metafora. Karena di bawah rezim Orde Baru yang otoritarianisme pun Indonesia mempunyai dinamisme dan kemajemukannya sendiri, di luar jangkauan rezim.
Sebagian besar dari 200 juta lebih populasi orang Indonesia mengidentifikasi dirinya dengan salah satu dari 200 lebih kelompok etnik di Indonesia. Mayoritas terbesar orang Indonesia yang hidup sekarang adalah keturunan kaum migran Austronesia ke pulau-pulau di Nusantara, yang mulai berpindah ke selatan dari daerah yang sekarang disebut Taiwan, sekitar 5.500 tahun silam. Salah satu dari 200 lebih kelompok etnik ini adalah suku Tionghoa yang geliatnya dimulai sejak kaisar Cina mengirim ekspedisi angkatan laut ke kawasan maritim Asia Tenggara. Berdasarkan catatan ahli sejarah Indonesia dari University of Queensland (Brisbane), Australia, Prof. Robert Cribb (2001), kaisar dari Cina ini berusaha mengukuhkan hegemoninya di Nusantara, yang baru berakhir setelah 1433. Namun pedagang Tionghoa mempunyai sejarah panjang dan tetap eksis di Kepulauan Nusantara hingga kini, bersama-sama dengan kaum pedagang yang berasal dari daratan India, Asia Tenggara, Asia Barat, Asia Timur, dan Asia Tengah. Peranan etnik Tionghoa di Nusantara mempunyai akar sejarah yang panjang, lebih dari 500 tahun.
Keunikan peran (terutama sosial, budaya, ekonomi, dan politik) etnik Tionghoa di Indonesia ini digambarkan dalam sejarah panjang bangsa Indonesia. Namun terlalu banyak fakta sejarah Indonesia—khususnya sejarah tentang minoritas etnik Tionghoa—yang ‘disembunyikan’, terutama selama masa kekuasaan rezim Orde Baru. Termasuk “politik kesengajaan” ciptaan rezim Orde Baru, yang di kemudian hari menggiring segelintir orang dari etnik Tionghoa untuk dinamai sebagai “binatang ekonomi”.
Pada masa itu, catatan sejarah cenderung terjebak dalam mindset rezim Orde Baru yang melihat warga Tionghoa sebagai “masalah Cina”. Sebuah masalah politik yang pada awalnya diciptakan oleh pemerintah kolonial Belanda ketika menghadapi gerakan arus nasionalisme Tionghoa di tanah jajahan. Deprivasi yang diderita minoritas Tionghoa di bawah rezim Orde Baru ini tidak hanya larangan untuk mengekspresikan diri dan identitas “ketionghoaan” mereka, tetapi juga berimbas pada tatanan historiografi Indonesia.
Untuk mengerti tempat, sikap, dan kedudukan suatu minoritas, tidak ada jalan lain kecuali mendalami pengertian tentang evolusi minoritas etnik tersebut. Hal ini dimaksudkan agar semakin jelas kompleksitas struktur, konflik dalam dan luar, hubungannya—dengan segala variasinya—dengan mayoritas (yang juga kompleks dan berbeda-beda), permulaan dan konsekuensi dan perubahan definisinya sebagai minoritas. Tanpa pekerjaan berat ini, minoritas (dan juga mayoritas) terus saja digambarkan secara simplistis, menurut dongeng biasa dan kasar, yang seringkali penuh dengan kebencian, caci maki, dan prasangka yang dimaksudkan untuk mengisolasi minoritas itu dan menghilangkan unsur kemanusiaannya. Satu hal yang pada intinya dimaksudkan untuk membekukan secara masif status (sosial-politik) kelompok tersebut sebagai minoritas.
Prof. Harsya W. Bachtiar (1934-1995) dengan mengutip catatan Ahmat Adam (The Vernacular Press and the Emergence of Modern Indonesian Consciousness, 1855-1913) menyebutkan bahwa komunitas Tionghoa di Indonesia itu sangat literair, suka membaca dan menulis serta pelanggan suratkabar sejak akhir abad ke-19. Sejarah pers Indonesia tentu saja tidak menafikan peranan kaum Tionghoa dalam memajukan persuratkabaran nasional, baik yang bertindak sebagai wartawan atau pun pebisnis media massa seperti Kwee Kek Beng, Nio Joe Lan, Kwee Thiam Tjing, Kwee Hing Tjiat; serta para penulis handal dari etnik Tionghoa seperti Lie Kim Hok, Liem Thiam Joe, dan Kwee Tek Hoay.
Benny G. Setiono, peraih Weirtheim Award (2008), mencoba masuk dalam tipologi sebuah respons dan refleksi terhadap apa yang terjadi dan ia lihat di sekitar kehidupan sosialnya—sebagai bagian dari minoritas etnik tersebut. Sebuah “personal account” dari apa yang dilihat, didengar, dibaca, dan dialaminya khusus dalam berbagai kejadian dan peristiwa politik di negeri ini. Sebuah refleksi pribadi di tengah kancah politik nasional, sebagaimana terungkap dan tercatat dalam bukunya, Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Fokus buku ini sebetulnya adalah sejarah Indonesia, di mana minoritas etnik Tionghoa juga memiliki peranan (sosial, budaya, ekonomi, dan politik) yang tidak sedikit.
Hal yang menarik dalam catatan Benny bahwa dalam setiap pergolakan politik di Indonesia, isu anti-Tionghoa (Sinophobia) selalu menjadi semacam ‘amunisi’ atau bahan politisasi yang antitesanya berujung pada proses “pencinaan” kembali etnik Tionghoa. Sejarah panjang isu anti-Tionghoa dicatat dengan sangat baik dan runut oleh Benny dalam buku Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Dimulai dengan “Pembunuhan Etnik Tionghoa 1740” (hlm. 109-124) hingga peristiwa kerusuhan sosial yang terjadi pada Mei 1998 (lihat “Presiden Soeharto Lengser dan Keruntuhan Rezim Orde Baru”, hlm. 1.071-1.092).
Pada permulaan abad ke-20, seorang wartawan Belanda menulis buku tentang kemiskinan di Indonesia. Pemerintah Belanda pada masa itu mulai merasa terpaksa harus berbuat sesuatu untuk mengubah keadaan ekonomi, kesehatan, dan pendidikan rakyat biasa di tanah jajahannya. Hal ini disebabkan banyaknya kritik, baik di Negeri Belanda sendiri maupun di Nederlands Indie. Zaman “politik etis” baru dimulai dengan sedikit kebijakan baru. Si jurnalis Belanda tersebut mencoba mencari penyebab terjadinya kemiskinan itu. Hal yang menarik dalam bukunya itu, bukan politik ekonomi dan sosial pemerintah kolonial yang disalahkan, melainkan minoritas etnik Tionghoa. Ini bukan cerita baru.
Minoritas etnik Tionghoa sedikit lebih sukar dimengerti sejak permulaan sejarahnya di Indonesia hingga sekarang. Mungkin karena sejarah itu belum cukup diteliti secara mendalam dengan pendekatan yang realistis dan bebas dari prasangka, pro dan kontra.
Benny G. Setiono lewat buku Tionghoa Dalam Pusaran Politik berhasil merekonstruksi nasib minoritas etnik Tionghoa dalam berbagai arus perubahan politik nasional. Ia mampu mengungkap fakta di balik isu anti-Tionghoa dalam pergolakan politik di negeri ini, sekaligus menjawab pertanyaan: mengapa minoritas etnik Tionghoa selalu dijadikan sebagai “kambing hitam” dan “objek penderita” dalam perpolitikan nasional. Buku ini adalah referensi sejarah panjang bangsa yang diungkap secara jujur dan ilmiah.
Judul buku : Tionghoa Dalam Pusaran Politik
Penulis : Benny G. Setiono
Penerbit : TransMedia, Jakarta
Edisi : Pertama, 2008
Tebal buku : xxii + 1.142 hlm. (Hardcover)
Membaca sejarah Indonesia khususnya di era Orde Baru (1967-1998) adalah sejarah tentang politisasi kepentingan untuk melanggengkan elite kekuasaan. Proses pencatatan sejarah bangsa ini tak bisa lepas dari vested of interest para pemegang kekuasaan. Padahal, sejarah seharusnya menjadi catatan masa lampau yang dapat dijadikan referensi berharga.
Sistem politik yang diterapkan Presiden Soeharto (1921-2008) yang disebut Orde Baru itu memang terasa di mana-mana selama lebih dari 30 tahun. Sistem politik yang dijalankan itu sekaligus membawa dampak positif dan negatif yang tidak kecil terhadap warganya, terutama etnik Tionghoa. Namun negara sebesar Indonesia ini tidak pernah dapat didominasi sepenuhnya oleh seseorang, betapa pun otoriternya sistem politik itu.
Apa yang dikatakan Prof. Donald K. Emmerson (dalam Indonesia Beyond Soeharto, 2001) bahwa “Indonesia milik Soeharto” (Soeharto’s Indonesia) tak pernah lebih daripada suatu metafora. Karena di bawah rezim Orde Baru yang otoritarianisme pun Indonesia mempunyai dinamisme dan kemajemukannya sendiri, di luar jangkauan rezim.
Sebagian besar dari 200 juta lebih populasi orang Indonesia mengidentifikasi dirinya dengan salah satu dari 200 lebih kelompok etnik di Indonesia. Mayoritas terbesar orang Indonesia yang hidup sekarang adalah keturunan kaum migran Austronesia ke pulau-pulau di Nusantara, yang mulai berpindah ke selatan dari daerah yang sekarang disebut Taiwan, sekitar 5.500 tahun silam. Salah satu dari 200 lebih kelompok etnik ini adalah suku Tionghoa yang geliatnya dimulai sejak kaisar Cina mengirim ekspedisi angkatan laut ke kawasan maritim Asia Tenggara. Berdasarkan catatan ahli sejarah Indonesia dari University of Queensland (Brisbane), Australia, Prof. Robert Cribb (2001), kaisar dari Cina ini berusaha mengukuhkan hegemoninya di Nusantara, yang baru berakhir setelah 1433. Namun pedagang Tionghoa mempunyai sejarah panjang dan tetap eksis di Kepulauan Nusantara hingga kini, bersama-sama dengan kaum pedagang yang berasal dari daratan India, Asia Tenggara, Asia Barat, Asia Timur, dan Asia Tengah. Peranan etnik Tionghoa di Nusantara mempunyai akar sejarah yang panjang, lebih dari 500 tahun.
Keunikan peran (terutama sosial, budaya, ekonomi, dan politik) etnik Tionghoa di Indonesia ini digambarkan dalam sejarah panjang bangsa Indonesia. Namun terlalu banyak fakta sejarah Indonesia—khususnya sejarah tentang minoritas etnik Tionghoa—yang ‘disembunyikan’, terutama selama masa kekuasaan rezim Orde Baru. Termasuk “politik kesengajaan” ciptaan rezim Orde Baru, yang di kemudian hari menggiring segelintir orang dari etnik Tionghoa untuk dinamai sebagai “binatang ekonomi”.
Pada masa itu, catatan sejarah cenderung terjebak dalam mindset rezim Orde Baru yang melihat warga Tionghoa sebagai “masalah Cina”. Sebuah masalah politik yang pada awalnya diciptakan oleh pemerintah kolonial Belanda ketika menghadapi gerakan arus nasionalisme Tionghoa di tanah jajahan. Deprivasi yang diderita minoritas Tionghoa di bawah rezim Orde Baru ini tidak hanya larangan untuk mengekspresikan diri dan identitas “ketionghoaan” mereka, tetapi juga berimbas pada tatanan historiografi Indonesia.
Untuk mengerti tempat, sikap, dan kedudukan suatu minoritas, tidak ada jalan lain kecuali mendalami pengertian tentang evolusi minoritas etnik tersebut. Hal ini dimaksudkan agar semakin jelas kompleksitas struktur, konflik dalam dan luar, hubungannya—dengan segala variasinya—dengan mayoritas (yang juga kompleks dan berbeda-beda), permulaan dan konsekuensi dan perubahan definisinya sebagai minoritas. Tanpa pekerjaan berat ini, minoritas (dan juga mayoritas) terus saja digambarkan secara simplistis, menurut dongeng biasa dan kasar, yang seringkali penuh dengan kebencian, caci maki, dan prasangka yang dimaksudkan untuk mengisolasi minoritas itu dan menghilangkan unsur kemanusiaannya. Satu hal yang pada intinya dimaksudkan untuk membekukan secara masif status (sosial-politik) kelompok tersebut sebagai minoritas.
Prof. Harsya W. Bachtiar (1934-1995) dengan mengutip catatan Ahmat Adam (The Vernacular Press and the Emergence of Modern Indonesian Consciousness, 1855-1913) menyebutkan bahwa komunitas Tionghoa di Indonesia itu sangat literair, suka membaca dan menulis serta pelanggan suratkabar sejak akhir abad ke-19. Sejarah pers Indonesia tentu saja tidak menafikan peranan kaum Tionghoa dalam memajukan persuratkabaran nasional, baik yang bertindak sebagai wartawan atau pun pebisnis media massa seperti Kwee Kek Beng, Nio Joe Lan, Kwee Thiam Tjing, Kwee Hing Tjiat; serta para penulis handal dari etnik Tionghoa seperti Lie Kim Hok, Liem Thiam Joe, dan Kwee Tek Hoay.
Benny G. Setiono, peraih Weirtheim Award (2008), mencoba masuk dalam tipologi sebuah respons dan refleksi terhadap apa yang terjadi dan ia lihat di sekitar kehidupan sosialnya—sebagai bagian dari minoritas etnik tersebut. Sebuah “personal account” dari apa yang dilihat, didengar, dibaca, dan dialaminya khusus dalam berbagai kejadian dan peristiwa politik di negeri ini. Sebuah refleksi pribadi di tengah kancah politik nasional, sebagaimana terungkap dan tercatat dalam bukunya, Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Fokus buku ini sebetulnya adalah sejarah Indonesia, di mana minoritas etnik Tionghoa juga memiliki peranan (sosial, budaya, ekonomi, dan politik) yang tidak sedikit.
Hal yang menarik dalam catatan Benny bahwa dalam setiap pergolakan politik di Indonesia, isu anti-Tionghoa (Sinophobia) selalu menjadi semacam ‘amunisi’ atau bahan politisasi yang antitesanya berujung pada proses “pencinaan” kembali etnik Tionghoa. Sejarah panjang isu anti-Tionghoa dicatat dengan sangat baik dan runut oleh Benny dalam buku Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Dimulai dengan “Pembunuhan Etnik Tionghoa 1740” (hlm. 109-124) hingga peristiwa kerusuhan sosial yang terjadi pada Mei 1998 (lihat “Presiden Soeharto Lengser dan Keruntuhan Rezim Orde Baru”, hlm. 1.071-1.092).
Pada permulaan abad ke-20, seorang wartawan Belanda menulis buku tentang kemiskinan di Indonesia. Pemerintah Belanda pada masa itu mulai merasa terpaksa harus berbuat sesuatu untuk mengubah keadaan ekonomi, kesehatan, dan pendidikan rakyat biasa di tanah jajahannya. Hal ini disebabkan banyaknya kritik, baik di Negeri Belanda sendiri maupun di Nederlands Indie. Zaman “politik etis” baru dimulai dengan sedikit kebijakan baru. Si jurnalis Belanda tersebut mencoba mencari penyebab terjadinya kemiskinan itu. Hal yang menarik dalam bukunya itu, bukan politik ekonomi dan sosial pemerintah kolonial yang disalahkan, melainkan minoritas etnik Tionghoa. Ini bukan cerita baru.
Minoritas etnik Tionghoa sedikit lebih sukar dimengerti sejak permulaan sejarahnya di Indonesia hingga sekarang. Mungkin karena sejarah itu belum cukup diteliti secara mendalam dengan pendekatan yang realistis dan bebas dari prasangka, pro dan kontra.
Benny G. Setiono lewat buku Tionghoa Dalam Pusaran Politik berhasil merekonstruksi nasib minoritas etnik Tionghoa dalam berbagai arus perubahan politik nasional. Ia mampu mengungkap fakta di balik isu anti-Tionghoa dalam pergolakan politik di negeri ini, sekaligus menjawab pertanyaan: mengapa minoritas etnik Tionghoa selalu dijadikan sebagai “kambing hitam” dan “objek penderita” dalam perpolitikan nasional. Buku ini adalah referensi sejarah panjang bangsa yang diungkap secara jujur dan ilmiah.
Drs. Syafruddin Azhar adalah kolumnis dan peneliti pada Lembaga Pemerhati Kebijakan Publik (LPKP) Jakarta.
Buku Tionghoa Dalam Pusaran Politik (ukuran file sekitar 45 MB) dapat didownload gratis melalui link berikut ini:
No comments:
Post a Comment