Feb 20, 2013

MENJADI MAJIKAN DIRI SENDIRI

Di dalam kehidupan sehari-hari, ketika Anda menjumpai ada orang lain berbicara tidak sopan kepada diri Anda, bagaimana Anda bersikap? Apakah Anda langsung naik pitam atau Anda dapat mengekang diri tidak menangkis penghinaan? Setelah peristiwa itu lewat apakah semakin dipikir Anda lalu menjadi semakin marah?

Berada pada keadaan yang demikian, kebanyakan orang sangat sulit untuk dapat mengendalikan emosi diri sendiri, tetapi bagi seseorang yang memiliki pengasuhan diri, dia pasti bisa menghadapi situasi semacam ini dengan riang dan menanggapi segala sesuatu dengan tenang.

Seperti cerita tentang seorang biksu pengembara yang datang ke sebuah desa, sebagian penduduk desa sana yang mencari biksu ini, berbicara dengan nada yang tidak sopan, bahkan ada yang bermulut kotor. Biksu tersebut berdiri di sana mendengarkan dengan tenang dan saksama perkataan penduduk desa.

Setelah itu dia berkata, “Terima kasih kepada Anda sekalian mau datang menemui saya, tetapi saat ini saya akan melakukan perjalanan jauh, karena para penduduk di desa berikutnya sedang menanti kedatangan saya. Sekembali dari desa itu, saya akan memiliki waktu yang cukup, jika saat itu Anda sekalian masih ada perkataan yang akan disampaikan kepada saya, maka Anda sekalian boleh mencari saya?”

Orang-orang itu sama sekali tidak percaya terhadap apa yang mereka dengar, ada salah satu orang bertanya kepada sang biksu, “Masak Anda tidak mendengar perkataan kami semua? Kami menyudutkan Anda tanpa satu pun pembenaran, namun Anda sama sekali tidak bereaksi!”

Biksu itu berkata, “Jika Anda ingin melihat reaksi saya, maka Anda terlambat. Sepuluh tahun lalu seharusnya Anda sudah datang kemari, saat itu Anda akan melihat saya bereaksi. Namun saat ini saya sudah tidak bisa dikuasai oleh perasaan emosi orang lain, saya sudah bukan lagi sebagai budak perasaan, melainkan sudah bisa menjadi majikan bagi diri sendiri.”

Mengalah yang sesungguhnya bukanlah lemah tidak teguh, melainkan sebagai manifestasi dari kelapangan dada dan mempunyai makna sangat mendalam. Aliran Buddha mengatakan belas kasih, membimbing dan mengajar manusia mengalah dan bertoleransi.  Agama Kristen berbicara, “Cintailah musuh Anda.”  Khonghucu memprakarsi kebaikan hati (pengasih), “Apapun yang tidak kita kehendaki, jangan diberikan kepada orang lain.”

Maka itu bagi orang yang benar-benar melakukan pengasuhan diri, akan memiliki sifat persaudaraan secara universal dan kelapangan dada, tidak akan bersaing dan berebut demi masalah kecil dan juga tidak akan merasa resah karena hal kecil semacam ini. Hubungan antara manusia dengan manusia juga bisa mempertahankan keharmonisan dan saling menghormati.

Sekarang ini moralitas manusia cenderung menurun, terutama di China, karena kebudayaan tradisional telah rusak, masyarakat yang hidup dalam kekuasaan komunis telah didoktrinasi dengan kebudayaan partai, yaitu filsafat persaingan dan perebutan. Mereka menjadikan “jika orang mengganggu saya, saya pasti tidak akan tinggal diam”, sebagai moto untuk bermasyarakat.

Tidak peduli dalam keluarga atau tempat-tempat umum, konflik dan pertikaian antara manusia hampir memadati kehidupan kita, sikap hati bersaing dan berebut ini menjadikan pertikaian semakin meningkat.

Apakah orang yang hidup dalam lingkungan semacam ini bisa mendapatkan kebahagiaan dan kegembiraan? Bisakah masyarakat semacam ini menjadi harmonis?

Karena itu tidak ada salahnya bila membiarkan otak kita mencampakkan “pikiran bersaing dan berebut” yang memenuhi pikiran kita. Mencoba belajar sikap dan perilaku orang kuno, boleh jadi akan membawakan kelegaan hati dan keleluasaan bagi diri kita sendiri, juga bisa membawakan keindahan dan keharmonisan yang sesungguhnya bagi orang-orang di sekitar kita.

No comments:

Post a Comment

Bookmark and Share
Custom Search