Menyaksikan kekisruhan
di mana-mana, seorang sahabat bertanya: sampai kapan manusia akan terus
menyakiti diri mereka sendiri dengan saling menyerang dan menjatuhkan? Di
negeri Barack 0bama yang dulunya menjadi tauladan demokrasi dan hak-hak azasi
manusia, sekarang teramat kisruh. Pasca serangan teroris 11 september 2001,
tidak saja pelecehan atas nama agama merebak, tidak terhitung uang bangsa
Amerika yang berubah menjadi peluru mematikan di Irak dan Afghanistan.
Bangsa Indonesia
telah melewati ratusan tahun masa penjajahan yang amat menyedihkan, puluhan
tahun masa pembangunan, belasan tahun masa reformasi. Namun belum ada
tanda-tanda bangsa ini sudah semakin sejuk, lembut dan santun.
Di tengah lautan keriuhan seperti ini, ke mana keheningan
dan kejernihan sedang bersembunyi?
Sebagai awal renungan, perhatikan samudera nan luas dan
dalam. Semua samudera bergelombang.
Membuang gelombang sama
dengan membuang samudera. Kehidupan juga serupa. Di tengah bentangan
sejarah yang panjang, semua kehidupan berisi gelombang. Tidak pernah terjadi,
ada sejarah yang lurus dan mulus saja.
Perhatikan sejarah dunia puluhan tahun terakhir. Bumi ini
pernah ketakutan dengan perang dunia pertama. Namun ketakutan ini tidak
menghentikan perang berikutnya. Dan perang ini pun kemudian memicu perang
dingin antara dua negara adi kuasa. Setelah runtuhnya Uni Soviet, diikuti
berjayanya Amerika Serikat, dikira ketakutan akan berakhir. Hentakan bom
teroris memulaui sebuah ketegangan baru.
Bukan negara lawan negara, melainkan umat manusia terancam teroris.
Dirangkum menjadi satu, kehidupan memang menyerupai
samudera. Di sepanjang waktu (masa lalu, masa kini dan masa nanti), kehidupan
senantiasa bergelombang. Penderitaan terjadi ketika manusia serakah mau
samudera tetapi menolak gelombang. Menendang gelombang (baca: kehidupan naik
turun) sama dengan menendang samudera (kehidupan). Dan sebagaimana terlihat
jelas di samudera mana pun, semua gelombang merunduk rendah hati ketika mencium
bibir pantai.
Persoalan, pergolakan, pertempuran sama dengan gelombang. Di sebuah waktu,
selalu ada ujungnya. Namun sebagaimana gelombang, ketika ia lenyap di pantai
bukannya berakhir selamanya. Ada
waktunya ia akan kembali menghempas. Begitulah kehidupan terus berputar dengan
hukumnya. Melawan hukum terakhir berujung pada penderitaan, memeluknya dengan
keikhlasan itulah kedamaian sekaligus kejernihan.
Bagi siapa saja
yang sudah berpelukan
mesra dengan kehidupan dan
menemukaan kedamaian, ia tidak saja bisa tersenyum dengan bibirnya, ia juga
bisa tersenyum dengan matanya (baca: memandang kehidupan dengan pengertian
mendalam). Mendengar anak-anak muda yang riuh dengan suara motornya di jalan,
ia akan berbisik: “bila dulu orang tua memberikan ruang bagimu untuk bertumbuh,
kini giliran dirimu memberikan ruang buat orang lain untuk bertumbuh”.
Melihat bawahan yang gopar (gobloknya parah) di kantor,
kontan saja ada yang bergumam dari dalam: “semua ada tempatnya semua ada
putaran waktunya. Persis seperti cemara di bukit, kelapa di pantai, orang bodoh
hadir tidak untuk memproduksi kejengkelan, namun membuat seorang atasan menjadi
semakin welas asih dari hari ke hari”.
Terjebak kemacetan kota Jakarta, lagi-lagi guru
di dalam bergumam: “kehidupan berputar dengan hukum keseimbangan (siang-malam,
tenang-riuh dst). Siapa saja yang mengambil banyak kesenangan (terutama di kota besar) harus
membayarnya dengan banyak kesedihan”. Ujung-ujungnya satu, jauh sebelum emosi
terbakar dengan kemarahan dan kejengkelan, mata sudah memasang palang di awal
dengan senyuman menawan. Ini yang kerap disebut oleh sejumlah guru meditasi
sebagai right view (memandang dengan senyuman).